GURU PENGAMPU
IMAM SYAMSUL
HUDA S.Pd
SMA SANTU PETRUS
PONTIANAK
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Modul I
MANUSIA DAN SEJARAH
KOMPETENSI DASAR
1.
Memahami
konsep manusia hidup dalam ruang dan waktu
2.
Memahami
konsep manusia hidup dalam perubahan dan keberlanjutan
3.
Menganalisis keterkaitan peristiwa Sejarah tentang manusia
di masa lalu untuk kehidupan masa kini
4.
Menyajikan
hasil kajian tentang konsep manusia hidup dalam ruang dan waktu
5.
Menyajikan
hasil telaah tentang konsep bahwa manusia hidup dalam perubahan dan
keberlanjutan
6.
Membuat
tulisan tentang hasil kajian mengenai
keterkaitan kehidupan masa lalu untuk kehidupan masa kini
A. MANUSIA
DAN SEJARAH
Kata sejarah
diambil dari syajarah (bahasa Arab)
yang berarti pohon. Dalam bahasa Inggris history
yang berasal dari Yunani historia
yang berarti inkuiri (inquiry),
wawancara (interview), interogasi
dari seorang saksi mata dan juga laporan mengenai hasil-hasil tindakan
itu. Dari bahasa Yunani istilah historia
masuk ke bahasa-bahasa lain, terutama melalui perantaraan bahasa Latin. Dalam
bahasa Latin, maknanya masih sama seperti dalam bahasa Yunani. Tekanannya lebih
pada pengamatan langsung, penelitian, dan laporan-laporan hasilnya (Sjamsudin
2012:1-3).
Tacitus seorang sejarawan pada
masa Romawi menggunakan istilah historia untuk
judul bukunya Historiae. Di dalam
buku itu Tacitus menulis laporan-laporan hasil pengamatannya secara pribadi.
Selain itu dia juga menulis laporan-laporan mengenai periode lebih awal (14-68
M) yang diberinya judul Annales
(Sjamsudin 2012:2). Pada masa ini historia belum digunakan untuk
menunjukkan peristiwa di masa lampau.
Dalam perkembangannya, konsep history (sejarah) mendapat suatu
pengertian baru setelah terjadi percampuran antara penulisan kronikel yang
ketat secara kronologis dan narasi-narasi sejarah yang bebas. Pada abad
pertengahan hal itu dikenal dengan biografi yang juga disebut vitae. Kelak penulisan biografi,
khususnya biografi orang besar, menyebabkan sejarawan Inggris Thomas Carlyle
(1841) mengatakan bahwa sejarah sebagai ‘riwayat hidup orang-orang besar atau
pahlawan’ semata. Tanpa mereka tidak ada sejarah.
Namun, sejarah memang tidak
hanya untuk orang-orang/individu tertentu (orang-orang besar), seperti
Socrates, Julius Caesar, Gajah Mada, Napoleon, Soekarno. Sejarah juga membahas kelompok masyarakat.
Dalam hal ini manusia.
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa sejarah merupakan ilmu tentang manusia. Namun, juga bukan cerita tentang
masa lalu manusia secara keseluruhan. Demikian pula dengan manusia yang menjadi
obyek penelitian antropologi ragawi, seperti
hasil penelitian Steve Olson dalam Mapping
Human History (2006) yang berhasil melacak asal usul manusia modern di
empat benua dan penyebarannya di seluruh dunia selama lebih dari 150.000 tahun
silam. Hal tersebut bukanlah sejarah.
Manusia dan sejarah tidak dapat
dipisahkan, sejarah tanpa manusia adalah khayal. Manusia dan sejarah merupakan kesatuan
dengan
manusia sebagai
subyek dan obyek sejarah. Bila manusia dipisahkan dari sejarah maka ia bukan
manusia lagi, tetapi sejenis mahluk biasa, seperti hewan (Ali 2005:101)
Di sini ingatan manusia
memegang peranan penting. Ingatan itu digunakan manusia untuk menggali kembali
pengalaman yang pernah dialaminya. Mengingat berarti mengalami lagi, mengetahui
kembali sesuatu yang terjadi di masa lalu. Namun ingatan manusia terbatas
sehingga perlu alat bantu yaitu tulisan yang berfungsi untuk menyimpan
ingatannya. Dengan tulisan, manusia mencatat pengalamannya. Pengalaman yang
dialami manusia, dituturkan kembali dengan menggunakan bahasa (Ali 2005:101)
Sejarah merupakan pengalaman
manusia dan ingatan manusia yang diceritakan. Dapat dikatakan bahwa manusia
berperan dalam sejarah yaitu sebagai pembuat sejarah karena manusia yang
membuat pengalaman menjadi sejarah. Manusia adalah penutur sejarah yang membuat
cerita sejarah sehingga semakin jelas bahwa manusia adalah sumber sejarah (Ali
2005:102)
a. Manusia
hidup dan berkreativitas dalam ruang dan waktu
Dalam ilmu sejarah,
manusia dalam kegiatan dengan masyarakat atau bangsanya merupakan kajian utama. Sejarah membahas aktivitas manusia
pada masa lalu. Namun, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bukan berarti sejarah
membahas aktivitas manusia secara keseluruhan. Kisah
manusia tersebut berkaitan dengan kehidupan manusia yang berkreasi dalam menghadapi
kehidupannya.
Kisah manusia tersebut
dibatasi oleh waktu dan ruang, serta tempat manusia itu berada. Dari sudut
pandang waktu kreativitas manusia pada masa lampau berbeda dengan kreativitas
manusia pada masa kini. Demikian halnya dengan ruang. Pemahaman tentang ruang
dan waktu diperlukan untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir secara
kronologis.
Dalam hal
kreativitas manusia pada masa lampau misalnya bagaimana manusia pada zaman batu
makan, minum, berpakaian serta melakukan perjalanan menjadi pengalaman
yang diwariskan bagi masa-masa
sesudahnya. Sebagai contoh adalah bagaimana
kreativitas manusia untuk melakukan perjalanan dari suatu tempat ke
tempat lain.
Pada awalnya
manusia menggunakan tenaganya sendiri dengan berjalan kaki. Lalu mereka memanfaatkan
tenaga hewan, misalnya kuda untuk melakukan perjalanan. Seiring perjalanan
waktu dan perkembangan teknologi sebagai hasil kreativitas manusia, mereka
menggunakan sarana perahu di air dengan bantuan angin untuk melakukan
perjalanan.
Kreativitas lainnya
adalah penemuan roda yang pada awalnya digunakan untuk memindahkan barang.
Mereka lalu menggunakan tenaga hewan sebagai penariknya. Selanjutnya, mereka
menemukan suatu alat yang mengubah air menjadi uap untuk dijadikan tenaga
penggerak (motor). Demikian seterusnya hingga
mereka menemukan tenaga penggerak lain berupa bahan bakar minyak.
b. Manusia
hidup dalam perubahan dan keberlanjutan
Selain membahas
manusia atau masyarakat, sejarah juga melihat hal lain yaitu waktu. Waktu
menjadi konsep penting dalam ilmu sejarah. Sehubungan dengan konsep waktu,
dalam ilmu sejarah menurut Kuntowijoyo (2001: 14-15) meliputi
perkembangan, keberlanjutan/kesinambungan, pengulangan dan perubahan.
Disebut mengalami
perkembangan apabila dalam kehidupan masyarakat terjadi gerak secara
berturut-turut dari
bentuk yang satu ke bentuk yang lain. Perkembangan terjadi biasanya
dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks. Misalnya adalah
perkembangan demokrasi di Amerika yang mengikuti perkembangan kota. Pada
awalnya masyarakat di Amerika tinggal di kota-kota kecil. Di kota-kota kecil
itulah tumbuh dewan-dewan kota, tempat orang berkumpul. Dari kota-kota kecil
mengalami proses menjadi kota-kota besar hingga menjadi kota metropolitan. Di
sini, demokrasi berkembang mengikuti perkembangan kota (Kuntowijoyo 2001:14)
Kesinambungan terjadi
bila suatu masyarakat baru hanya melakukan adopsi lembaga-lembaga lama. Misalnya
pada masa kolonial, kebijakan pemerintah kolonial mengadopsi kebiasaan lama,
antara lain dalam menarik upeti raja taklukan, Belanda meniru raja-raja pribumi
(Kuntowijoyo 2001: 15)
Sementara
itu disebut
pengulangan apabila peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau terjadi lagi
pada masa berikutnya, misalnya menjelang presiden Soekarno jatuh dari
kekuasaannya pada tahun 1960-an banyak terjadi aksi dan demonstrasi, khususnya
yang dilakukan oleh para mahasiswa. Demikian halnya menjelang presiden Soeharto
jatuh pada 1998, juga banyak terjadi aksi dan demonstrasi.
Sedangkan dikatakan
perubahan apabila dalam masyarakat terjadi perkembangan secara besar-besaran
dalam waktu yang relatif singkat. Perubahan terjadi karena adanya pengaruh dari
luar. Misalnya gerakan nasionalisme di
Indonesia sering dianggap sebagai kepanjangan dari gerakan romantik di Eropa.
Berhubungan dengan
konsep waktu ini lah dikisahkan kehidupan manusia pada masa lalu. Masa lalu
merupakan sebuah masa yang sudah terlewati. Namun, masa lalu bukanlah suatu
masa yang terhenti dan tertutup. Masa lalu bersifat terbuka dan
berkesinambungan sehingga dalam sejarah, masa lalu manusia bukan demi masa lalu
itu sendiri. Segala hal yang terjadi di masa lalu dapat dijadikan acuan untuk
bertindak di masa kini dan untuk meraih kehidupan yang lebih
baik di masa datang.
c. Kehidupan
manusia masa kini merupakan akibat dari perubahan di masa lalu
Cicero,
seorang filsuf Romawi mengungkapkan bahwa barang siapa yang tidak mengenal
sejarahnya akan tetap menjadi anak kecil. Kemudian sejarawan Sartono
Kartodirdjo menambahkan barangsiapa yang lupa sama sekali akan masa lampaunya
dapat diibaratkan seperti mereka yang sakit jiwa (Kartodirdjo 1992:23)
Kedua ungkapan tersebut benar
adanya. Seperti yang disebutkan oleh Sartono Kartodirdjo bahwa mereka yang lupa
akan masa lampaunya itu telah kehilangan identitas dan oleh karena itu dapat
membahayakan masyarakat di sekitarnya. Hal itu disebabkan karena kelakuannya
yang mungkin sudah tidak menentu dan terlepas dari norma-norma atau nilai-nilai
hidup yang berlaku di masyarakat (Kartodirdjo 1992:23)
Peristiwa sejarah yang terjadi
adalah sebuah perubahan dalam kehidupan manusia. Sejarah mempelajari aktivitas
manusia dalam konteks waktu. Perubahan
yang terjadi pada masa lalu mempengaruhi kehidupan masa kini. Perubahan
tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan manusia seperti sosial, politik,
ekonomi, dan budaya. Masa lalu merupakan masa yang telah dilalui oleh suatu
masyarakat selalu berkaitan dengan konsep-konsep
dasar berupa waktu dan ruang.
Berkaitan
dengan peristiwa sejarah yang merupakan perubahan dalam kehidupan manusia di
masa lalu, John Dewey (1959) menganjurkan bahwa dalam penulisan sejarah harus
menulis masa lampau dan sekarang. Sejarah harus bersifat instrumental dalam
memecahkan masalah masa kini atau sebagai pertimbangan program aksi masa kini.
Dengan kata lain John Dewey menyarankan bahwa sejarah harus dapat memecahkan
masalah masa kini.
Ungkapan
bahwa sejarah harus dapat memecahkan persoalan pada masa kini menjadi semakin
jelas jika kita melihat situasi pada masa kini. Misalnya bencana banjir di
beberapa kota di Indonesia. Apakah peristiwa itu berdiri sendiri terlepas dari
apa yang terjadi di masa lalu? Atau memiliki kaitan dengan perubahan yang
terjadi di masyarakat? Mungkin saja ada sebuah wilayah yang dahulu bebas dari
banjir tetapi pada masa kini menjadi wilayah yang rawan banjir dan menjadi
langganan banjir. Sehubungan dengan hal tersebut kita dapat menelusuri
perubahan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Perubahan yang terjadi pada
masa lalu memberikan pengaruh pada kehidupan masa kini.
Modul II
SEJARAH SEBAGAI ILMU
KOMPETENSI
DASAR
·
Memahami
ilmu sejarah
·
Menyajikan
hasil telaah tentang peristiwa sebagai karya sejarah, mitos, dan fiksi dalam bentuk tulisan
1.
Sejarah sebagai ilmu
Sejarah
sebagai ilmu dapat kita lihat dari berbagai ciri. Pertama, sejarah merupakan
ilmu empiris. Empiris berasal dari bahasa Yunani empeiria yang berarti pengalaman. Sejarah sangat tergantung pada
pengalaman manusia. Pengalaman manusia tersebut terekam baik dalam bentuk
artefak-artefak maupun
dokumen-dokumen. Artefak-artefak dan
dokumen-dokumen yang merupakan data tersebut diteliti oleh sejarawan untuk
menemukan fakta. Fakta-fakta tersebut diinterpretasi/ditafsirkan.
Berdasarkan dari interpretasi atas fakta-fakta tersebut dibuat dalam bentuk
tulisan sejarah, misalnya Bung Karno dan Bung Hatta membacakan Proklamasi
sebagai data dan kita menafsirkannya menjadi fakta dimana Indonesia merdeka
pada tanggal 17 Agustus 1945.
Berikutnya adalah sejarah
memiliki objek. Objek berasal dari bahasa Latin objectus yang berarti di hadapan, sasaran, tujuan. Sejarah biasanya
dimasukkan dalam ilmu tentang manusia (humaniora) karena selain objek yang
diteliti adalah manusia,
khususnya perubahan atau perkembangan manusia pada masa lalu, metodologi
yang digunakan juga berbeda dengan ilmu lain, misalnya antropologi. Apabila
antropologi membahas manusia pada masa sekarang, maka sejarah berkisah tentang
manusia pada masa lalu. Oleh karena itu objek lain dari sejarah adalah waktu.
Waktu di sini adalah waktu manusia. Dengan demikian, soal asal mula selalu
menjadi bahasan utama sejarah, misalnya masuknya Islam di Indonesia apakah pada
abad ke-8 atau ke-13 seharusnya tidak menjadi persoalan bagi sejarawan asalkan
penjelasannya dapat diterima.
Ciri lain adalah sejarah
mempunyai generalisasi. Generalisasi dari bahasa Latin generalis yang berarti umum. Sama halnya dengan ilmu-ilmu lain,
sejarah juga menarik kesimpulan-kesimpulan umum dari pengamatan yang dilakukan.
Antropologi, misalnya membahas pluralisme Amerika, maka mereka dituntut untuk
menarik kesimpulan-kesimpulan umum yang berlaku di mana-mana dan dapat dianggap
sebagai kebenaran umum. Namun, menurut Sartono Kartodirdjo (1992) bila kita
berbicara tentang generalisasi dalam sejarah sebenarnya merupakan suatu
pertentangan arti dalam istilah (contradictio
in terminis). Generalisasi menunjuk pada suatu keteraturan, dalil atau
hukum yang berlaku untuk beberapa kasus, sedangkan sejarah didefinisikan
sebagai ilmu yang mengungkapkan peristiwa dalam keunikannya dimana hal-hal unik
itu menunjuk kepada sesuatu yang sekali terjadi dan tidak terulang lagi. Yang
jelas mengenai tempat dan waktu, situasi dan konteks tidak mungkin diulang,
hanya sekali itu saja terjadi. Hal yang berulang dalam sejarah lazimnya
berhubungan dengan pola kelakuan manusia berdasarkan orientasi nilai, sistem
sosial, kebutuhan ekonomis, sifat psikologis. Contoh generalisasi dalam sejarah
adalah Revolusi Industri menciptakan suatu kebutuhan akan sumber-sumber bahan
mentah, pasar-pasar baru, dan tempat-tempat penanaman modal yang membawa
persaingan di antara bangsa-bangsa untuk mendapatkan koloni-koloni (Sjamsudin
2012: 34)
Sejarah dengan pendekatan ilmu
sosial membuka kesempatan untuk mengungkapkan generalisasi yang hanya dapat
diekstrapolasikan dengan alat-alat analitis ilmu-ilmu sosial. Misalnya dalam
mengungkapkan suatu konflik ditemukan berbagai fase gerakan sosial, antara lain
mobilisasi, agitasi, akselerasi, polarisasi, dan akhirnya tercetuslah
kekerasan. Demikian pula dengan jalannya suatu revolusi mirip dengan revolusi
lain dalam segi formalnya, tetapi dalam segi substansinya setiap revolusi
adalah unik (Kartodirdjo 1992:104)
Lalu sejarah mempunyai metode.
Metode berasal dari bahasa Yunani methodos
yang berarti cara. Menurut Sartono Kartodirdjo (1992) metode adalah bagaimana
orang memperoleh pengetahuan (how to know).
Berkaitan dengan ilmu sejarah, metode sejarah ialah bagaimana mengetahui
sejarah. Seorang sejarawan yang ingin mengetahui, misalnya sejarah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, ia akan menempuh secara sistematis prosedur penelitian
dengan menggunakan teknik-teknik tertentu pengumpulan bahan-bahan sejarah, baik
dari arsip-arsip dan perpustakaan-perpustakaan, maupun wawancara dengan
tokoh-tokoh yang masih hidup sehubungan dengan peristiwa bersejarah itu, atau
dari orang-orang terdekat dengan tokoh-tokoh itu (misalnya anggota keluarga
atau sahabat) sehingga ia dapat menjaring informasi selengkap mungkin
(Sjamsudin 2012: 12)
Selain ketrampilan teknis praktis dari
metode ini, seorang sejarawan harus dilengkapi pula dengan
pengetahuan-pengetahuan metodologis, teoritis bahkan juga filsafat. Sejarawan
harus mengetahui bagaimana ia menggunakan ilmu metode itu pada tempat yang
seharusnya. Ia harus mengetahui prosedur-prosedur apa yang harus ditempuh dalam
menjaring informasi; pertanyaan-pertanyaan apa yang harus ditanyakan dan
kemungkinan jawaban apa yang akan diperoleh; mengapa dan bagaimana ia melakukan
kritik terhadap sumber-sumber yang diperolehnya (Sjamsudin 2012: 12)
Salah satu ciri penting suatu ilmu
adalah teori. Teori berasal dari bahasa Yunani theoria yang berarti renungan. Seperti ilmu lainnya, sejarah juga
memiliki teori pengetahuan yang sering disebut filsafat sejarah kritis. Teori dalam sejarah
pada umumnya berisi satu kumpulan tentang kaidah pokok suatu ilmu
(Kuntowijoyo 2001:62).
Menurut Lubasz (1963) yang dikutip oleh Sjamsudin (2012) teori dalam
sejarah, terutama dalam eksplanasi sejarah,
pada umumnya digunakan untuk mengidentifikasi dan mendefinisikan suatu
keberadaan kolektif, untuk merekonstruksi suatu perangkat kepercayaan menurut
suatu analisis karakter kolektif, untuk menguji kebenaran dan ketepatan
(verifikasi), penjelasan (eksplanasi) suatu peristiwa kolektif. Teori adalah
sangat esensial dalam kajian tentang segala (fenomena) pada masa lalu maupun
masa sekarang yang tidak terbuka untuk diamati secara langsung. Fenomena
kolektif itu misalnya lembaga-lembaga, kelompok-kelompok, peristiwa-peristiwa
kolektif (Sjamsudin 2012: 49)
2. Sejarah
sebagai fakta dan peristiwa
Berita yang
kita baca di suratkabar bukanlah kejadian melainkan berupa pernyataan tentang
suatu kejadian atau fakta. Kejadian yang telah terjadi sebagai sejarah dalam
arti obyektif tidak dapat lagi diulang atau dialami kembali. Namun, jejaknya
sebagai memori dapat diungkapkan kembali (Kartodirdjo 1992:17)
Sejarah
sebagai fakta dapat didefinisikan sebagai suatu unsur yang dijabarkan baik secara langsung maupun tidak langsung dari
dokumen-dokumen atau sumber sejarah setelah melalui serangkaian pengujian dan
kritik. Dokumen-dokumen
atau sumber sejarah yang merupakan data tersebut diteliti oleh sejarawan untuk
menemukan fakta. Fakta-fakta tersebut diinterpretasi/ditafsirkan.
Fakta merupakan bahan utama yang
digunakan sejarawan untuk menyusun suatu cerita atau menganalisis sejarah. Pada
hakikatnya fakta itu merupakan suatu konstruk yang dibuat oleh sejarawan sehingga mengandung faktor subyektivitas
(Kartodirdjo 1992:88)
Ada fakta yang untuk jangka waktu
lama masih belum mantap atau masih lunak, misalnya tentang pembunuhan presiden
Amerika Serikat J.F. Kennedy di tahun 60-an. Siapakah pembunuhnya masih
merupakan tanda tanya. Di samping itu ada banyak teori berbeda yang digunakan
berkenaan dengan pembunuhan tersebut. Selain itu
ada pula fakta keras, antara lain Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
pada 17 Agustus 1945.
Sejarawan memerlukan informasi
berupa fakta sebanyak mungkin sesuai dengan keperluan penelitian dan penulisan.
Bagi sejarawan fakta-fakta itu dapat diibaratkan sebagai batu bangunan kajian
sejarah. Adalah sesuatu yang mustahil untuk memahami dunia ini tanpa fakta
karena tanpa adanya fakta-fakta itu kita tidak dapat mendapatkan gambaran
tentang kejadian atau individu di masa lalu (Sjamsudin 2012:17)
Sejarawan Amerika Carl L. Becker
berpendapat bahwa fakta adalah sebuah simbol. Sebuah fakta yang sederhana dapat
berubah menjadi fakta yang sangat penting karena jaringan-jaringan yang
terbentuk mempunyai kaitan yang jauh lebih besar dan besar. Becker memberikan
contoh tentang penyeberangan sungai kecil yang bernama Rubicon yang berada di
perbatasan antara Galia (sekarang Prancis) dan Italia. Sudah banyak orang yang
menyeberangi sungai kecil itu sepanjang masa. Namun, peristiwa penyeberangan
oleh
orang-orang itu tidak pernah diangkat menjadi fakta sejarah. Ketika
Julius Caesar (100-44 SM) menyeberanginya pada 49 sebelum Masehi, barulah peristiwa
itu menjadi fakta sejarah. Caesar merupakan panglima tentara Romawi di Galia.
Ia dipecat oleh Senat Romawi sebagai komandan. Caesar menolak pemecatan itu dan
bersama pasukannya ia kembali ke Roma dengan
menyeberangi Sungai Rubicon. Caesar lalu berhasil merebut Roma dan
menyingkirkan lawan-lawannya hingga akhirnya menjadi penguasa emperium Romawi.
Tindakan Caesar menyeberangi Sungai Rubicon merupakan suatu keputusan yang
menentukan nasibnya di kemudian hari yang juga berkaitan dengan nasib
lawan-lawannya para senator yang memecatnya. Demikian juga nasib Republik Roma,
rakyat dan emperium selanjutnya (Ankersmit 1987: 99; Sjamsudin 2012:19)
Sejarah
sebagai peristiwa dapat dipahami sebagai sesuatu yang terjadi di dalam
kehidupan masyarakat pada masa lampau. Di sini, pengertian ‘sesuatu yang
terjadi di dalam kehidupan masyarakat’ merupakan hal penting karena segala
sesuatu yang terjadi yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan masyarakat
bukanlah sejarah.
Berikutnya,
pengertian ‘pada masa lampau’ sangat jelas bahwa sejarah merupakan peristiwa
yang terjadi pada masa lalu, bukan
sekarang
yang menurut R. Moh Ali disebut sejarah sebagai obyek.
Namun, tidak
semua peristiwa yang terjadi pada masa
lalu dianggap sebagai sejarah. Suatu peristiwa dianggap sebagai peristiwa
sejarah jika peristiwa itu dapat dikaitkan dengan peristiwa yang lain sebagai
bagian dari proses dinamika dalam konteks historis. Selain itu peristiwa-peristiwa
tersebut perlu pula diseleksi untuk mendapatkan peristiwa yang memang penting
dan berguna.
Peristiwa yang dapat
digolongkan sebagai peristiwa sejarah haruslah unik, terjadi sekali saja (eenmalig) dan memiliki pengaruh yang
besar pada masanya dan masa sesudahnya.
Sejarah sebagai
peristiwa tidak dapat kita amati lagi karena kita tidak dapat lagi menyaksikan
peristiwa tersebut. Misalnya peristiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
ketika itu Soekarno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan.
3. Sejarah
sebagai cerita/kisah
Sejarah
sebagai cerita atau kisah adalah peristiwa sejarah yang diceritakan atau
dikisahkan kembali sebagai hasil rekonstruksi ahli sejarah (sejarawan) terhadap
sejarah sebagai peristiwa. Sejarah
sebagai cerita merupakan rekonstruksi dari suatu peristiwa baik yang dituliskan
maupun diceritakan oleh seseorang sehingga sejarah dapat berupa kisah yang
berbentuk lisan dan tulisan.
Sejarah sebagai kisah
merupakan peristiwa sejarah yang dikisahkan kembali atau diceritakan kembali
sebagai hasil konstruksi dari para ahli sejarah (sejarawan) terhadap sejarah
sebagai peristiwa. Oleh R. Moh Ali (2005) hal
itu disebut sejarah sebagai serba subjek.
Sehingga tidak tertutup kemungkinan
sejarah sebagai kisah bersifat subjektif.
Subjektivitasnya ada pada
bagaimana sejarah itu disampaikan, diceritakan oleh seseorang. Faktor
kepentingan dan latar belakang penulis
sejarah itu juga mempengaruhi cara penulisan sejarah. Penulisan yang dapat dipertanggungjawabkan
harus melalui penafsiran yang mendekati kebenaran peristiwa yang terjadi.
Sementara itu untuk merekonstruksi kisah sejarah harus mengikuti metode
analisis serta pendekatan tertentu.
Suatu peristiwa yang
sama dapat saja dikisahkan dengan cara berbeda oleh dua orang atau lebih karena
mereka memiliki penafsiran yang berbeda. Misalnya ketika kita mewawancarai
orang-orang yang pernah mengalami atau melihat peristiwa Bandung Lautan Api
pada 1946 akan berbeda mengisahkannya antara satu dengan yang lainnya. Apabila
yang kita wawancarai adalah seorang prajurit yang terlibat pertempuran
tersebut, kemungkinan ia akan menceritakan peristiwa Bandung Lautan Api dalam
perspektif dirinya sebagai seorang tentara. Demikian halnya apabila yang kita
wawancarai adalah seorang petani, dia akan menceritakan peristiwa tersebut
berbeda dengan sudut pandang prajurit.
Apabila kita
mendengarkan seseorang menceritakan tentang peristiwa Bandung Lautan Api, maka
itu termasuk kategori kisah lisan. Namun, apabila kita ingin mengetahui
peristiwa Bandung Lautan Api dengan membaca buku-buku yang bercerita tentang
Bandung Lautan Api, maka itu termasuk dalam kategori kisah tulisan.
4. Sejarah
sebagai seni
Tokoh penganjur
sejarah sebagai seni adalah George Macauly Travelyan. Menurut Travelyan menulis
sebuah kisah peristiwa sejarah tidaklah mudah karena memerlukan imajinasi dan
seni. Dalam seni dibutuhkan intuisi, emosi, dan gaya bahasa. Sejarah dapat juga
dilihat sebagai seni. Seperti halnya seni, sejarah juga membutuhkan intuisi,
imajinasi, emosi, dan gaya bahasa.
Intuisi dibutuhkan sejarawan
terutama yang berkaitan dengan pemahaman langsung selama penelitian. Setiap
langkah yang harus dikerjakan oleh sejarawan memerlukan kepandaian dalam
memutuskan apa yang harus dilakukan. Seringkali untuk memilih suatu penjelasan,
bukanlah perangkat ilmu yang berjalan tetapi intuisi. Demikian halnya ketika
harus menggambarkan suatu peristiwa atau berupa deskripsi, sejarawan sering
tidak sanggup melanjutkan tulisannya. Dalam keadaan seperti itu, sebenarnya
yang diperlukan adalah intuisi. Namun, meskipun mengandalkan intuisi, sejarawan
harus tetap berdasarkan data yang dimilikinya.
Sejarawan juga membutuhkan
imajinasi, misalnya membayangkan apa yang sebenarnya terjadi, apa yang sedang
terjadi, pada suatu periode yang ditelitinya. Imajinasi yang digunakan
tentunya bukanlah imajinasi liar melainkan berdasarkan keterangan atau data
yang mendukung.
Misalnya seorang sejarawan akan menulis priyayi awal abad ke-20. Ia harus
memiliki gambaran, mungkin priyayi itu anak cucu kaum bangsawan atau raja yang
turun statusnya karena sebab-sebab alamiah atau politis. Imajinasi seorang sejarawan
juga harus jalan jika ia ingin memahami perlawanan Sultan Palembang yang berada
di luar ibu kota pada abad ke-19. Sejarawan dituntut untuk dapat membayangkan
sungai dan hutan yang mungkin jadi tempat baik untuk bersembunyi (Kuntowijoyo
2001:70).
Demikian halnya dengan emosi. Dalam penulisan sejarah terdapat pula
keterlibatan emosi. Di sini penulis sejarah perlu memiliki empati yang
menyatukan dirinya dengan objek yang diteliti. Pada penulisan sejarah zaman
Romantik yaitu pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, sejarah dianggap
sebagai cabang sastra. Akibatnya, menulis sejarah disamakan dengan menulis
sastra, artinya menulis sejarah harus dengan keterlibatan emosional. Orang yang
membaca sejarah penaklukan Meksiko, jatuhnya Romawi, pelayaran orang Inggris ke
Amerika, harus dibuat seolah-olah hadir dan menyaksikan sendiri peristiwa itu.
Penulisnya harus berempati, menyatukan perasaan dengan objeknya. Diharapkan
sejarawan dapat menghadirkan objeknya seolah-olah pembacanya mengalami sendiri peristiwa
itu (Kuntowijoyo 2001:70-71).
Unsur lain yang tidak kalah
pentingnya adalah gaya bahasa. Dalam penulisan sejarah, sejarawan harus
menggunakan gaya bahasa yang tidak berbelit-belit, tidak
berbunga-bunga, tidak
membosankan, komunikatif dan mudah dipahami. Khususnya dalam menghidupkan suatu
kisah di masa lalu. Di sini yang diperlukan adalah kemampuan menulis secara
terperinci (detail).
Berbeda dengan karya sastra,
dalam penulisan sejarah harus berusaha memberikan informasi yang lengkap dan
jelas. Serta menghindari subjektivitas dan mengedepankan obyektivitas
berdasarkan penggunaan metode penelitian yang tepat.
Namun, sejarah sebagai seni memiliki
beberapa kekurangan yaitu sejarah sebagai seni akan kehilangan ketepatan dan obyektivitasnya.
Alasannya, seni merupakan hasil imajinasi. Sementara ketepatan dan obyektivitas
merupakan hal yang diperlukan dalam penulisan sejarah. Ketepatan berarti adanya
kesesuaian antara fakta dan penulisan sejarah. Sedangkan obyektivitas berarti tidak
ada pandangan yang individual. Kedua hal
ini menimbulkan kepercayaan orang pada sejarawan dan memberikan kesan
penguasaan sejarawan atas detail tulisan sejarah. Namun, kesan akan kedua hal
itu akan hilang jika sejarah menjadi seni karena sejarah berdasarkan fakta dan
seni merupakan hasil imajinasi. Sejarah yang terlalu dekat seni pun dapat
dianggap telah memalsukan fakta.
5. Fiksi
dan mitos dalam sejarah
Berkaitan dengan peristiwa di
masa lalu muncul kesangsian apakah masa lalu itu pernah ada. Mungkin saja masa
lalu itu merupakan rekaan kita, hasil khayalan kita atau fiksi. Di sini bila
kita menyangsikan adanya sesuatu di masa silam, maka kita harus memiliki
gambaran mengenai dunia yang disangsikan tersebut dan merumuskan kesangsian
itu. Selain itu juga kita harus menanyakan mengapa kita menyangsikannya. Filsuf
Bertrand Russel (1872-1970) menuliskan bahwa segala kenang-kenangan kita akan
masa silam, ternyata diciptakan lima menit yang lalu. Semua kenang-kenangan
kita dan bahan historis serasi satu sama lain sehingga tampak seolah-olah ada
masa silam yang mendahului saat penciptaan itu (Ankersmit 1987:77)
Di
samping itu fiksi merupakan
karya rekaan yang melibatkan imajinasi dan merupakan bagian dari seni. Sejarah dapat juga disebut
sebagai seni karena sejarah berhubungan dengan penyimpulan dan penulisan suatu
peristiwa sejarah yang berhubungan dengan kaidah dan keindahan bahasa. Selain
itu sejarah memerlukan intuisi atau ilham. Khususnya ketika sejarawan memilih
topik, selama penelitian dan dalam proses penulisan sejarah.
Namun, meskipun berhubungan dengan cerita, sejarah bukanlah sastra,
terutama karya fiksi, karena berbeda dengan karya sastra sebagai hasil
subyektivitas sastrawan, sejarah harus berusaha memberikan informasi selengkap
dan sejelasnya dengan menghindari subyektivitas melalui penggunaan metode
sejarah.
Kita mengenal adanya karya sastra (fiksi)
yang berlatar belakang sejarah. Misalnya karya tetralogi Pramoedya Ananta Toer,
Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak
Langkah, Rumah Kaca yang menggambarkan suasana Indonesia pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20. Dalam karya-karyanya tersebut Pramoedya
menghubungkan antara sejarah (realitas) dengan sastra (fiksi).
Berikutnya
adalah mitos dalam sejarah. Mitos merupakan bagian dari
budaya sebagai bagian dari olah pikir manusia. Daya ingat manusia terbatas. Segala hal yang
menyenangkan dirinya tentu akan selalu diingat. Ingatan tersebut ditambah atau
diperindah sesuka hati. Apabila diceritakan kepada orang lain yaitu kepada anak
cucu maka ingatan itu akan menjadi cerita yang indah. Semakin lama, semakin
indah cerita itu dan semakin jauh isi cerita dari kejadian yang sebenarnya. Ini
yang menjadi asal mula cerita-cerita kuno seperti mitos, legenda, dan saga (Ali
2005: 101)
Baik sejarah maupun mitos, keduanya menceritakan masa lalu tetapi
sejarah dan mitos adalah dua hal berbeda. Mitos berasal dari bahasa Yunani, mythos berarti dongeng. Oleh karena
merupakan dongeng, mitos biasanya menceritakan masa lalu dengan waktu yang
tidak jelas serta kejadian yang tidak masuk akal. Sedangkan sejarah memiliki
waktu berlangsungnya suatu peristiwa dengan jelas serta kejadian yang rasional,
terbukti secara empirik dan dapat dimengerti.
Contoh mitos di Indonesia adalah kisah Kanjeng Ratu Kidul yang memiliki
istana di dalam Laut Selatan dan menjadi permaisuri raja-raja Jawa. Demikian
halnya dengan kisah Ken Angrok dalam kitab Pararaton
(Swantoro 2002:143). Sebenarnya mitos tidak hanya dikenal di Jawa, di wilayah-wilayah lain
di Indonesia juga mengenal mitos. Di Sumatera
dikenal mitos raja Iskandar Zulkarnain turun di Bukit Siguntang, yang kemudian
menurunkan raja-raja. Demikian halnya di Sulawesi
dikenal mitos To manurung yang kemudian juga menurunkan raja-raja.
Meskipun kisah dalam mitos di luar rasio manusia ada saja orang
Indonesia yang mempercayainya dan menyatakan bahwa itu merupakan peristiwa
nyata, peristiwa faktual yang benar terjadi. Mereka menyatakan bahwa mereka
pernah melihat Kanjeng Ratu Kidul dengan mata kepala sendiri. Bagi mereka,
Kanjeng Ratu Kidul memang betul ada dan bukan mitos.
Menurut Locher (1959) yang dikutip Swantoro,
mitos pada umumnya menunjuk wahana bahasa pada peristiwa-peristiwa yang yang
dipandang oleh manusia sangat penting bagi eksistensinya, yang memberi arti
baginya pada masa sekarang, masa lalu, dan masa depan sekaligus (Swantoro
2002:143)
Dalam sejarah Indonesia dikenal mitos mengenai
penjajahan Indonesia oleh Belanda selama 350 tahun. Sejarawan G.J. Resink sejak
awal mengatakan bahwa Indonesia tidak dijajah selama 350 tahun. Demikian halnya
dengan sejarawan Onghokham yang mengutuk pandangan ini. Menurutnya Belanda pada
awalnya datang untuk berdagang dan pada saat itu masih ada kekuasaan lokal yang
berkuasa. Kolonialisme yang terjadi di Indonesia tepatnya dimulai setelah VOC
bangkrut dan wewenangnya diambil alih oleh pemerintah Belanda. Sehingga jika
dihitung tidak terbukti selama 350 tahun. Namun, hal ini sudah terlanjur ada
dalam ingatan bawah sadar masyarakat Indonesia dan muncul dalam buku-buku
pelajaran. Hal inilah yang menurut Onghokham disebut mitos.
Meskipun mitos bukan sejarah tetapi
mitos-mitos memiliki kegunaan sendiri. Seperti yang telah diungkapkan
sebelumnya, mitos merupakan bagian dari budaya. Mitos Dewi Sri, misalnya
merupakan bagian dari budaya agraris. Bagi Indonesia, mitos dapat menjadi
kekuatan sejarah dan oleh karena itu layak mendapat perhatian. Demikian halnya
dengan mitos Ratu Adil yang mampu menggerakkan orang Jawa untuk melawan Belanda
(Kuntowijoyo 2001:143).
Taufik Abdullah menuliskan bahwa
mitos boleh juga dianggap sebagai peristiwa ‘sejarah’ yang harus selalu diingat
dan diingatkan, sebagai pelajaran dan alat pemersatu. Namun, Taufik Abdullah
juga mengingatkan untuk tidak mencampuradukannya dengan sejarah dan ingatan.
Sejarah memang tidak ada dengan sendirinya. Sejarah adalah hasil dari sebuah
usaha untuk merekam, melukiskan, dan menerangkan peristiwa di masa lalu
(Abdullah 2001:98)
6. Tema
kajian ilmu sejarah
Sejarah
berhubungan dengan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu tema-tema kajian dalam
ilmu sejarah berdasarkan kategori
tema yang biasa menggunakan konsep-konsep ilmu sosial dalam penelitian dan
penulisan sejarahnya. Konsep dari berbagai disiplin ilmu sosial digunakan untuk
menganalisis peristiwa masa lalu sesuai minat dan tema.
Obyek kajian sejarah antara lain
sejarah sosial, sejarah politik, sejarah mentalitas, sejarah intelektual,
sejarah ekonomi, sejarah agraria, sejarah kebudayaan, sejarah maritim, sejarah
geografi, sejarah militer, sejarah perempuan, sejarah diplomatik, sejarah pendidikan, sejarah ilmu
pengetahuan.
Sejarah sosial merupakan setiap gejala
sejarah yang memanifestasikan kehidupan sosial suatu komunitas atau kelompok.
Manifestasi kehidupan sosial itu beragam, seperti kehidupan keluarga beserta
pendidikannya, gaya hidup yang meliputi pakaian, perumahan, makanan, perawatan
kesehatan, segala macam bentuk rekreasi seperti permainan, kesenian, olah raga,
peralatan, upacara. Ruang lingkup sejarah sosial sangat luas karena hampir
melingkupi segala aspek hidup manusia. Contoh jenis sejarah ini adalah karya
Trevelyan, English Social History
yang memuat banyak aspek dalam masyarakat Inggris, seperti soal pakaian,
makanan, rumah tangga (Kartodirdjo
1992:50). Contoh lainnya adalah disertasi Prof. Sartono Kartodirdjo mengenai
“Pemberontakan Petani Banten tahun 1888” (1966) di Universitas Amsterdam yang
menyinggung masalah aspek, gejala dan fenomena Ratu Adil dalam pemberontakan
petani di Banten. Dalam disertasinya Prof. Sartono menyoroti sebuah ‘peristiwa
kecil’ dengan aktor-aktor ‘orang kecil’, ulama lokal dan petani dengan memakai
pendekatan yang bercorak multidimensional.
Sejarah
politik dalam historiografi Barat lazim disebut sebagai sejarah konvensional.
Ciri yang menonjol dalam sejarah ini adalah deskriptif naratif. Proses politik
diungkapkan hanya satu dimensi yaitu dimensi politik saja, aspek lain seperti
ekonomi, sosial dan kultural kurang mendapat perhatian, sehingga berkesan datar
dan kurang memperhatikan relief (Kartodirdjo 1992: 46). Namun, pemaparan
deskriptif-naratif pada sejarah politik gaya lama digantikan sejarah politik baru dengan
analisis kritis-ilmiah karena sejarah politik model baru telah mengunakan
pendekatan dari berbagai ilmu-ilmu sosial (Sjamsudin 2012:251). Kajian sejarah
politik berhubungan dengan struktur kepemimpinan, peranan elit, jaringan
politik.
Sejarah mentalitas
memiliki cakupan yang luas. Garapan utamanya adalah mentifact yang
mencakup ide, ideologi, orientasi nilai, mitos, serta segala struktur
kesadarannya. Semua itu untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan faktor apa
yang mendorong terjadinya suatu peristiwa. Kata kunci untuk pertanyaan itu
adalah ideologi, mitos, etos, jiwa, ide-ide, mentalitas, nilai-nilai. Contoh
dari karya sejarah mentalitas adalah Fire
in the Mind of Men karya Billington yang mengembalikan dahsyatnya
revolusi-revolusi kepada semangat, ideologi, atau nilai-nilai yang memberi
inspirasi serta membentuk pola sikap yangradikal serta penuh dedikasi terhadap
suatu ide (Kartodirdjo 1992:170)
Sejarah
intelektual mempelajari
ide-ide yang pernah berkembang dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.
Ide-ide tersebut terdapat dalam filsafat, sejarah, kesusastraan, seni lukis,
patung, arsitektur, musik. Pendidikan.
Seringkali kajian sejarah intelektual
memiliki kemiripan dan saling
tumpah tindih dengan sejarah mentalitas karena keduanya bersumber pada
mentifact, fakta kejiwaan atau mentalitas. Perbedaannya sejarah intelektual
mempelajari ‘ide-ide’ sedangkan sejarah mentalitas mengkaji ‘kepercayaan dan
sikap-sikap rakyat’ (Kartodirdjo 1992:170-171; Sjamsudin 2012:256). Kajian
sejarah intelektual berupa kajian ideologi politik seperti kapitalisme,
liberalisme, komunisme, sosialisme.
Sejarah
ekonomi adalah cabang sejarah yang paling sesuai dengan teknik-teknik kuantitatif
sehingga dianggap sebagai sains atau ilmu sosial. Substansi materi sejarah
ekonomi - produksi barang dan jasa,
pekerjaan, penghasilan, harga – dapat diukur (dihitung). Ada dua aliran dalam
sejarah ekonomi modern yaitu mazhab Prancis Annales dan sejarah ekonomi baru.
Para pengikut aliran Annales dalam melakukan pendekatan kuantitatif terhadap
masa silam tidak ketat menggunakan data-data kuantitatif dengan bantuan
teori-teori dan model-model ekonomis. Tokoh terkemuka aliran Annales adalah
Fernand Braudel (1902-1985) yang menulis The
Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip II.
Sedangkan penganut aliran sejarah ekonomi baru meneliti aspek-aspek ekonomi
dengan bantuan teori-teori yang sudah jauh berkembang (Sjamsudin 2012: 246-248)
Sejarah agraria mencakup sejarah pertanian, sejarah petani,
sejarah pedesaan. Pada umumnya buku sejarah berisi dengan cerita tentang perang
dan perebutan kekuasaan, tindakan manusia yang penuh kekerasan dan kekejaman,
kepahlawanan dan pengkhianatan. Sedangkan uraian mengenai kehidupan sehari-hari
jarang dimuat. Padahal sebagian besar umat manusia tidak secara aktif terlibat
dalam kejadian-kejadian besar. Orang kebanyakan tersebut hanya mengenal
bekerja, makan, dan tidur. Bagi mereka peristiwa yang penting adalah kelahiran,
perkawinan, dan kematian. Sebelum perkembangan industri, pertanian merupakan
sumber pokok dari kehidupan mereka (Kartodirdjo 1992:183)
Sejarah
kebudayaan melingkupi ruang lingkup yang luas. Semua bentuk manifestasi
keberadaan manusia berupa bukti atau saksi seperti artifact (fakta benda), mentifact
(fakta mental-kejiwaan), dan sociofact
(fakta atau hubungan sosial) termasuk dalam kebudayaan. Semua perwujudan berupa
struktur dan proses kegiatan manusia menurut dimensi ideasional, etis, dan
estetis adalah kebudayaan (Kartodirdjo 1992: 17, 176, 195, 199; Sjamsudin 2012:
252). Contoh buku sejarah kebudayaan adalah Sejarah
Pengantar Kebudayaan Indonesia karya Dr. R. Sukmono.
Berdasarkan
wilayah antara lain dikenal
sejarah perkotaan, sejarah lokal, sejarah Indonesia, sejarah Asia Tenggara, sejarah
Asia, sejarah dunia. Tema-tema sejarah
tersebut memiliki konsep-konsep tersendiri yang membedakan antara yang satu
dengan yang lainnya.
7. Tujuan
dan makna belajar masa lalu
Mempelajari
sejarah adalah mempelajari masa lalu. Namun, bukan berarti mempelajari masa
lalu tidak ada gunanya.
Seringkali kita mendengar ungkapan ‘Belajarlah dari sejarah’, Adanya kemiripan
peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada masa lalu dengan peristiwa sejarah
yang terjadi pada masa sesudahnya seharusnya membuat kita lebih bijak dalam
menyikapinya.
Di
dalam kisah sejarah terdapat nilai-nilai atau makna tertentu. Misalnya upaya
kerja keras, rela berkorban demi nusa bangsa para tokoh sejarah. Dalam hal ini
sejarah dapat memberikan inspirasi bagi kita.
Berikutnya
dalam mempelajari sejarah kita memperoleh kesenangan berupa lawatan spiritual
ke masa silam. Dengan membaca buku sejarah, kita dapat melihat dan mengetahui
berbagai peninggalan unik serta peradaban masa silam. Di sini sejarah
memberikan nilai guna kesenangan (rekreatif) bagi mereka yang mempelajarinya
(Munajat 2004:5)
Sejarah
tidak hanya memiliki nilai guna secara teoritis, tetapi juga memiliki kegunaan
praktis. Kegunaan sejarah secara praktis dapat dibagi dua yaitu tujuan
secara intrinsik dan ekstrinsik. Secara intrinsik, sejarah berguna
untuk pengetahuan.
Secara intrinsik ada empat guna sejarah yaitu sejarah sebagai ilmu, sejarah
sebagai cara mengetahui masa lampau, sejarah sebagai pernyataan pendapat, dan sejarah
sebagai profesi (Kuntowijoyo 2001:20)
Tujuan
belajar sejarah juga berkaitan dengan pengembangan pengetahuan,
pemahaman, wawasan mengenai
berbagai peristiwa yang terjadi baik di tanah air maupun di luar tanah air,
pengembangan sikap kebangsaan dan sikap toleransi.
Secara ekstrinsik sejarah dapat digunakan sebagai liberal education yang mempersiapkan
pelajar secara filosofis. Di sini sejarah memiliki manfaat untuk pendidikan
moral, pendidikan penalaran, pendidikan politik, pendidikan kebijakan,
pendidikan perubahan, pendidikan masa depan, pendidikan keindahan. Sejarah dipelajari
karena keinginan untuk meneladani moral yang dijunjung para tokoh, pelaku
sejarah dalam kisah sejarah. Ada pula yang mempelajari sejarah karena
berhubungan dengan penalaran di mana setiap peristiwa sejarah memiliki
multidimensi baik berupa pendorong terjadinya peristiwa maupun proses
terjadinya peristiwa.
Di lain sisi pemahaman
atas peristiwa sejarah dimanfaatkan untuk kepentingan politik, mengkaji suatu
kebijakan, memahami perubahan, merancang atau merencanakan sesuatu untuk masa
depan. Bagi disiplin ilmu lain, misalnya ilmu sosial, sejarah dapat digunakan
sebagai ilmu bantu untuk memahami suatu kondisi sosial yang menjadi bagian dari
suatu peristiwa di masa silam.
Modul III
BERPIKIR
SEJARAH
KOMPETENSI
DASAR
1.
Memahami
dan menerapkan cara berpikir sejarah dalam mempelajari peristiwa-peristiwa
sejarah.
2. Menerapkan cara
berpikir sejarah dalam mengkaji peristiwa-peristiwa yang dipelajarinya.
Berpikir Sejarah
Modul ketiga ini
membahas tentang kemampuan berpikir yang dihasilkan dalam pembelajaran sejarah,
yaitu kemampuan berpikir kronologis, kemampuan periodisasi, kemampuan berpikir
kausalitas, dan kemampuan berpikir diakronik dan sinkronik. Seluruh kemampuan berpikir
ini, tidak hanya sangat diperlukan untuk memahami suatu peristiwa sejarah,
tetapi juga dapat digunakan untuk memahami peristiwa pada masa kini maupun yang
akan datang.
Kemampuan Berpikir Kronologis
Kronologis mengandung arti pengetahuan
tentang urutan waktu dari sejumlah kejadian atau peristiwa. Pengetahuan ini
sangat penting dalam pelajaran sejarah yang senantiasa menekankan perlunya
mengurutkan seluruh kejadian atau peristiwa berdasarkan urutan waktunya, yakni
menempatkan kejadian atau peristiwa yang
terjadi lebih dahulu daripada yang terjadi kemudian. Sebagai contoh: peristiwa
yang terjadi pada tahun 1945 lebih didahulukan dari pada peristiwa yang terjadi
pada tahun 1946, atau peristiwa yang terjadi pada bulan Januari lebih
didahulukan daripada peristiwa yang
terjadi pada bulan Februari, atau peristiwa yang terjadi pada hari Senin lebih
didahulukan daripada peristiwa yang terjadi pada hari Selasa, atau peristiwa
yang terjadi pada jam 8 lebih didahulukan daripada peristiwa yang terjadi pada
jam 9.
Meski kemampuan berpikir kronologis
merupakan sesuatu yang sangat penting dalam sejarah, namun sejarah tidak dapat
disamakan dengan kronik. Pengertian kronik adalah catatan peristiwa menurut
urutan waktu kejadiannya. Di dalam kronik hanya dilakukan pencatatan terhadap
peristiwa tanpa mempedulikan keterkaitan antara peristiwa yang pertama dengan
yang kedua dan selanjutnya. Sementara kronologi sangat menekankan keterkaitan
antara peristiwa yang pertama dengan yang kedua dan selanjutnya.
Kronologi memberikan gambaran waktu yang
bersifat linear, yakni waktu yang bergerak dari belakang ke depan, atau waktu
yang bergerak dari kiri ke kanan, atau waktu yang bergerak dari titik awal
hingga mencapai titik akhir. Oleh karena itu, gerakan waktu bersifat progresif
karena memandang perjalanan waktu sebagai proses perkembangan menuju kemajuan.
Dalam pandangan waktu yang bersifat linear dan progresif tersebut, pergerakan
waktu dibagi menjadi tiga dimensi waktu yaitu masa lalu, masa kini dan masa
depan. Di antara dimensi waktu itu, sejarah mempelajari peristiwa yang terjadi
pada masa lalu. Namun, peristiwa masa lalu dalam sejarah mempunyai keterkaitan
dengan masa kini dan masa depan. Keterkaitan ketiga dimensi waktu itu berada
dalam kerangka berpikir kausalitas yang akan dijelaskan pada bagian yang lain
dalam modul ini.
Kebalikan dari berpikir kronologis adalah
berpikir anakronistis. Bila berpikir kronologis mengurut peristiwa berdasarkan
urutan waktu kejadiannya, maka anakronisma cara berpikir yang mencampuradukan
atau memutarbalikan urutan peristiwa sehingga memberikan pemahaman yang salah.
Cara berpikir anakronistis menyalahi gambaran waktu sebagai proses yang
bergerak menurut garis lurus dari awal hingga akhir. Gerakan waktu secara
matematis diukur dengan detik, menit dan jam. Satuan ukuran waktu yang lebih
besar adalah hari, minggu, bulan, tahun, windu, dasawarsa, dan abad.
Anakronistis menempatkan kejadian atau peristiwa yang terjadi lebih dahulu di
belakang kejadian atau peristiwa yang terjadi kemudian. Sebagai contoh:
peristiwa yang terjadi pada tahun 1942 lebih didahulukan dari pada peristiwa
yang terjadi pada tahun 1941, atau peristiwa yang terjadi pada bulan Februari
lebih didahulukan daripada peristiwa
yang terjadi pada bulan Januari, atau peristiwa yang terjadi pada hari Selasa
lebih didahulukan daripada peristiwa yang terjadi pada hari Senin, atau
peristiwa yang terjadi pada jam 9 lebih didahulukan daripada peristiwa yang
terjadi pada jam 8.
Kemampuan Berpikir Periodisasi
Periodisasi
adalah pembagian waktu menurut zamannya. Istilah periodisasi dalam bahasa
Indonesia sepadan dengan penzamanan atau pembabakan. Ketiga istilah ini
(peridisasi, penzamana dan pembabakan) mempunyai pengertian yang sama, yakni
pembagian waktu menurut zamannya.
Kata periodisasi berasal dari kata periode.
Dalam bahasa Indonesia, kata periode mempunyai
tiga pengertian: (1) kurun waktu, (2) lingkaran waktu, dan (3) masa.
Ketiga pengertian ini mengandung arti yang sama yakni berkaitan dengan dimensi
waktu. Oleh karena itu memahami periode menjadi sangat penting dalam belajar
sejarah karena dimensi waktu merupakan sesuatu yang paling mendasar dalam ilmu
sejarah. Periodisasi dalam ilmu sejarah berfungsi untuk menyusun sistematika
dalam penulisan sejarah.
Periodisasi diberikan berdasarkan caesuur atau pembagian waktu yang
diberikan. Pemberian caesuur diberikan oleh para pujangga untuk historiografi
tradisional, dan sejarawan untuk historiografi modern. Keduanya mempunyai
perbedaa sebagai berikut: Dalam historiografi tradisional suatu zaman diberi
nama menurut seorang raja yang memerintah, atau dinasti yang memerintah, atau
nama kerajaannya. Sebagai contoh masa Raja Hawam Wuruk dalam sejarah Kerajaan
Majapahit, Masa dinasti atau wangsa Syailendra dalam sejarah Kerajaan Mataram
Hindu yang mendirikan Candi Borobudur, atau sejarah kota Makasar pada masa
Kesultanan Gowa. Dalam historigrafi modern, pembagian waktu diberikan
berdasarkan penamaan kurun waktu, misalnya periodisasi dalam sejarah Eropa yang
dibagi menjadi tiga zaman, yaitu zaman
kuno, zaman pertengahan dan zaman modern. Pembagian ini diberikan oleh
Christophorus Cellarius (1638-1707), seorang ahli sejarah klasik Eropa
berkebangsaan Jerman yang hidup pada abad ke-17. Dialah yang membagi sejarah
Eropa menjadi zaman kuno. pertengahan, dam modern. Setiap periode diberikan
batasan waktu 500 tahun. Berdasarkan pembagian waktu ini maka zaman kuno Eropa
berlangsung antara tahun 500 hingga tahun 1000, zaman pertengahan Eropa
berlangsung antara tahun 1000 hingga tahun 1500, dan zaman modern Eropa berlangsung
mulai dari tahun 1500 hingga sekarang.
Pembulatan waktu yang dilakukan Cellarius
dalam periodisasinya bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam memahami
perjalanan sejarah bangsa Eropa menuju bangsa yang modern. Di samping
pembulatan tahun, para sejarawan juga menggunakan pembulatan berdasarkan abad.
Sementara satu abad berjumlah 100 tahun. OLeh karena itu pembulatan waktu
berdasarkan abad memahami sejarah suatu bangsa dalam kurun waktu setiap seratus
tahun. Sebagai contoh dalam historigrafi Barat dikenal periodisasi yang membagi
periodisasi menjadi periode Reformasi – Protestan untuk sejarah Eropa pada abad
ke-16, periode Rasionalisme untuk sejarah Eropa pada abad ke-17, periode
Pencerahan atau Aufklarung untuk
sejarah Eropa pada abad ke-18, dan peride Romantisme-Nasionalisme untuk sejarah
Eropa pada abad ke-19.
Periodisasi
juga diberikan para sejarawan Indonesia. Pada tahun 1957 para sejarawan
Indonesia membagi sejarah Indonesia menjadi enam periode, yaitu (1) Jaman
Prasejarah Indonesia, (2) Jaman Kuno, (3) Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan
Islam di Indonesia, (4) Abad Kesembilanbelas, (5) Jaman Kebangkian Nasional dan
Masa Akhir Hindia Belanda, dan (6) Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia.
Setiap periode tersebut berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Jalam prasejarah
berlangsung sebelum abad masehi, jaman kuno beralngsung dari awal abad Masehi
hingga tahun 1500, jaman pertumbuhan dan perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam
berlangsung dari tahun 1500 hingga tahun 1800, abad kesembilan belas
berlangsung dari tahu 1800 hingga tahun 1900, jaman kebangkitan nasional dan
masa akhir Hindia Belanda berlangsung dari tahun 1900 hingga 1942, dan jaman
Jepang dan Jaman Republik Indonesia berlangsung dari tahun 1942 hingga
sekarang.
Periodisasi
sejarah Indonesia yang diberikan para sejarawan Indonesia tersebut merupakan
penggabungan dari pembulatan tahun dan pembulatan abad serta
pertistiwa-peristiwa politik yang dinilai sangat penting, seperti tahun 1942,
yaitu awal penjajahan Jepang di Indonesia yang menandai berakhirnya penjajahan
Belanda di Indonesia.
Dalam
sejarah politik ada kebiasaan membuat periodisasi berdasarkan pemilihan caesuur pada tahun pertistiwa penting,
antara lain akhir perang, awal revolusi, awal suatu pemerintahan, dan lain
sebagainya. Periodisasi seperti ini membuktikan bahwa ide pentingnya peranan
perang, diplomasi, dan peristiwa penting lain sangat menonjol. Jadi dominasi
sejarah politik dan perang sangat menentukan. Sebagai contoh adalah Revolusi
Perancis pada tahun 1789 yang dijadikan sebagai awal periode modern daam
sejarah Perancis. Dapat disimpulkan bahwa periodisasi dalam sejarah politik
dilakukan seara tajam.
Pembagian
periode secara tajam sebagaimana berlaku dalam sejarah politik tersebut tidak
dilakukan para sejarawan ekonomi dan social. Mereka membagi periode berdasarkan
konjungtur atau gelombang yang memperhatikan perubahan yang lambat. Sebagai
contoh adalah periodisasi yang dilakukan sejarawan Perancis, Braudel. Ia
membagi sejarah menjadi tiga periode yaitu sejarah kejadian-kejadian
(L’histoire evenementielle), sejarah konjungtural, dan sejarah jangka panjang
atau sejarah structural.
Perubahan dalam sejarah structural (sejarah
social) lebih lambat dari pada perubahan yang berlangsung dalam sejarah
konjungtural (sejarah ekonomi). Contoh sejarah structural adaah perubahan
struktur social atau struktur kekuasaan. Keduanya tidak dapat terjadi secara
mendadak dan berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Perubahan dalam struktur
social sangat bergantung pada kemunculan golongan social baru. Kemuncula golonga
social baru ini menciptakan pola hubungan social yang baru pula di antara
golongan-golongan social tersebut.
Dari uraian di atas, periodisasi yang
paling sederhana adalah periodisasi
dalam sejarah politik. Relatif lebih mudah meetapkan caesuur masa pemerintahan penguasa, awal da akhir perang, atau
periode berdirinya suatu negara dan kerajaan daripada menentukan perubahan
konjungtural maupun structural.
Kesulitan utama dalam membuat periodisasi berkaitan dengan unit sejarah yang
diambil. Semakin besar dan kompleks suatu unit, semakin sulit menetapkan
criteria tajam yang berlaku untuk seluruh unit.
Dalam menghadapi kesulitan-kesulitan itu
perlu diperhatikan bahwa periodisasi hanya suatu modalitas untuk member
struktur atau bentuk kepada waktu, tidak diperlukan kemutlakan dalam membuat
pembatasan. Yang paling pokok ialah memakai criteria secara konsisten. Kriteria
adalah ukuran yang digunakan untuk menetapkan karakteristik zaman.
Kemampuan Berpikir Kausalitas
Kausalitas
menyangkut hubungan sebab akibat antara dua atau lebih peristiwa. Pengetahuan
tentang hubungan sebab akibat tersebut sangat penting dalam pembelajaran
sejarah, terutama untuk menjawab pertanyaan mengapa suatu peristiwa terjadi?
Jawaban terhadap pertanyaan menagap itu menngharuskan adanya sebuah uraian
tentang sesuatu yang menjadi penyebab terjadinya sebuah peristiwa. Sebagai
contoh, mengapa terjadi perang Dunia II pada tahun 1939? Mengapa Perang Dunia
II berakhir pada tahun 1945? Kedua pertanyaa ini harus dijawab dengan
menguraikan penyebab-penyebabnya. Uraian penyebab ini dalam ilmu sejarah
disebut sebagai kausalitas. Ada dua teori kausalitas, yaitu monokausalitas dan
multikausalitas.
1. Monokausalitas
Monokausalitas
adalah teori hubungan sebab akibat yang pertama kali muncul dalam ilmu sejarah.
Teori ini bersifat deterministic (ketergantungan), yakni mengembalikan
kausalitas suatu peristiwa, keadaan, atau perkembangan kepada satu faktor saja.
Faktor itu dipandang sebagai faktor tunggal atau satu-satunya faktor yang
menjadi faktor kausal.
Deterministik
dalam monokausalitas terdiri dari determinstik geografis, deterministik rasial,
dan deterministuk ekonomis. Menurut teori determinisme geografis ini bahwa
faktor geografi atau lokasi tempat tinggal merupakan penyebab tunggal dari
sebuah peistiwa, keadaan ataupun perkembangan suatu bangsa. Sebagai contoh,
bangsa-bangsa di negeri dingin pada umumnya maju oleh karena kondisi ekologinya
menuntut “jiwa” yang mampu menyesuaikan diri dan mengatasi kondisi alamiah yang
berat. Sebaliknya, di negeri panas (tropika) alam sangat memudahkan hidup
sehingga tidak menimbulkan banyak tantangan. Sementara deterministic rasila
lebih menekankan faktor biologis sebagai penentu kemajuan suatu bangsa.
Sejalan
dengan pemikiran faktor tunggal, deterministic ekonomis menganggap faktor
ekonomi sebagai penyebab tunggal perkembangan masyarakat. Menurut deterministic
ekonomis bahwa seluruh lembaga social, politik dan cultural ditentukan oleh
proses ekonomis, khususnya sistem produksi. Sebagai contoh, sistem produksi
agraris dengan teknologi tradisional menciptakan struktur politik dan social
yang bersifat feodalistik. Keduanya berkisat sekitar hubungan antara tuan tanah
dan penggarap atau buruh tani.
2.
Multikausalitas
Teori
kausalitas yang kedua adalah multikausalitas, yakni menjelaskan suatu peristiwa
dengan memperhatikan berbagai penyebab. Multikausalitas didasarkan pada
perspektivisme, yaitu pandangan terhadap permasalahan yang mendekati dari
berbagai segi atau aspek dan perspektif. Perspektivisme di sini berkaitan
dengan konsep dan pendekatan sistem. Pendekatan ini beranggapan bahwa antar
unsure-unsur ada saling ketergantungan serta saling berhubungan. Dalam
kaitannya dengan mencari kausalitas, maka dalam hal ini lebih ditekankan adanya
kausalitas dan bukan monokausalitas. Disinilah letak perbedaan antara
perspektivisme dengan determinisme.
Kemunculan
multikausalitas disebabkan oleh keteidakmampuan monokausalitas dalam
menjelaskan peristiwa, keadaan atau perkembangan. Sebagai contoh, penjelasan
tentang Perang Dunia Pertama. Dalam teori monokausalitas, perang ini dijelaskan
sebagai akibat dari ditembak matinya putra mahkota Kerajaan Austria di Sarajevo
pada tahun 1914. Multikausalitas tidak puas dengan penjelasan yang menempatkan
penembakan putra mahkota Kerajaan Austria itu sebagai penyebab tunggal
meletusnya Perang Dunia I tersebut. Menurut teori multikausalitas bahwa Perang
Dunia I disebabkan berbagai faktor menyangkut situasi hubungan internasional
pada saat itu.
Multikausalitas
sangat berguna untuk memahami peubahan social. Pembicaraan tentang konsep
perubahan social bertolak dari butir-butir referensi sebagai berikut:
1.
Dinamika
masyarakat menunjukkan pergerakan dari tingkat perkembangannya yang terdahulu
ke yang kemudian, lazimnya dari yang sederhana ke yang lebih maju. Unsure-unsur
mana yang berubah dan faktor-faktor apakah yang menyebabkan perubahan.
2.
Dalam
berbagai teori senantiasa perubahan social mempunyai arah, yaitu dari yang
sederhana bentuknya ke yang kompleks, berarti yang lebih baik fungsinya untuk
menyelenggarakan proses hidupnya. Ada teori evolusi, teori kemajuan, teori
Darwinisme social, teori positivis, dan lain sebagainya. Teori-teori ini masuk
filsafat sejarah atau filsafat social.
3.
Dalam
studi sejarah tentang perubahan social yang dikaji masalah pola-pola, struktur,
dan tendensi dalam proses perubahan itu. Fokus perhatian ada pada transformasi
structural serta faktor-faktor yang menyebabkannya. Apakah struktur yang sama
berasal dari struktur lain yang sama pula dan apakah faktor kausalnya? Apakah
struktur yang sama berasal dari kausalitas yang sama dan sebaliknya apakah
kausalitas yang sama selalu menghasilkan struktur yang sama?
Sehubungan
dengan tiga masalah di atas maka perlu dilakukan studi sejarah komparatif,
yakni melakukan perbandingan antarperistiwa. Perlu ditekankan bahwa yang
diperbandingkan bukan fakta sejarah tetapi berbagai pola, tendensi, dan
strukturnya. Sejarah dengan pendekatan ilmu social mempunyai kemampuan untuk
melakukan perbandingan antarperistiwa. Ada beberapa kemungkinan membuat
perbandingan:
1.
Antara
dua negeri dengan periode yang sama
2.
Persamaan
tema atau jenis gejala sejarah
3.
Kombinasi
butir pertama dan kedua.
4.
Antara
dua periode yang berbeda dari satu negeri
5.
Antara
dua periode yang berbeda dari dua negeri.
Sebagai
contoh membandingkan antara politik kolonial Belanda di Indonesia dengan
politik kolonial Inggris di India. Dalam analisisnya akan dapat
diekstrapolasikan antara lain:
1.
Proses
modernisasi lewat edukasi
2.
Sistem
social ekonomi
3.
Komersialistik
fiscal
4.
Aagraris
feudal
5.
Struktur
organisasi aliran inovatif
6.
Pernanan
golongan inteligensia
7.
Kendala
dari struktur social
8.
Kasta
etnisitas,
Perbandigan
antara Indonesia dan Indonesia juga dapat dilakukan pada tingkat keberhasilan
modernisasi yang diperolehnya. Perbandingan derajat modernisasi menggunakan
criteria sebagai berikut:
1.
Mobilitas
social
2.
Integrasi
horizontal dan vertical
3.
Produktivitas
sumber daya alamiah dan social budaya
4.
Siste
teknologi
5.
Struktur
kekuasaan demokrasi
6.
Tingkat
kesejateraan rakyat.
Kemampuan Berpikir Diakronis
dan Sinkronik
Kemampuan berpikr diakronik dan sinkronik
mempunyai beberapa perbedaan. Pengertian berpikir diakronis adalah kemampuan
memahami peristiwa dengan melakukan penelusuran pada masa lalu. Sebagai contoh
memahami Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945
dengan menelusuri perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia sejak masa penjajahan
Belanda pada abad ke-17. Oleh karena itu cara berpikir diakronis sangat mementingkan
proses terjadinya sebuah peristiwa.
Sementara berpikir sinkronik memahami
peristiwa dengan mengabaikan aspek perkembangannya. Cara berpikir sinkronik
memperluas ruang dalam suatu peristiwa. Sebagai contoh Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945 dijelaskan dengan menguraikan berbagai aspek, seperti aspek
social, ekonomi, politik, dan hubungan internasioal. Oleh karena itu cara
berpikir sinkronik sangat mementingkan struktur yang terdapat dalam setiap
peristiwa.
Berpikir diakronis merrupakan cara berpikir
yang khas sejarah, sementara berpikir sinkronik merupakan cara berpikir yang
khas ilmu-ilmu social. Dapat disimpulkan bahwa cara berpikir sejarah itu
bersifat diakronik, memanjang dalam waktu, serta memetingkan proses terjadinya
sebuah peristiwa. Sedangkan cara berpikir ilmu-ilmu sosial itu bersifat
sinkronik, melebar dalam ruang, serta mementingkan struktur dalam satu
peristiwa.
Cara berpikir sinkronik sangat mempengaruhi
kelahiran sejarah baru yang sangat dipengaruhi perkembangan imu-ilmu social. Pengaruh
itu dapat digolongan ke dalam empat macam, yaitu konsep, teori, dan
permasalahan.
Konsep
Bahasa latin conceptus yang berarti gagasan
atau ide. Para sejarawan banyak menggunakan konsep ilmu-ilmu social. Sebagai
contoh sejaawan Anhar Gonggong dalam disertasinya tentang Kahar Muzakkar menggunakan konsep
politik lokal untuk menerangkan konflik antargologan di Sulawesi Selatan.
Konsep ilmu social lain yang digunakannya adalah konsep dari psykologi etnis
yang terdapat dalam masyarakat Sulawesi Selatan, yaitu sirik yang berarti harga
diri atau martabat.
Teori
Bahasa
Yunani theoria berarti kaidah yang mendasari suatu gejala, yang sudah melalui
verifikasi. Sebagai contoh adalah karya sejarawan Ibrahim Alfian, Perang di
Jalan Allah. Ia menerangkan perang Aceh dengan teori perilaku kolektif dari
ilmu social. Dalam teori itu diterangkan bahwa perilaku kolektif dapat timbul,
melalui dua syarat, yaitu ketegangan structural dan keyakinan yang tersebar.
Dalam kasus perang Aceh yang diteliti Ibrahim Alfian dijelaskan adanya
ketegangan antara orang Aceh dengan pemerintah colonial Hindia Belanda
(ketegangan structural), dan keyakinan yang tersebar di kalangan masyarakat
Aceh bahwa musuh mereka adalah golongan kafir. Pertentangan antara kafir dan
muslim itulah yang menghasilkan ideology perang sabil.
Permasalahan
Dalam
sejarah banyak sekali permasalahan ilmu-ilmu social yang dapat diangkat jadi
topic-topik penelitian sejarah. Soal seperti mobilitas social, kriminalitas,
migrasi, gerakan petani, budaya istana, kebangkitan kelas menengah dan
sebagainya. Sebagai contoh adalah karya
sejarawan Sartono Kartodirdjo tentang perkembangan peradaban priyayi yang
ditulis berdasarkan permasalahan elite dalam pemerintahan colonial, kemunculannya,
lambang-lambangnya, dan perubahan-perubahannya.
Modul IV
SUMBER
SEJARAH
A.
KOMPETENSI DASAR
1.Menganalisis
jenis sumber, peran sumber dan keterkaitannya dengan kejadian sejarah.
2.Menggunakan
pengetahuan tentang sumber dalam mengenal sumber dalam mengenal sumber yang ada
di lingkungannya.
SUMBER SEJARAH
A.
Pengertian dan kedudukan sumber sejarah
Sumber sejarah disebut juga data sejarah.
Dalam bahasa Inggris, data adalah
bentuk jamak, sedangkan bentuk tunggalnya datum.
Kata datum berasal dari bahasa Latin
yang mengandung arti pemberian. Kata data diserap ke dalam bahasa Indonesia
dengan pengertiannya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keterangan
yang benar dan bahan nyata yang dapat djadikan sebagai dasar kajian, analisis
atau kesimpulan.
Data
sejarah atau sumber sejarah juga mempunyai pengertian seluruh informasi yang
dapat dijadikan sebagai dasar untuk merekonstruksi atau menyusun kembali
peristiwa masa lalu. Pengunaan data atau sumber dalam belajar sejarah menjadi
sangat penting karena sejarah merekonstruksi peristiwa yang benar-bear terjadi
pada masa lalu. Oleh karena itu karya sejarah merupakan sebuah karya nonfiksi.
Peristiwa yang direkonstruksi bukanlah khayalan. Inilah perbedaannya dengan
karya sastra seperti novel, karena cerita di dalam novel tidak berdasarkan data
atau sumber sejarah. Bahkan peristiwa yang diceritakan dalam novel merupakan
hasil khayalan penulis novel.
Informasi yang diperoleh dari data atau
sumber sejarah adalah keterangan sekitar apa yang terjadi, siapa pelakunya, di
mana peristiwa itu terjadi dan kapan peristiwa itu terjadi. Seluruh keterangan
inilah yang dijadikan dasar untuk merekonstruksi peristiwa masa lalu menjadi
sebuah kisah yang sudah dlengkapi dengan proses bagaimana peristiwa itu terjadi
beserta latar belakangnya sehingga menjawab pertanyaan mengapa peristiwa itu
terjadi.
B.
Jenis sumber sejarah
Data atau sumber sejarah tersebut dibagi menjadi sumber tertulis, sumber
lisan, dan sumber benda. Berikut adalah penjelasan singkat terhadap
masing-masing data atau sumber sejarah tersebut beserta tempat untuk
memperolehnya.
a. Sumber tertulis
Sumber tertulis adalah keterangan tentang peristiwa masa lalu yang
disampaikan secara tertulis dengan mengguakan media tulis sepeti batu dan
kertas. Sumber terulis dengan menggunakan
batu disebut prasasti. Di Indonesia, sumber tertulis berupa prasasti
sangat banyak. Dari keterangan prasasti itulah kita mengetahui adanya Kerajaan
Kutai di Kalimantan Timur dan Kerajaan Taruma Negara di Jawa Barat. Keduanya
dipercaya sebagai kerajaan tertua di Indonesia, dan keduanya menganut agama
Hindu. Reflika sumber tertulis berupa prasasti tersebut kini tersimpan di dalam
Museum Nasional di Jakarta.
Penemuan kertas menggantikan batu sebagai media penulisan. Informasi yang
diiberikan media kertas lebih banyak dan lebih lengkap bila dibandingkan media
batu. Tulisan pejabat VOC dan pemerintah kolonial Hindia Belanda menjadi sumber
tertulis yang dijadikan dasar untuk merekonstruksi masa lalu bangsa Indonesia
pada abad ke-16 hingga abad ke-19. Informasi tertulis itu dapat berupa cerita,
laporan pertanggungjawaban pada akhir masa jabatan, atau laporan pejabat kepada
atasanya tentang suatu peristiwa yang terjadi di wilayahnya. Kini data atau
sumber tertlulis dengan menggunakan media kertas tersebut disimpan di dalam
Arsip Nasional Republik Indonesia.
b.
Sumber lisan
Data atau sumber sejarah tidak semuanya ditulis. Banyak juga data atau sumber sejarah yang tidak tertulis. Jenis data atau
sumber sejarah ini disebut sbagai data atau sumber lisan. Cara memperolehnya
melalui teknik wawancara kepada pelaku atau skasi sejarah.
Pelaku sejarah adalah orang yang secara langsung terlibat dalam peristiwa
sejarah. Sebagai contoh pelaku sejarah dalam perjuangan kemerdekaan, proklamasi
kemerdekaan, peristiwa Gerakan 30 September 1965, ataupun peristiwa reformasi
pada tahun 1998.
Saksi sejarah ialah orang yang mengetahui suatu peristiwa sejarah, tetapi
tidak terlibat secara langsung. Misalnya petani yang menyaksikan pertempuran
pada masa perang kemerdekaan, atau masyarakat sekitar tempat tinggal Presiden
Sekarno di jalan Pegangsaan Timur yang menyaksikan pembacaan Proklamasi
Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, atau orang-orang yang menyaksikan
sekitar peristiwa Gerakan 30 September 1965 maupun Reformasi tahun 1998.
Arsip Nasional Republik Indonesia memiliki banyak rekaman hasil wawancara
mereka terhadap pelaku sejarah. Hasil wawancara itu dapat dimanfaatkan untuk
pelajaran sumber lisan.
Kelebihan
dari penelitian sejarah lisan :
a.
Pengumpulan data dapat
dilakukan dengan adanya komunikasi dari dua arah (antara peneliti dengan tokoh)
sehingga jika ada hal yang kurang jelas bisa langsung ditanyakan pada nara
sumber.
b.
Penulisan sejarah menjadi
lebih demokratis (terbuka) karena memungkinkan sejarawan untuk mencari
informasi dari semua golongan masyarakat (baik rakyat biasa sampai pejabat)
c.
Melengkapi kekurangan data atau
informasi yang belum termuat dalam sumber tertulis atau dokumen.
Kekurangan
dari Sejarah Lisan :
a.
Keterbatasan daya ingat
seorang pelaku/saksi sejarah terhadap suatu peristiwa.
b.
Memiliki subjektifitas yang
tinggi dikarenakan sudut pandang yang berbeda dari masing-masing pelaku dan
saksi terhadap sebuah peristiwa. Sehingga mereka akan cenderung memperberbesar
peranannya dan menutupi kekurangannya.
c. Sumber benda
Sumber benda disebut juga sebagai sumber corporal , yaitu sumber sejarah
yang diperoleh dari peninggalan benda-benda kebudayaan, misalnya, alat-alat
atau benda budaya, seperti kapak, gerabah, perhiasan, manik-manik, candi, dan
patung. Sebagian sumber benda ini terdapat di museum, dan sebagiannya dapat
disaksikan langsung di lokasi, seperti Candi Prambanan, Candi Borobuduru, dan
lain sebagainya.
C. Sifat Sumber Sejarah
Berdasarkan sifatnya, sumber sejarah tertulis dibagi menjadi sumber primer
dan sekunder.
Sumber Primer
Sumber primer disebut juga sumber utama atau sumber asli. Contoh sumber
primer tertulis adalah arsip-arsip. Arsip dikatakan sebagai sumber primer
karena ditulis pada saat terjadinya peristiwa yang dilaporkan. Dalam sumber
lisan yang disebut sumber primer adalah informasi yang diberikan oleh pelaku
sejarah.
Sumber Sekunder
Sumber sekunder disebut juga dengan sumber kedua. Contoh sumber sekunder
tertulis adalah surat kabar sumber yang ditulis oleh sejarawan berdasarkan
sumber primer atau sumber yang bukan merupakan kesaksian langsung pada periode
sejarah yang diteliti oleh sejarawan
D.
Dokumen,
artefak, fosil, dan masyarakat.
Sebelum
membicarakan lebih lanjut mengenai penggunaan dokumenter dalam penulisan
sejarah, maka perlu kiranya dijelaskan terlebih dahulu mengenai konsepsi atau
pengertian dari istilah dokumen itu sendiri. Kata dokumen berasal dari bahasa
latin yaitu docere, yang berarti mengajar. Pengertian dari kata dokumen ini
menurut Louis Gottschalk (1986; 38) seringkali digunakan para ahli dalam dua
pengertian, yaitu pertama, berarti sumber tertulis bagi informasi sejarah
sebagai kebalikan daripada kesaksian lisan, artefak, peninggalan-peninggalan
terlukis, dan petilasan-petilasan arkeologis. Pengertian kedua diperuntukan
bagi surat-surat resmi dan surat-surat negara seperti surat perjanjian,
undang-undang, hibah, konsesi, dan lainnya. Lebih lanjut, Gottschalk menyatakan
bahwa dokumen (dokumentasi) dalam pengertiannya yang lebih luas berupa setiap
proses pembuktian yang didasarkan atas jenis sumber apapun, baik itu yang
bersifat tulisan, lisan, gambaran, atau arkeologis.
G.J. Renier,
sejarawan terkemuka dari University College London, (1997; 104) menjelaskan
istilah dokumen dalam tiga pengertian, pertama dalam arti luas, yaitu yang
meliputi semua sumber, baik sumber tertulis maupun sumber lisan; kedua dalam
arti sempit, yaitu yang meliputi semua sumber tertulis saja; ketiga dalam arti
spesifik, yaitu hanya yang meliputi surat-surat resmi dan surat-surat negara,
seperti surat perjanjian, undang-undang, konsesi, hibah dan sebagainya.
Guba dan Lincoln
(dalam Moleong, 2007;216-217) menjelaskan istilah dokumen yang dibedakan dengan
record. Definisi dari record adalah setiap pernyataan tertulis yang disusun
oleh seseorang / lembaga untuk keperluan pengujian suatu peristiwa atau
menyajikan akunting. Sedang dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film,
lain dari record, yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seorang
penyidik. Sedangkan menurut Robert C. Bogdan seperti yang dikutip Sugiyono
(2005; 82) dokumen merupakan catatan peristiwa yang telah berlalu, bisa
berbentuk tulisan, gambar, karya-karya monumental dari seseorang.
Dari berbagai
pengertian di atas, maka dapat ditarik benang merahnya bahwa dokumen merupakan
sumber data yang digunakan untuk melengkapi penelitian, baik berupa sumber
tertulis, film, gambar (foto), dan karya-karya monumental, yang semuanya itu
memberikan informasi bagi proses penelitian.
Macam-Macam Bahan
dan Jenis Dokumen
Menurut Burhan
Bungin (2008; 122) bahan dokumen itu berbeda secara gradual dengan literatur,
dimana literatur merupakan bahan-bahan yang diterbitkan sedangkan dokumenter
adalah informasi yang disimpan atau didokumentasikan sebagai bahan dokumenter.
Mengenai bahan-bahan dokumen tersebut, Sartono Kartodirdjo (2008; 101)
menyebutkan berbagai type seperti; otobiografi, surat kabar, surat-surat
pribadi, catatan harian, momorial, kliping, dokumen pemerintah dan swasta,
serta cerita roman (sejarah). Bahkan untuk saat ini foto, tape, film,
mikrofilm, disc, compact disk, data di server / flashdisk, data yang tersimpan
di web site, dan lainnya dapat dikatakan sebagai bahan documenter.
Dari bahan-bahan
dokumenter di atas, para ahli mengklasifikasikan dokumen ke dalam beberapa
jenis diantaranya; Menurut Bungin (2008; 123); dokumen pribadi dan dokumen
resmi.
Dokumen pribadi
adalah catatan seseorang secara tertulis tentang tindakan, pengalaman, dan
kepercayaannya. Berupa buku harian, surat pribadi, otobiografi.
Dokumen Resmi
terbagi dua: pertama intern; memo, pengumuman, instruksi, aturan lembaga untuk
kalangan sendiri, laporan rapat, keputusan pimpinan, konvensi; kedua ekstern;
majalah, buletin, berita yang disiarkan ke mass media, pemberitahuan.
Menurut Sugiyono
(2005; 82), berbentuk tulisan, gambar, dan karya. Bentuk tulisan, seperti;
catatan harian, life histories, ceritera, biografi, peraturan, kebijakan, dan
lainnya. Bentuk gambar, seperti; foto, gambar hidup, sketsa,
dan lainnya. Bentuk karya, seperti; karya seni berupa gambar,
patung, film, dan lainnya.
Menurut E. Kosim
(1988; 33) jika diasumsikan dokumen itu merupakan sumber data tertulis, maka
terbagi dalam dua kategori yaitu sumber resmi dan tak resmi. Sumber resmi
merupakan dokumen yang dibuat/dikeluarkan oleh lembaga/perorangan atas nama
lembaga. Ada dua bentuk yaitu sumber resmi formal dan sumber resmi informal. Sumber
tidak resmi, merupakan dokumen yang dibuat/dikeluarkan oleh individu tidak atas
nama lembaga. Ada dua bentuk yaitu sumber tak resmi formal dan sumber tak resmi
informal.
Studi Dokumen Dalam Penelitian Sosial
Studi Dokumen Dalam Penelitian Sosial
Metode dokumenter
merupakan salah satu jenis metode yang sering digunakan dalam metodologi
penelitian sosial yang berkaitan dengan teknik pengumpulan datanya. Terutama
sekali metode ini banyak digunakan dalam lingkup kajian sejarah. Namun sekarang
ini studi dokumen banyak digunakan oleh lapangan ilmu sosial lainnya dalam
metodologi penelitiannya, karena sebagian besar fakta dan data sosial banyak
tersimpan dalam bahan-bahan yang berbentuk dokumenter. Oleh karenanya ilmu-ilmu
sosial saat ini serius menjadikan studi dokumen dalam teknik pengumpulan
datanya.
Data dalam
penelitian sosial kebanyakan diperoleh dari sumber manusia atau human
resources, melalui observasi dan wawancara. Akan tetapi ada pula sumber bukan
manusia, non human resources, diantaranya dokumen, foto dan bahan statistik.
Studi dokumen yang dilakukan oleh para peneliti sosial, posisinya dapat
dipandang sebagai ”nara-sumber” yang dapat menjawab pertanyaan; ”Apa tujuan
dokumen itu ditulis?; Apa latarbelakangnya?; Apa yang dapat dikatakan dokumen
itu kepada peneliti?; Dalam keadaan apa dokumen itu ditulis?; Untuk siapa?” dan
sebagainya.(Nasution, 2003; 86)
Menurut Sugiyono
(2005; 83) studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi
dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Bahkan kredibilitas hasil penelitian
kualitatif ini akan semakin tinggi jika melibatkan / menggunakan studi dokumen
dalam metode penelitian kualitatifnya. Hal senada diungkapkan Bogdan (seperti
dikutip Sugiyono) “in most tradition of qualitative research, the phrase
personal document is used broadly to refer to any first person narrative
produce by an individual which describes his or her own actions, experience,
and beliefs”.
Metode kualitatif
menggunakan beberapa bentuk pengumpulan data seperti transkrip wawancara
terbuka, deskripsi observasi, serta analisis dokumen dan artefak lainnya. Data
tersebut dianalisis dengan tetap mempertahankan keaslian teks yang memaknainya.
Hal ini dilakukan karena tujuan penelitian kualitatif adalah untuk memahami
fenomena dari sudut pandang partisipan, konteks sosial dan institusional.
Sehingga pendekatan kualitatif umumnya bersifat induktif. Selain itu, di dalam
penelitian kualitatif juga dikenal tata cara pengumpulan data yang lazim, yaitu
melalui studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka (berbeda dengan
Tinjauan Pustaka) dilakukan dengan cara mengkaji sumber tertulis seperti
dokumen, laporan tahunan, peraturan perundangan, dan diploma/sertifikat. Sumber
tertulis ini dapat merupakan sumber primer maupun sekunder, sehingga data yang
diperoleh juga dapat bersifat primer atau sekunder. Pengumpulan data melalui
studi lapangan terkait dengan situasi alamiah. Peneliti mengumpulkan data
dengan cara bersentuhan langsung dengan situasi lapangan, misalnya mengamati
(observasi), wawancara mendalam, diskusi kelompok (Focused group discussion),
atau terlibat langsung dalam penilaian ( Djoko Dwiyanto,
djoko_dwiy@ugm.ac.id).
Kajian dokumen
merupakan sarana pembantu peneliti dalam mengumpulkan data atau informasi
dengan cara membaca surat-surat, pengumuman, iktisar rapat, pernyataan tertulis
kebijakan tertentu dan bahan-bahan tulisan lainnya. Metode pencarian data ini
sangat bermanfaat karena dapat dilakukan dengan tanpa mengganggu obyek atau
suasana penelitian. Peneliti dengan mempelajari dokumen-dokumen tersebut dapat
mengenal budaya dan nilai-nilai yang dianut oleh obyek yang diteliti.
Pengumpulan data perlu didukung pula dengan pendokumen dengan foto, video,
dan VCD. Dokumentasi ini akan berguna untuk mengecek data yang telah terkumpul.
Pengumpulan data sebaiknya dilakukan secara bertahap dan sebanyak mungkin
peneliti berusaha mengumpulkan. Maksudnya, jika nanti ada yang terbuang atau
kurang relevan, peneliti masih bisa memanfaatkan data lain. Dalam fenomena
budaya, biasanya ada data yang berupa tata cara dan perilaku
budaya serta sastra lisan.
Artefak atau artifact
merupakan benda arkeologi atau peningalan benda-benda bersejarah, yaitu semua
benda yang dibuat atau dimodifikasi oleh manusia yang dapat dipindahkan. Contoh
artefak adalah alat-alat batu, logam dan tulang, gerabah, prasasti,
senjata-senjata logam (anak panah, mata panah, dll), terracotta dan tanduk
binatang.
Artefak
dalam arkeologi mengandung pengertian benda (atau bahan alam) yang jelas dibuat
oleh (tangan) manusia atau jelas menampakkan (observable) adanya
jejak-jejak buatan manusia padanya (bukan benda alamiah semata) melalui
teknologi pengurangan maupun teknologi penambahan pada benda alam tersebut.
Ciri penting dalam konsep artefak adalah bahwa benda ini dapat bergerak atau
dapat dipindahkan (movable) oleh tangan manusia dengan mudah (relatif)
tanpa merusak atau menghancurkan bentuknya.
Fosil dalam bahasa latin :fossa yang berarti
"menggali keluar dari dalam tanah") adalah sisa-sisa atau bekas-bekas
makhluk hidup yang menjadi batu atau mineral. Untuk menjadi fosil, sisa-sisa
hewan atau tanaman ini harus segera tertutup sedimen. Oleh para pakar dibedakan
beberapa macam fosil. Ada fosil batu biasa, fosil yang terbentuk dalam batu,
tumbuhan yang dikira sudah punah tetapi ternyata masih ada disebut fosil hidup.
Fosil yang paling umum adalah kerangka yang tersisa seperti cangkang, gigi dan tulang.
Fosil jaringan lunak sangat jarang ditemukan.Ilmu yang mempelajari fosil adalah
paleontologi, yang juga merupakan cabang ilmu arkeologi.
Secara
singkat definisi dari fosil harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Sisa-sisa
organisme.
2. Terawetkan
secara alamiah.
3. Pada
umumnya padat/kompak/keras.
4. Berumur
lebih dari 11.000 tahun.
MODUL V
PENELITIAN SEJARAH
KOMPETENSI DASAR
- Memahami langkah-langkah penelitian sejarah dalam mengkaji berbagai peristiwa sejarah.
- Menerapkan langkah-langkah penelitian sejarah dalam mengkaji berbagai peristiwa sejarah.
- Melakukan penelitian sejarah secara sederhana.
- Menyajikanya dalam bentuk laporan penelitian sejarah.TERI MODUL
1.
Metode dan Metodologi
Pengertian metode dan metodologi mempunyai
hubungan erat meskipun tetap ada perbedaan. Pengertian metode pada umumnya
adalah menurut kamus Webster’s Third New
International Dictionary of the English Language(Sjamsuddin, 2007, hal. 12-13):
a.
Suatu
prosedur atau proses untuk mendapatkan suatu objek
b.
Suatu
disiplin atau sistem yang acapkali dianggap sebagai suatu cabang logika yang
berhubungan dengan prinsip-prinsip yang dapat diterapkan untuk penyidikan ke
dalam atau eksposisi dari beberapa subjek.
c.
Suatu
prosedur, teknik, atau cara melakukan penyelidikan yang sistematis yang dipakai
oleh atau yang sesuai untuk suatu ilmu (sains), seni, atau disiplin tertentu.
d.
Suatu
rencana sistematis yang diikuti dalam menyajikan materi untuk pengajaran.
e.
Suatu
cara memandang, mengorganisasi, dan memberikan bentuk dan arti khusus pada
materi-materi artistik: 1) suatu cara, teknik, atau proses dari atau untuk
melakukan sesuatu; 2) suatu keseluruhan keterampilan-keterampilan (a body of skills) atau teknik-teknik.
Sementara menurut kamus The New Lexicon (1989:628) dalam (Sjamsuddin, 2007, hal. 14) memberikan gambaran tentang pengertian
metodologi yaitu suatu cabang filsafat yang berhubungan dengan ilmu tentang
metode atau prosedur; suatu sistem tentang metode-metode dan aturan-aturan yang
digunakan dalam sains.
Berkaitan dengan Sejarah, Sartono
Kartodidjo dalam (Sjamsuddin, 2007, hal. 14)
membedakan metode sebagai bagaimana memperoleh pengetahuan (how to know) dan metodologi sebagai
mengetahui bagaimana harus mengetahui (to
know how to know), sehingga dalam metode sejarah adalah bagaimana
mengetahui sejarah dan metodologinya adalah mengetahui bagaimana mengetahui
sejarah. Pendapat lain mengenai metode sejarah adalah petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi, dan penyajian sejarah (Kuntowijoyo, 1995, hal. xii). Dari beberapa
definisi para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa metode sejarah merupakan
suatu metode yang digunakan dalam proses penelitian terhadap sumber-sumber masa
lampau yang dilakukan secara kritis-analitis dan sistematis dan disajikan
secara tertulis.
2.
Fakta Sejarah
Fakta adalah hasil dari seleksi data yang terpilih. Fakta menunjukkan
terjadinya suatu peristiwa di masa lampau. Fakta berasal dari bahasa latin, factus
dan facerel, yang artinya selesai atau mengerjakan. Fakta sejarah
adalah fakta – fakta yang berhubungan langsung dengan peristiwa sejarah yang
kita teliti. F. J. Tigger
mendefinisikan fakta adalah sebagai hasil penyelidikan secara kritis yang
ditarik dari sumber – sumber dokumenter (Sidi Gazalba, 1981).
Sementara Louis Gottchalk mengartikan fakta sebagai suatu unsur yang
dijabarkan secara langsung atau tidak langsung dari sumber sejarah yang
dipandang kredibel, setelah diuji secara seksama dengan metode sejarah. Dari
pandangan sejarah itu menunjukkan bahwa fakta dalam sejarah adalah rumusan atau
kesimpulan yang diambil dari sumber sejarah atau dokumen. Fakta sejarah dibagi
menjadi fakta lunak, fakta keras, inferensi dan opini. Berikut adalah
penjelasan masing-masing
a. Fakta lunak
Fakta lunak merupakan fakta yang masih perlu
dibuktikan dengan dukungan fakta – fakta lain. Para sejarawan melalui
penelitian sumber – sumber sejarah mencoba mengolah sehingga bisa dimengerti.
Tetapi bisa saja bahwa apa yang dianggap sebagai fakta belum tentu diterima
oleh orang lain, sehingga tidak jarang masih mengundang perdebatan. Contohnya
peristiwa supersemar merupakan fakta lunak karena masih dalam perdebatan.
b. Fakta keras
Fakta keras adalah fakta – fakta yang biasanya
sudah diterima sebagai sesuatu peristiwa yang benar, yang tidak lagi
diperdebatkan. Fakta ini sering disebut “fakta keras”, fakta yang sudah mapan (established) dan tidak mungkin
dipalsukan lagi. Contohnya peristiwa proklamasi
17 Agustus 1945 merupakan faakta yang tidak bisa diubah lagi.
c. Inferensi
Inferensi merupakan ide – ide sebagai benang
merah yang menjembatani antara fakta yang satu dengan fakta yang lain. Ide atau
gagasan ini dapat dimasukkan dalam kategori fakta, tetapi masih cukup lemah.
Karena inferensi tidak lebih dari suatu pertimbangan logis yang menjelaskan
pertalian antara fakta – fakta.
d. Opini
Opini mirip dengan inferensi, tetapi opini ini
lebih bersifat pendapat pribadi / perorangan. Karena pendapat pribadi maka
tidak didasarkan pada konsideran umum. Sedangkan salah satu benntuk informasi
sejarah, opini merupakan penilaian (value judgment) atau sangkaan
pribadi.
Berdasarkan bentuknya fakta sejarah dibagi menjadi 3, yaitu : fakta
mental, fakta social, dan artefak
a. Fakta mental
Fakta mental adalah kondisi yang dapat menggambarkan
suasana pikiran, perasaan batin,
kerohanian, dan sikap yang mendasari suatu karya cipta. Jadi fakta
mental bertalian dengan perilaku, ataupun tindakan moral manusia yang mampu
menentukan baik buruknya kehidupan manusia, masyarakat, dan Negara misalnya,
mental orang Aceh yang keras dan tak mudah menyerah, mengakibatkan pihak
Belanda kewalahan dalam menghadapi perlawanannya.
b. Fakta Sosial
Fakta sosial adalah fakta sosial yang
berdimensi sosial, yakni kondisi yang mampu menggambarkan tentang keadaan
sosial, suasana zaman dan sistem kemasyarakatan, misalnya interaksi
(hubungan)antarmanusia, contoh pakaian adat, atau pakaian kebesaran raja. Jadi
fakta sosial berkenaan dengan kehidupan suatu masyarakat, kelompok masyarakat
atau suatu Negara yang menumbuhkan hubungan sosial yang harmonis serta
komunikasi yang terjaga baik. Misalnya, bangunan arsitektur Eropa di kota
Indonesia. Ini menandakan Bahwa di kota bersangkutan pernah di tempati oleh
orang-orang asal Eropa yang membangun rumah yang beraksitektur dan tidak jauh
beda dengan negara asalnya.
c. Artefak
adalah semua benda baik secara keseluruhan atau sebagian hasil garapan
tangan manusia, contohnya candi, patung, dan perkakas.
3.
Penelitian Sejarah
Menurut Thomas Jefferson, dalam penulisan sejarah
Penelitian sejarah adalah salah satu
penelitian mengenai pengumpulan dan evaluasi data secara sistematik, berkaitan
dengan kejadian masa lalu untuk menguji hipotesis yang berhubungan dengan
faktor-faktor penyebab, pengaruh atau perkembangan kejadian sekarang dan
mengantisipasi kejadian yang akan datang (Sukardi,
2003, hal. 203). Menurut (Sjamsuddin,
2007, hal. 13) penelitian sejarah berhubungan dengan suatu prosedur,
proses, atau teknik yang sistematis dalam penyidikan suatu disiplin ilmu
tertentu untuk mendapatkan objek (bahan-bahan) yang akan diteliti (Sjamsuddin, 2007, hal. 13).
Menurut Sjamsuddin
(2007, hal. 89) paling tidak ada enam tahap yang harus ditempuh dalam
penelitian sejarah yaitu:
a.
Memilih
topik yang sesuai
b.
Mengusut
semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik
c.
Membuat
catatan tentang apa saja yang dianggap penting dan relevan dengan topik yang
ditemukan ketika penelitian sedang berlangsung dengan membuat system card, fotokopi, komputer dan
internet.
d.
Mengevaluasi
secara kritis semua bukti yang telah dikumpulkan (kritik sumber)
e.
Menyusun
hasil-hasil penelitian (catatan fakta-fakta) ke dalam suatu pola yang benar dan
berarti yaitu sistematika tertentu yang telah disajikan sebelumnya.
f.
Menyajikannya
dalam suatu cara yang menarik perhatian dan mengkomunikasikannya kepada para
pembaca sehingga dapat dimengerti sejelas mungkin.
Penelitian sejarah pada dasarnya adalah
penelitian terhadap sumber-sumber sejarah, merupakan implementasi dari tahapan
kegiatan yang tercakup dalam metode sejarah yaitu heuristik, kritik,
interpretasi dan historiografi. Tahapan historiografi merupakan kegiatan
penulisan hasil penelitian. Gambar 5.1 menggambarkan metode Sejarah sebagai
berikut:

Gambar 6 Metode Penelitian Sejarah
Sumber: (Sjamsuddin,
2007, hal. 17)
a. Heuristik
Heuristik adalah kegiatan mencari dan
menemukan sumber yang diperlukan. Berhasil tidaknya pencarian sumber, pada
dasarnya tergantung dari wawasan peneliti mengenai sumber yang diperlukan dan
keterampilan teknis penelusuran sumber (Sobana
Hs, 2008, hal. 4). Menurut
Carrard (1992) dan Gee (1950) dalam(Sjamsuddin, 2007, hal. 86) heuristik (heuristics) merupakan sebuah kegiatan
mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data/materi sejarah/evidensi
sejarah. Tahap heuristik ini banyak menyita waktu, biaya, tenaga, pikiran dan
perasaan karena apabila kita mendapatkan yang
dicari maka serasa mendapatkan harta karun, sementara jika sudah bersusah payah
mencari sumber tetapi tidak berhasil maka rasa frustasi akan muncul.
Sumber-sumber sejarah dapat ditemukan di
perpustakaan, arsip dan museum, dimana kekayaan perpustakaan, arsip dan museum
dapat diketahui dari petunjuk-petunjuk, indeks, bibliografi, katalog, majalah,
dan jurnal serta brosur yang meminformasikan kepada sejarawan, peneliti,
pengunjung apa saja yang tersedia dalam perpustakaan, arsip atau museum itu yang berhubungan dengan
literatur atau dokumen sejarah. Pengetahuan praktis mengenai petunjuk-petunjuk
atau indeks-indeks ini dan bagaimana menggunakan perpustakaan dan arsip adalah
syarat mutlak bagi penelitian sejarah. Pengetahuan tersebut muncul biasanya
selama proses pengumpulan materi itu berlangsung (Sjamsuddin, 2007, hal. 121).
b. Kritik
Kritik adalah sebuah kegiatan pengujian
secara kritis terhadap sumber-sumber sejarah yang telah ditemukan, untuk
memperoleh otentisitas dan dan kredibilitas. Tujuan utama kritik sumber adalah
untuk menyeleksi data, sehingga diperoleh fakta. Setiap data sebaiknya dicatat
dalam lembaran lepas (sistem kartu), agar memudahkan pengklasifikasiannya
berdasarkan kerangka tulisan. Kritik sumber dilakukan setelah peneliti berhasil
mengumpulkan sumber-sumber dalam penelitiannya dan tidak menerima begitu saja
apa yang tercantum dan tertulis pada sumber-sumber tersebut dan menyaringnya
secara kritis terutama sumber pertama (Sjamsuddin,
2007, hal. 131). Kritik sumber dilakukan dilakukan baik terhadap bahan
materi maupun terhadap substansi (isi)
sumber. Dalam metode sejarah dikenal dengan cara melakukan kritik eksternal dan
kritik internal.
1). Kritik eksternal
Kritik eksternal adalah cara melakukan
verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek luar dari sumber sejarah (Sjamsuddin, 2007, hal. 132). Sebelum
sumber-sumber sejarah dapat digunakan dengan aman, menurut Lucey (1984) ada
lima pertanyaan yang harus dijawab dengan memuaskan (Sjamsuddin, 2007, hal. 133) yaitu:
a)
Siapa
yang mengatakan?
b)
Apakah
kesaksian tersebut telah diubah?
c)
Apa
yang dimaksud sumber dengan kesaksiannya?
d)
Apakah
orang yang memberikan kesaksian itu seorang saksi mata (witness) yang kompeten (mengetahui fakta yang sebenarnya)
e)
Apakah
saksi mengatakan fakta yang sebenarnya (truth)
dan memberikan fakta yang diketahui?
Fungsi
kritik eksternal adalah memeriksa sumber sejarah atas dasar dua hal pertama dan
menegakkan sedapat mungkin otentisitas dan integritas dari sumber tersebut.
Kritik eksternal juga harus memperhatikan otentisitas (authenticity), deteksi sumber palsu, integritas dan penyuntingan.
Sebuah sumber sejarah (catatan harian, surat, buku) adalah otentik atau asli
jika itu benar-benar produk dari orang yang dianggap sebagai pemiliknya (atau
dari periode yang dipercayai sebagai masanya jika tidak mungkin menandai
pengarangnya).
Langkah
yang dilakukan dalam menegakkan otentisitas
adalah mengidentifikasi penulis. Kadang-kadang penulis tidak dapat
ditandai karena banyak dokumen dan penerbitan pertama-tama muncul tidak
menggunakan nama samaran dan penelitian kemudian dapat saja berhasil
mengidentifikasi beberapa penulisnya. Belum ada aturan yang benar-benar baku
untuk memutuskan berapa banyak yang harus dibuktikan sebelum sebuah sumber
dapat diterima sebagai sesuatu yang asli, namun semakin banyak yang diketahui
tentang dokumen tersebut, semakin banyak pula yang dapat digunakan oleh
peneliti dari sumber tersebut (Sjamsuddin, 2007,
hal. 134-137).
Keahlian
dalam mendeteksi sumber asli diperlukan mengingat kecanggihan teknologi modern
yang memudahkan para pemalsu dokumen untuk melakukan operasinya. Banyak dokumen
rahasia negara terutama yang sedang konflik dijajakan oleh para pemalsu kepada pihak
yang berkepentingan dikatakan asli padahal palsu (Sjamsuddin, 2007, hal. 137). Dalam mendeteksi sumber maka haru
diperhatikan kriteria fisik (jenis kertas, tinta, cat), garis asal usul
dokumen, tulisan tangan, dan isi dari sumber.
Setelah
mendeteksi sumber maka selanjutnya harus diketahui integritasnya. Integritas
disini dapat diartikan bahwa sumber mempunyai otentisitas yang tetap jika
kesaksian yang asli tetap terpelihara tanpa ubah-ubahan mensikipun
ditransmisikan dari masa ke masa (Sjamsuddin,
2007, hal. 140). Ubahan dapat berupa penambahan, pengurangan,
penghilangan atau penggantian dalam teks asli dan ini mungkin saja disengaja
atau tidak disengaja dalam sumber asli atau dalam salinan aslinya. Ubahan yang
sering terjadi diakibatkan oleh kekeliruan dalam menyalin sehingga secara
substansional dapat mengubah arti sebuah teks. Untuk mencegah kekeliruan
tersebut perlu dilakukan kolasi yaitu membandingkan manuskrip asli dengan
salinan oleh seseorang yang membaca naskah asli dan sejarawan mengikuti naskah
salinannya. Jika integritasnya terjaga maka dapat dikatakan fakta dari
kesaksian (fact of testimony) telah
ditegakkan bagi sejarawan (Lucey dalam (Sjamsuddin,
2007, hal. 140)).
Dokumen
yang diedit secara sembarangan dapat merusak banyak sumber sejarah. Dokumen
memang harus diedit sebagaimana aslinya dan jika ada perubahan, penyunting
harus memberitahukan pembacanya. Aplikasi dari aturan-aturan sederhana ini
menuntut kerajinan yang diteliti dan penyunting dapat menggunakan tanda-tanda
tertentu dalam mengoreksi kesalahan ejaan, istilah, ataupun nama yang dibuat
oleh penulis asli (Sjamsuddin, 2007, hal. 143).
2). Kritik Internal
Kritik internal merupakan kebalikan dari
kritik eksternal dengan menekankan aspek dalam yaitu isi dari sumber, yaitu
kesaksian (testimony) (Sjamsuddin, 2007, hal. 143). Setelah fakta
kesaksian ditegakkan melalu kritik eksternal, tiba giliran sejarawan untuk
mengadakan evaluasi terhadap kesaksian tersebut apakah reliable atau tidak. Hal yang perlu diperhatikan dari kritik
internal adalah:
a)
Arti
sebenarnya dari kesaksian
Sejarawan harus menetapkan arti sebenarnya dari
perkataan yang dikemukakan oleh saksi apakah diartikan harfiah atau
sesungguhnya (real) . Arti harfiah
adalah pengertian gramatikal yang berarti menurut huruf yang tertulis.
Sementara arti yang sesungguhnya adalah arti yang tersirat dari balik huruf
yang ditulis. Mungkin dalam sebuah tulisan sejarah sumber tersebut menggunakan
kalimat metafora sehingga peneliti harus tahu arti yang sesungguhnya.
b)
Kredibilitas
kesaksian.
Kredibilitas (keterpercayaan) seorang saksi harus
memperhatikan bagaimana kemampuan saksi untuk mengamati, bagaimana
kesempatannya untuk mengamati teruji dengan benar atau tepat, bagaimana jaminan
bagi kejujurannya, bagaimana kesaksiannya itu dibandingkan dengan saksi-saksi
yang lain. Dalam membandingkan satu sumber dengan sumber-sumber lain untuk
kredibilitas, terdapat tiga kemungkinan
yaitu sumber-sumber lain dapat cocok dengan sumber yang dibandingkan, berbeda
dengan sumber atau malah tidak menyebutkan apa-apa (Sjamsuddin, 2007, hal. 151-152)
c)
Sumber-sumber
yang sesuai (concurring sources)
Sumber dikatakan kredibel apabila sumber yang lain
sesuai dengan kesaksiannya baik secara independen maupun dependen. Penyesuaian
kesaksian dari saksi independen dan dapat dipercaya yang dapat menegakkan
kredibilitas suatu sumber tertentu.
d)
Sumber-sumber
yang berbeda (disseting sources).
Perbedaan kesaksian sumber lain terhadap satu sumber
tidak begitu saja dapat membatalkan kesaksian dari sumber yang dibicarakan.
Tetapi tergantung dari tingkat perbedaannya. Pada beberapa kondisi tertentu
perbedaan sudah dapat diperkirakan namun kembali kepada kecerdasan peneliti
dalam menghadapi perbedaan tersebut dan komplikasi-komplikasi yang muncul
akibat perbedaan sehingga dapat ditemukan juga benang merahnya.
c. Historiografi
Sesudah menyelesaikan langkah-langkah
pertama dan kedua berupa heurestik dan kritik sumber, maka langkah selanjutnya
adalah menghasilkan karya historiografi yang merupakan penafsiran dan
pengelompokkan fakta-fakta dalam berbagai hubungan juga membuat formulasi serta
presentasi hasil-hasilnya sehingga akan menggamparkan operasi-operasi sintetis
yang menuntun dari kritik dokumen kepada penulisan teks yang sesungguhnya (Sjamsuddin, 2007, hal. 155). Tahap-tahap
penulisan mencakup interprestasi, eksplanasi sampai kepada presentasi atau
pemaparan sejarah sebenarnya yang merupakan satu kegiatan yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain.
a)
Penafsiran
(Interpretasi)
Proses penulisan
dilakukan karena ingin mencipta ulang dengan deskripsi dan narasi serta melakukan penafsiran (interpret) dengan menggunakan analisa dan berolritasi kepada
problem. Teknik analisis deskripsi narasi sering kali dikaitkan dengan bentuk
atau model sejarah lama, sedangkan teknik analisis dikaitkan dengan bentuk atau
model sejarah baru yang ilmiah (Sjamsuddin,
2007, hal. 158).
b)
Penjelasan
(Eksplanasi)
Dalam
setiap pembahasan mengenai metodologi sejarah, penjelasan merupakan satu pusat
utama yang menjadi sorotan. Penjelasan menurut D.H. Fischer berarti membuat
terang, jelas dan dapat dimengerti dengan menggunakan: what (apa), how
(bagaimana), when (kapan), where (dimana) dan who (siapa) (Sjamsuddin, 2007, hal.
190). Seringkali eksplanasi disamakan dengan deskripsi padahal
sebenarnya keduanya dapat dibedakan. Deskripsi hanya penyebutan fakta saja,
sementara penjelasan menuntut jawaban yang analitis-kritis yang akhirnya
bermuara pada suatu penjelasan atau keterangan sintesis sejarah. Sejarah yang
sebenarnya adalah jika dapat menjelaskan atau memberikan jawaban tentang why (mengapa). Jadi bukan sekedar what,
when, where dan who tapi
lebih kepada why-what, why-when, why-where dan why-who. Sebagai
contoh misalnya fakta sejarah mengenai Proklamasi Kemerdekaan yang diucapkan di
Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945 jam 10 pagi oleh Ir. Sukarno. Dalam
deskripsi, peneliti cukup menjawab apa (Proklamasi Kemerdekaan), kapan (tanggal 17 Agustus 1945 jam 10),
dimana (Jakarta) dan siapa (Ir. Sukarno). Tetapi dalam eksplanasi harus dapat
menjawab, mengapa Proklamasi Kemerdekaaan diucapkan (why-what), mengapa Sukarno yang mengucapkan bukan Hatta (why-who), mengapa tanggal 17 Agustus
1945 bukan tanggal yang lainnya (why-when),
dan mengapa di Jakarta bukan kota-kota lain di Indonesia (why-where). Jadi semuanya menuntut keterangan, penjelasan yang
kalau ditulis dapat menghasilkan buku yang tebal bukan hanya sekedar jawaban
faktual (Sjamsuddin, 2007, hal. 191-192).
Tetapi
tanpa deskripsi faktual mustahil dapat membuat sebuah eksplanasi sejarah sebab
eksplanasi tanpa fakta adalh fantasi. Hubungan antara keduanya adalah hubungan
yang saling melengkapi dan tidak dapat berdiri sendiri. Seperti mobil dengan
bahan-bahan pembuat mobil. Tidak akan ada mobil (eksplanasi) kalau tidak ada
bahan-bahan pembuatnya seperti mesin, kaca, baja, ban, jok dan sebagainya
(deskripsi fakta). Dalam bentuk yang paling sederhana, dengan merangkaikan
komponen-komponen itu dalam suatu sintesis akan menghsilkan suatu penjelasan
mengapa dan/atau bagaimana peristiwa sejarah terjadi (Sjamsuddin, 2007, hal. 193).
Terdapat
beberapa model penjelasan sejarah seperti yang terlihat pada tabel 5.2.
Tabel
5.2
Model
Penjelasan Sejarah
Model
|
Keterangan
|
Kausalitas
|
Terdapat hubungan sebab akibat yang menunjukkan
bahwa setiap fenomena merupakan akibat dari sebab sebelumnya (Temperley, 1964) dengan melakukan
prosedur:
1.
Mencari
sejumlah sebab yang relevan untuk satu peristiwa yang sama
2.
Memperkecil
secara sitematis sebab-sebab tersebut dan menyusun kembali secara hirarkis
menurut urutan yang paling dominan sampai kepada sekedar penyerta saja.
|
Covering Law Model (CLM)
|
1.
Merupakan
satu bentuk teori eksplanasi untuk segala macam penyidikan (inkuiri) (Dray,
1969)
2.
Penjelasan
sejarah harus dapat diterangkan oleh hukum umum atau hipotesis universal atau
hipotesis dari bentuk universal (Hempel dalam Gardiner, 1959).
3.
Secara
metodologis tidak ada perbedaan antara penjelasan dalam ilmu alam dengan
sejarah karena sama-sama bertujuan untuk membuat hubungan-hubungan kausatif
yaitu penjelasan ilmiah mengenai peristiwa-peristiwa yang hanya diperoleh
dengan menempatkan peristiwa tersebut di bawah hipotesis, teori atau hukum
umum.
|
Heurmeunetika
|
1.
Merupakan
alat kritik terhadap sumber sejarah (Bauman, 1978)
2.
Mencoba
memahami makna sebenarnya dari sebuah dokumen, sajak, teks hukum, tindakan
manusia, bahasa, budaya asing atau diri sendiri (Bruns, 1992)
3.
Menekankan
secara tegas perbedaan antara ilmu alam dengan ilmu kemanusiaan karena alam
adalah ciptaan Tuhan sementara kemanusiaan merupakan hasil dari manusia itu
sendiri
|
Analogi
|
1.
Merupakan
alat eksplanasi yang menjadi semacam
ornamen dalam artikulasi ide-ide.
2.
Pada
setiap kesempatan, para sejarawan akan menggunakan analogi itu secara luas,
baik sebagai instumen heuristik untuk penyidikan empiris maupun sebagai alat
eksplanasi dalam pengajaran dan memperindah tulisan (Fischer, 1970)
|
Motivasi
|
1.
Sebagai
salah satu bentuk eksplanasi kausal dimana akibat merupakan suatu hasil
perbuatan yang inteligen sedangkan sebab merupakan pikiran yang berada di
belakang perbuatan itu
2.
Sebagai
penjelasan non kausal yaitu berupa model dari tingkah lauk yang berpola
(Fischer, 1970)
|
Sumber: (Sjamsuddin,
2007, hal. 190-235)
c)
Penyajian
(Ekspose)
Dalam
penulisan sejarah, wujud dari penulisan itu merupakan paparan, penyajian dan
presentasi yang sampai kepada dan dibaca oleh para pembaca dan pemerhati
sejarah. Paling tidak secara bersamaan digunakan tiga bentuk teknik dasar
menulis yaitu deskripsi, narasi dan analisis. Sehubungan dengan hal tersebut
maka penyajian sejarah dapat dilakun dengan tiga cara yaitu deskriptif naratif,
sejarah analitis-kritis dan gabungan deskriptif-naratif dan analitis kritis (Sjamsuddin, 2007, hal. 236-238).
Sejarah
yang bersifat naratif mempunyai beberapa sebutan seperti sejarah populer dan
sejarah peristiwa karena terlalu menyandarkan diri kepada peristiwa-peristiwa
atau sejarah lama dimana sejarawan dianggap sebagai narator yang ditulis pada
bagian luarnya saja dan tidak memiliki arti. Penyajian sejarah yang bersifat
analitis kritis dianggap sebagai sejarah akademik dengan orientasinya pada
problema dan struktur. Pemaparan untuk jenis ini umumnya terdapat pada karya
tulis ilmiah sepeti tesis dan disertasi. Namun cara ini dianggap terlalu kaku
dan tidak historis. Sementara gabungan deskriptif naratif dan analitis kritis
merupakan proses integrasi peristiwa yang naratif dengan struktur yang
analitis.
3.
Penulisan Sejarah
Dari tulisan pada gambar 6,
Thomas Jefferson mengemukakan bahwa menulis sejarah membutuhkan waktu yang
panjang, melakukan pengamatan seumur hidup, penyelidikan, tenaga dan koreksi secara terus menerus. Dalam
menulis sejarah materi tidak mudah ditemukan jika memori/ ingatan sudah
membusuk/rusak.
Menulis sejarah merupakan kegiatan
intelektual dan cara yang utama untuk memahami sejarah. Ketika serawan memasuki
tahap menulis, maka segala daya pikirannya dikerahkan, bukan saja keterampilan
teknis penggunaan kutipan dan catatan, tetapi yang terutama penggunaan
pikirn-pikiran kritis dan analisisnya sehingga
menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau
penulisan utuh yang disebut historiografi. Menulis karya sejarah baik itu
makalah singkat ataupun buku tebal sebenaranya merupakan suatu paduan antara
kerja seni karena menggunakan bahasa dengan berbagai gaya yang disukai atau
dikuasai dan kemampuan berpikir kritis, analitis dan sintesis. Para peneliti
sejarah dituntut kemampuan dan keterampilan menulis, karena harus
mengkomunikasikan hasil penelitian atau temuan tersebut kepada umum.
Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian
sebelumnya di atas maka penulisan sejarah diawali dengan penelitian sejarah
yang mencakup bertanya, menentukan dan mencari sumber, kritik sumber, validasi
informasi (kritik internal dan eksternal), interpretasi, rekonstruksi (dari
tahapan heuristik dan kritik sumber, lalu dibangun suatu rangkaian cerita
sejarah) dan penulisan. Peserta didik tinggal mengikuti langkah-langkah penelitian
sejarah untuk membuat penulisan sejarah dan menghasilkan sebuah tulisan
sejarah, walaupun sederhana tetapi memenuhi kaidah penelitian sejarah.
Modul VI
HISTORIOGRAFI
A.
KOMPETENSI DASAR
- Menganalisis perbedaan ciri-ciri dari historiografi tradisional, kolonial dan modern.
- Mengklasifikasi ciri-ciri historiografi tradisional, kolonial dan modern.
Historiografi
Historigrafi terbentuk dari dua akar kata
yaitu history (sejarah) dan graph (tulisan). Jadi historiografi artinya adalah tulisan sejarah,
baik itu yang bersifat ilmiah (problem
oriented) maupun yang tidak bersifat ilmiah (no problem oriented). Problem
oriented artinya karya sejarah ditulis bersifat ilmiah dan berorientasi
kepada pemecahan masalah (problem solving),
yang tentu saja penulisannya menggunakan seperangkat metode penelitian.
Sedangkan yang dimaksud dengan no problem
oriented adalah karya tulis sejarah yang ditulis tidak berorientasi kepada
pemecahan masalah dan ditulis secara naratif, juga tidak menggunakan metode
penelitian (Jayusman, 2012).
Secara lebih luas, Louis Gottschalk dalam (Dasuki, 2003, hal. 338) menyebutkan arti
historiografi sebagai berikut:
a.
Historiografi
merupakan bentuk publikasi, baik dalam bentuk tulisan maupun secara lisan, yang
sengaja memberi pertelaan mengenai suatu peristiwa atau kombinasi
peristiwa-peristiwa pada masa lampau
b.
Historiografi
diartikan sebagai hasil karya berupa tulisan atau bacaan mengenai sejarah yang
meliputi juga sejarah lisan
c.
Historiografi
adalah proses penulisan sejarah sebagai penerapan aspek serba interpretatif
dalam metode sejarah untuk menyusun sintetis sejarah yang dilandasi oleh
penelitian yang seksama melalui heuristik, kritik terhadap sumber-sumber
sejarah dan seleksi terhadap fakta-fakta sejarah.
d.
Historiografi
merupakan kegiatan dalam kerja keilmuan di bidang sejarah yang menghasilkan
tulisan-tulisan sebagai kategori pemikiran teoritis dan metodologis mengenai
masalah-masalah dalam penelitian danproses penelitian sejarah.
2. Perkembangan Historiografi Indonesia
Perkembangan historiografi Indonesia tidak
terlepas dari pertumbuhan historiografi dan ilmu sejarah pada umumnya.
Persoalan yang langsung menyangkut historiografi Indonesia, antara lain
diferensiasi dalam bidang-bidang sejarah, seperti sejarah gerakan sosial,
hubungan internasional, struktur sosial, jadi hubungan yang semakin erat antara
sejarah dengan ilmu pengetahuan sosial, sedangkan metodologi mengambil peranan
yang semakin penting (Rohman, 2013).
Perkembangan historiografi seiring dengan perkembangan masyarakat dan bangsa
Indonesia, baik melalui upaya-upayanya maupun setelah mendapat pengaruh dari
kebudayaan lain dan perkembangan ilmu pengetahuan modern.
a.
Historiografi
Tradisional
Pada masa perkembangan
historiografi tradisional, yaitu corak penulisan sejarah
yang banyak ditulis
oleh para pujangga kraton,
karya-karya mereka bertujuan
untuk melegitimasi kedudukan
raja. Dengan demikian, historiografi pada masa ini
mempunyai ciri-ciri magis, religius,
bersifat sakral, menekankan
kultus, dewa raja
dan mitologi, bersifat anakronisme,
etnosentrisme, dan berfungsi
sosial psikologis untuk
memberi kohesi pada
suatu masyarakat tentang kebenaran-kebenaran kedudukan suatu dinasti (Indriyanto, 2001, hal. 2).
Selanjutnya Soedjatmoko
(1965) mengemukakan bahwa historiografi
tradisional nusantara, kita kenal dengan sejumlah istilah seperti babad, serat kanda, sajarah, carita,
wawacan, hikayat, sejarah, tutur, salsilah, cerita-cerita manurung (Sjamsuddin,
2007, hal. 10). Semuanya naratif dalam bentuk prosa maupun puisi
(syair). Kartodirdo (1982) menyebutkan historiografi tradisional itu berkembang
setelah suatu kelompok dalam masyarakat Indonesia membentuk suatu kesatuan
politik. Dengan timbulnya kerajaan atau kehidupan bangsa dalam suatu kesatuan
politk, dibina pula historiografi yang menghasilkan naskah sebgai karya sastra
sejarah. Pembinaan historiografi diselenggarakan di pusat kerajaan di berbagai
daerah di Indonesia. Karya sastra sejarah yang dihasilkan terdiri dari
naskah-naskah dalam bahasa-bahasa daerah dan sejarah di dalamnya masih
difungsikan sebagai mitos (Dasuki, 2003, hal.
347).
Karya-karya sejarah
yang ditulis oleh para pujangga dari lingkungan keraton ini hasil karyanya
biasa disebut Historigrafi Tradisional. Contoh karya sejarah yang berbentuk
historiografi tradisional yang ditulis oleh para pujangga keraton dari kerajaan
hindu/budha sebagai berikut : 1. Babad Tanah Pasundan, 2. Babad Parahiangan, 3.
Babad Tanah Jawa, 4. Pararaton, 5. Nagarakertagama, 6. Babad Galuh, 7. Babad
Sriwijaya, dan lain-lain. Sedangkan
karya historiografi tradisional yang ditulis para pujangga dari kerajaan Islam
diantaranya : 1. Babad Cirebon yaitu karya dari Kerajaan Islam Cirebon, 2.
Babad Banten yaitu karya dari Kerajaan
Islam Banten, 3. Babad Dipenogoro
yaitu karya yang mengisahkan kehidupan Pangeran Diponegoro, 4. Babad Demak
yaitu karya tulis dari Kerajaan Islam Demak,
5. Babad Aceh dan lain-lain (Jayusman,
2012)
Karakteristik Historiografi
Tradisional adalah sebagai berikut (Jayusman,
2012; Dasuki, 2003, hal. 346-347):
1)
Bersifat
istana/kraton sentris, dimana karya-karya didalamnya banyak mengungkapkan
sekitar kehidupan keluarga istana/keraton, dan ironisnya rakyat jelata
tidak mendapat tempat didalamnya, dengan
alasan rakyat jelata dianggap a-historis.
2)
Bersifat
Religio-magis, , artinya dalam historigrafi tradisional seorang raja ditulis
sebagai manusia yang memiliki kelebihan secara batiniah, dianggap memiliki
kekuatan gaib. Tujuannya agar seorang raja mendapat apresiasi yang luar biasa
di mata rakyatnya, sehingga rakyat takut, patuh, dan mau melaksanakan
perintahnya. Rakyat akan memandang, bahwa seorang raja keberadaannya di muka
bumi merupakan sebagai perwujudan atau perwakilan dari Tuhan.
3)
Bersifat
regio-sentrisme dimana cerita sejarah berpusat kepada kedudukan sentral raja,
sehingga menimbulkan raja-sentrisme. Sebagai contoh, ada historiografi
tradisional dengan secara vulgar memakai judul dari nama wilayah
kekuasaannya,seperti Babad Cirebon, Babad Bugis, Babad Banten.
4)
Bersifat
etnosentris artinya dalam historiografi tradisional ditulis dengan penekanan
pada penonjolan/egoisme terhadap suku bangsa dan budaya yang ada dalam wilayah
kerajaan.
5)
Bersifat
psiko-politis sentrisme, artinya historiografi tradisional ditulis oleh para
pujangga sangat kental dengan muatan-muatan psikologis seorang raja, sehingga
karya historiografi tradisional dijadikan sebagai alat politik oleh sang raja
dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. Tidak perlu terlampau heran kalau
karya historiografi tradisional oleh masyarakat setempat dipandang sebagai
kitab suci yang didalamnya penuh dengan fatwa para pujangga dalam pengabdiannya
terhadap sang raja.
Karena
banyaknya pengaruh oleh faktor budaya saat naskah penulisan sejarah budaya
dibuat, maka naskah tersebut dapat menjadi suatu hasil kebudayaan di masyarakat
dan banyak dipengaruhi oleh alam pikiran penulis naskah atau masyarkatnya.
Melukiskan kenyaataan jauh dari fakta yang sesungguhnya sehingga lemah dalam
hal ketepatan fakta (Kuntowijoyo, 1995, hal. 8).
Namun historiografi tradisional dalam batas-batas tertentu dapat dijadikan
sumber untuk penulisan sejarah karena masih dapat mengambil nama tokoh, nama
wilayah/daerah dan tahun kejadian (Jayusman,
2012).
b.
Historiografi
Kolonial
Historiogrofi kolonial tidak terlepas dari
kepentingan penguasa kolonial untuk mengokohkan kekuasaan di Indonesia.
Kepentingan itu mewarnai interpretasi mereka tehadap suatu peristiwa sejarah
yang tentunya akan berlawanan dengan historiografi sejarah nasional. Historiografi Kolonial adalah karya sejarah (tulisan sejarah) yang ditulis pada masa pemerintahan kolonial berkuasa di
Nusantara Indonesia, yaitu sejak zaman VOC (1600) sampai masa Pemeritahan
Hindia Belanda yang berakhir ketika tentara pendudukan Jepang datang di
Indonesia (1942). Perlu ditambahkan, pemerintahan Hindia Belanda yang
dikendalikan oleh para Gubernur Jenderal (GB) melalui para ahli begitu aktif
menulis karya sejarah. Atau dengan kata lain, historiografi kolonial adalah
karya tulis sejarah yang ditulis oleh para sejarawan kolonial ketika
pemerintahan kolonial berkuasa di Nusantara Indonesia (Jayusman, 2012).
Kartodirdjo (1995) dalam (Indriyanto, 2001, hal. 2) mengemukakan
historiografi kolonial yang
sudah mendasarkan pada
tradisi studi sejarah kritis.
Namun demikian, perspektif
yang menonjol masih
menunjukkan Neerlandosentrisme sebagai
penyempitan wawasan Eropasentris.
Asal mulanya karya
sejarawan Belanda terutama
mengisahkan perjalanan
pelayar-pelayar Belanda serta
kemudian perkembangan VOC
dilanjutkan dengan pemerintah
kolonial beserta penguasa-penguasanya. Dalam hal ini kita menjumpai penulisan
sejarah berdasarkan tradisi
historiografi konvensional yang lebih berupa riwayat orang-orang
berkuasa, antara lain Gubernur Jendral, raja-raja, panglima,
dan sebagainya. Sebuah model
sejenis historiografi ini
adalah karya W.F.
Stapel, Geschiedenis van Nerlands-Indie.
Dalam historiografi kolonial Belanda
diciptakan juga berbagai mitos untuk menonjolkan superioritas bangsa Belanda
terhadap bangsa Indonesia (Dasuki, 2003, hal.
348). Inti cerita sejarah dari Historiografi Kolonial adalah bangsa
Belanda, oleh sebab hanya Belandalah yang dipandang penting di Hindia Belanda.
Hal ini jelas dari istilah Hindia Belanda atau Hindia Nederlan yaitu daerah
Hindia (Indonesia) yang “dimiliki” oleh Belanda. Bangsa Belanda sebagai
“pemilik” memandang diri pribadinya sebagai yang dipertuan dan sebagai bangsa
yang termulia, sehingga bangsa Indonesia hanya mendapat gelar “bumi putera”
atau orang negeri. Kita tidak dipandang sebagai suatu bangsa, tetapi hanya
sebagai sejenis manusia yang berguna bagi Belanda (Jayusman, 2012). Dalam mitos Hindia Belanda dibuat fiksi bahwa
seakan-akan kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia secara apriori sudah
dimuali pada tahun 1596. Perang-perang kolonial pada abad ke-19 terhadap
daerah-daerah yang menentang untuk mempertahankan kehidupan masyarakat dan
kebudayaan dimitoskan dengan disebut “pasifikasi” (Dasuki, 2003, hal. 348).
Contoh karya historiografi kolonial yang
paling popular adalah sebuah buku yang ditulis oleh Raffles dengan judul History Of Java. Karya lainnya adalah
karya-karya yang ditulis H.J. de Graaf dengan judul: Geschiedenis van Indonesia (Sejarah Indonesia). Karya B.H.M. Vleke
dengan judul: Geschiedenis van den
Indischen Archipel (Sejarah Nusantara). Karya G. Gonggrijp dengan judul: Schets ener aconomische Geschiedenis van
Nederlands-Indie (Sejarah Ekonomi Hindia Belanda) (Jayusman, 2012).
Karakteristik historiografi kolonial adalah
sebagai berikut:
1)
Belanda
Sentrisme atau Neerlando Sentrismus
artinya sejarah Indonesia di tulis dari sudut pandang kepentingan orang-orang
Belanda yang sedang berkuasa (menjajah) di Nusantara Indonesia saat itu (Jayusman, 2012).
2)
Eropasentrisme,
artinya selain ditulis dari sudut pandang kepentingan orang Belanda, ditulis
juga sesuai dengan kepentingan bangsa Eropa pada umumnya.
3)
Mitologisasi
artinya banyak kejadian yang tidak didasarkan pada kejadian yang sebenarnya (Dasuki, 2003, hal. 348). Interpretasi dari
jaman kolonial cenderung untuk membuat mitologisasi dari dominasinya, dengan
menyebut perang-perang kolonial sebagai usaha pasifikasi daerah-daerah, yang
sesungguhnya mengadakan perlawanan untuk pertahanan masyarakat serta
kebudayaannya (Rohman, 2013).
4)
ahistoris artinya Orang Belanda dianggap sebagai
manusia paliang sempurna dalam berbagai kehidupan di Nusantara, peran mereka
ditulais dalam historiografi Kolonial sampai berlembar-lembar sementara peran
rakyat pribumi sebagai pemilik sangat sederhana dan dituangkan dalam halaman
yang sangat minim. Sejarawan kolonial menganggap bahwa rakyat pribumi sebagai
non-faktor dalam sejarah. Contoh historiografi Kolonial dalam buku Sejarah
Hindia Belanda sebagai berikut: Zaman purbakala dan Hindu (25 Halaman),
Penyiaran Islam dan bangsa Portugis di Indonesia (8 halaman), VOC-kongsi dagang
Belanda (152 halaman) dan pemerintah Belanda (150 halaman) (Jayusman, 2012).
c.
Historiografi
Modern
Historiografi modern muncul akibat tuntutan
ketepatan teknik dalam mendapatkan fakta sejarah. Fakta sejarah didapatkan
melalui penetapan metode penelitian, memakai ilmu-ilmu bantu, adanya teknik
pengarsipan dan rekonstruksi melalui sejarah lisan. Suatu periode baru dalam
perkembangan historiografi Indonesia dimulai dengan timbulnya studi sejarah
kritis. Dalam penulisan tentang sejarah kritis dipergunakan prinsip-prinsip
metode sejarah. Studi sejarah kritis juga memerlukan bantuan dari ilmu lain
untuk mempertajam analisanya. Hal ini merupakan implikasi dari mulai sedikitnya
peran analisa tekstual dengan bantuan
filologi terhadap studi sejarah Indonesia modern. Di sini yang harus diperbaiki
adalah alat-alat analitis serta metodologis.
Bertolak dari hal ini, maka beberapa
disiplin dari ilmu-ilmu sosial mulai dicantumkan dalam studi sejarah. Konsep
sejarah nasional sebagai unit makro merupakan kerangka referensi bagi sejarah
lokal/regional yang dapat dipandang sebagai unit mikro. Sejarah nasional
sebagai macro-history mencakup
interaksi antar micro-unit, antara lain melalui pelayaran, perdagangan, perang,
penyiaran agama atau menuntut pelajaran, hubungan antara lembaga-lembaga
nasional, seperti partai-partai politik. Sejarah nasional bukan jumlah dari
sejarah lokal, tetapi proses-proses atau kejadian-kejadian pada tingkat sejarah
lokal diterangkan dalam hubungannya dengan proses nasional (Rohman, 2013).
Historiografi modern, merupakan suatu
periode perkembangan baru dalam historiografi
Indonesia atau nasional. Diawali
dengan munculnya karya Husein Djajadiningrat, Critische Beschouwingen van de Sejarah
Banten, kemudian karyakarya sejarah sejarah selanjutnya banyak
dipengaruhi oleh karya ini, yaitu dengan dipergunakannya aspek pendekatan ilmu
lain untuk melengkapi atau menulis
suatu karya sejarah (Indriyanto,
2001, hal. 2). Di Jaman Jepang Sanusi Pane dan Douwes Dekker sudah
memelopori menulis Sejarah Indonesia dengan semangat nasionalisme. Karya mereka
walaupun dari sudut ilmiah tidak mendapat penilaian yang tinggi, namun telah
banyak membantu guru yang mengajar sejarah Indonesia pada zaman Jepang dan
jaman berikutnya (Dasuki, 2003, hal. 349).
Sejumlah tulisan sebagai suatu kategori
pemikiran teoritis dan metodologis untuk menangani masalah-masalah penulisan
sejarah nasional Indonesia, secara komprehensif dipublikasikan antara lain
karya Mohamad Ali dengan Judul Pengantar Ilmu Sedjarah Indonesia dan Sartono
Karotdirdjo yang menerapkan metode yang sophisticated
dengan pendekatan neo sosial ilmiah dengan menggunakan konsep-konsep yang
dipinjam dari ilmu-ilmu sosial. Pendekatan yang digunakan bersifat
multidimensional. Dibedakan pula antara sejarah naratif dan non naratif (Dasuki, 2003, hal. 350).
Sejarah naratif, sebagai hasil dari
historiografi konvensional, menyusun cerita untuk membuat deskripsi tentang masa
lampau dengan merekontruksi “apa yang terjadi” melalui seleksi
“kejadian-kejadian” penting yang diatur menurut poros waktu dalam urutan
kronologis. Sedangkan sejarah non-naratif tidak menyusun certera yang
merangkaikan deretan peristiwa menurut poros waktu, tetapi berpusat pada
masalah (problem oriented).
Karakteristik historiografi modern adalah
sebagai berikut:
1)
Bersifat
Indonesia sentrisme, penulisan sejarah di Indonesia diinterpretasikan sebagai
sejarah nasional (Dasuki, 2003, hal. 348)
dan ditulis dari sudut kepentingan rakyat Indonesia. Tugas dari historiografi
nasional adalah“membongkar dan merevisi”
historiografi kolonial yang gaya penulisannya diselewengkan oleh para
sejarawan kolonial yang sangat merugikan proses pembangunan, khususnya pembangunan
sikap mental bangsa (terutama generasi
muda) Indonesia dewasa ini (Jayusman, 2012).
2)
Bersifat
metodologis, artinya penulisan sejarah Indonesia menggunakan pendekatan ilmiah
berdasarkan teknik penulisan ilmiah untuk ilmu sosial.
3)
Bersifat
kritis historis, yang berarti substansi penulisan sejarah Indonesia secara
ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
SALAM SPARTAN !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar