Jumat, 12 Agustus 2016

MODUL SEJARAH INDONESIA XI



MODUL SEJARAH INDONESIA KELAS XI
SMA SANTU PETRUS PONTIANAK
2016/2017
Oleh: Imam Syamsul Huda
*dari berbagai sumber
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lahirnya Kolonialisme dan Imperialisme Barat
1.        Penjelajahan Samudra
Ramainya perdagangan di Laut Tengah, terganggu selama dan setelah berlangsungnya Perang Salib (1096 - 1291). Dengan jatuhnya kota Konstantinopel (Byzantium) pada tahun 1453 ke tangan Turki Usmani, aktivitas perdagangan antara orang Eropa dan Asia terputus. Sultan Mahmud II, penguasa Turki menjalankan politik yang mempersulit pedagang Eropa beroperasi di daerah kekuasannya. Bangsa Barat menghadapi kendala krisis perdagangan rempah-rempah. Oleh karena itu bangsa Barat berusaha keras mencari sumbernya dengan melakukan penjelajahan samudra.
Selain itu, jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453 ke Turki Utsmani mengakibatkan pasokan rempah-rempah ke wilayah Eropa terputus. Hal ini dikarenakan boikot yang dilakukan oleh Turki Utsmani. Situasi ini mendorong orang-orang Eropa menjelajahi jalur pelayaran ke wilayah yang banyak memiliki bahan rempah-rempah, Dalam perkembangannya, mereka tidak saja berdagang, tetapi juga menguasai sumber rempah-rempah di negara penghasil.  
a.       Faktor Utama
Adanya semboyan imperalisme kuno Yang diirigi dengan semangat kekalahan perang salib juga menimbulkan semboyan 3G yaitu Gold (mencari kekayaan), Glory (mencari kejayaan), Gospel (menyebarkan agama kristen). Semboyan tersebut menjadi tujuan penjelajahan samudera. 
b.      Faktor Pendukung
1)      Ditemukan kompas
2)      Dikemukakannya bahwa bumi itu bulat
3)      Ditemukannya kartografi
4)      Dikembangkannya teknik pembuatan kapal
5)      Ditemukan mesin untuk persenjataan
6)      Diilhami dari kisah perjalanan Marcopolo pada 1254-1324
2.        Masuknya Bangsa Barat ke Indonesia
a.       Portugis
Diawali oleh Bartholomeus Diaz dengan menyusuri pantai barat Afrika, kemudian mengitari Tanjung Harapan pada tahun 1487. Dia harus kembali ke Portugis karena dihadang topan. 10 tahun kemudian dilanjutkan oleh Vasco da Gama dan dianggap berhasil kembali ke Lisbon dengan membawa contoh barang dari India. Raja Manuel (1495-1521) mengirim 13 kapal untuk menyiapkan pos perdagangan di India. Armada itu dipimpin oleh Pedro Alvares Cabral dan dibantu oleh Bartholomeus Diaz.
Bangsa Portugis merupakan bangsa Eropa pertama yang mencapai Kepulauan Nusantara. Pencarian mereka untuk mendominasi sumber perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan pada awal abad ke 16dan usaha penyebaran Katolik Roma mereka yang berbarengan menyaksikan pendirikan pos dan benteng perdagangan, serta unsur budaya Portugis yang kuat yang masih tetap penting di Indonesia. Keahlian baru bangsa Portugis dalam navigasi, pembuatan kapal, dan persenjataan memungkinkan mereka berani mengadakan ekspedisi penjelajahan dan ekspansi. Bermula dengan ekspedisi penjelajahan pertama yang dikirim dari Malaka yang baru ditaklukkan pada tahun 1512, bangsa Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang tiba di Nusantara, dan mencoba mendominasi sumber-sumber rempah-rempah berharga dan berusaha menyebarkan Katolik Roma. Percobaan awal bangsa Portugis mendirikan koalisi dan perjanjian damai pada tahun 1512 dengan Kerajaan Sunda di Parahyangan, gagal akibat sikap permusuhan yang ditunjukkan oleh sejumlah pemerintahan Islam di Jawa, seperti Demak dan Banten. Bangsa Portugis mengalihkan arah ke Kepulauan Maluku, yang terdiri atas berbagai kumpulan negara yang awalnya berperang satu sama lain namun memelihara perdagangan antarpulau dan internasional. Melalui penaklukan militer dan persekutuan dengan penguasa setempat, mereka mendirikan pos, benteng, dan misi perdagangan di Indonesia Timur, termasuk Pulau Ternate, Ambon, dan Solor. Namun, puncak kegiatan misi Portugis dimulai pada paruh terakhir abad ke-16.
b.      Spanyol
Pelopor bangsa Spanyol yang mencari jalan langsung ke Indonesia adalah Christopher Columbus, ia berjalan kearah barat. Setelah dua bulan, ia sampai di sebuah pulau yang kemudian dinamakan San Salvador. Columbus gagal mencapai India. Setelah Columbus gagal menemukan India, ekspedisi Spanyol selanjutnya ke daerah rempah – rempah dipelopori oleh Ferinand Magellan. Berbeda dengan armada Portugis, pada tahun 1519 Magellan berangkat melalui Samudera Atlantik. Setelah melewati ujung Amerika Selatan, ia masuk ke Samudera Pasifik. Ia tiba di Filipina pada tahun 1521. sewaktu mencoba mengatasi perang antarsuku di Cebu, Magellan terbunuh. Ia digantikan oleh Del Cano. Dalam perjalanan kembali ke Spanyol, mereka singgah di Tidore. Sejak saat itu, terjalin kerja sama antara Spanyol dan Tidore. Kerja sama itu tidak hanya dalam hal perdagangan, tetapi juga diperkuat dengan dibangunnya benteng Spanyol di Tidore. Kondisi tersebut tentu saja menyebabkan antara Portugis dan Spanyol saat itu, Portugis membuka kantor dagangnya di Ternate. Portugis merasa terancam dengan hadirnya Spanyol di Tidore dan menganggap Spanyol telah melanggar perjanjian Tordesillas. Hal ini diperkuat lagi dengan kenyataan bahwa Tidore dan Ternate telah lama bermusuhan. Dengan alasan tersebut, Portugis yang didukung pasukan Tidore. Benteng Spanyol di Tidore dapat direbut Portugis. Namun, berkat perantara Paus di Roma, Portugis dan Spanyol akhirnya mengadakan perjanjian yang disebut Perjanjian Zaragosa. Berdasarkan perjanjian itu, Maluku dikuasai Portugis sedangkan Filipina dikuasai Sepanyol.
c.       Belanda
Mendengar keberhasilan orang-orang Spanyol dan juga Portugis dalam menemukan daerah baru, apalagi daerah penghasil rempah-rempah, para pelaut dan pedagang Belanda tidak mau ketinggalan. Tahun 1594 Barents mencoba berlayar untuk mencari dunia Timur atau Tanah Hindia melalui daerah kutub utara. Karena keyakinannya bahwa bumi bulat maka sekalipun dan utara atau barat akan sampai pula di timur. Ternyata Barents tidak begitu mengenal medan. la gagal melanjutkan penjelajahannya karena kapalnya terjepit es mengingat air di kutub utara sedang membeku. Barents terhenti di sebuah pulau yang disebut Novaya Zemlya. la berusaha kembali ke negerinya, tetapi ia meninggal di perjalanan.
Pada tahun 1595 pelaut Belanda yang lain yakni Cornelis de Houtman dan Piter de Keyser memulai pelayaran. Kedua pelaut ini bersama armadanya dengan kekuatan empat kapal dan 249 awak kapal beserta 64 pucuk meriam melakukan pelayaran dan penjelajahan samudra untuk mencari tanah Hindia yang dikenal sebagai penghasil rempah-rempah. Cornelis de Houtman mengambil jalur laut yang sudah biasa dilalui orang-orang Portugis. Tahun 1596 Cornelis de Houtman beserta armadanya berhasil mencapai Kepulauan Nusantara. la dan rombongan mendarat di Banten. Sesuai dengan niatnya untuk berdagang maka kehadiran Cornelis de Houtman diterima baik oleh rakyat. Waktu itu di Kerajaan Banten bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Abdul Mufakir Mahmud Abdulkadir. Dengan melihat pelabuhan Banten yang begitu strategis dan adanya hasil tanaman rempah-rempah di wilayah itu Cornelis de Houtman berambisi untuk memonopoli perdagangan di Banten. Dengan kesombongan dan kadang-kadang berlaku kasar, orang orang Belanda memaksakan kehendaknya. Hal ini tidak dapat diterima oleh rakyat dan penguasa Banten. Oleh karena itu, rakyat mulai membenci bahkan kemudian mengusir orang-orang Belanda itu. Cornelis de Houtman dan armadanya segera meninggalkan Banten dan akhirnya kembali ke Belanda. Ekspedisi penjelajahan berikutnya segera dipersiapkan untuk kembali menuju Kepulauan Nusantara. Rombongan kali ¡ni dipimpin antara lain oleh van Heemskerck. Tahun 1598 van Heemskerck dengan armadanya sampai di Nusantara dan juga mendarat di Banten. Heemskerck dan anggotanya bersikap hati-hati dan Iebih bersahabat. Rakyat Banten pun kembali menerima kedatangan orang-orang Belanda. Belanda mulai melakukan aktivitas perdagangan. Kapal-kapal mereka mulai berlayar ke timur dan singgah di Tuban. Dan Tuban pelayaran dilanjutkan ke timur menuju Maluku. Untuk kedua kalinya, di bawah pimpinan Jacob van Neck mereka sampai di Maluku pada tahun 1599. Kedatangan orang-orang Belanda ini juga diterima baik oleh rakyat Maluku. Kebetulan waktu itu Maluku sedang konflik dengan orang-orang Portugis. Pelayaran dan perdagangan orang-orang Belanda di Maluku ini mendapatkan keuntungan yang berlipat. Dengan demikian semakin banyak kapal-kapal dagang yang berlayar menuju Maluku
d.      Inggris
Setelah Portugis berhasil menemukan kepulauan Maluku, perdagangan rempah-rempah semakin meluas. Dalam waktu singkat Lisabon berkembang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah di Eropa Barat. Dalam kaitan ini Inggris dapat mengambil keuntungan besar dalam perdagangan rempah-rempah karena lnggris mendapatkan rempah rempah secara bebas dan relatif murah di Lisabon. Rempah-rempah itu kemudian diperdagangkan di daerah-daerah Eropa Barat bahkan sampai di Eropa Utara. Tetapi karena lnggris terlibat konflik dengan Portugis sebagai bagian dari Perang 80 Tahun, maka lnggris mulai mengalami kesulitan untuk mendapatkan rempah-rempah dan pasar Lisabon. Oleh karena itu, Inggris kemudian berusaha mencari sendiri negeri penghasil rempah-rempah. Banyak anggota masyarakat, para pelaut dan pedagang yang tidak melibatkan diri dalam perang justru mengadakan peayaran dan penjelajahan samudra untuk menemukan daerah penghasil rempah-rempah. Dalam pelayarannya ke dunia Timur untuk mencari daerah penghasil rempah-rempah, Inggris sampai ke India. Para pelaut dan pedagang Inggris ini masuk ke India pada tahun 1600. Inggris justru memperkuat kedudukannya di India. Inggris membentuk kongsi dagang yang diberi nama East India Company (EIC). Dan India inilah para pelaut dan pedagang Inggris berlayar ke Kepulauan Nusantara untuk meramaikan perdagangan rempah rempah. Bahkan pada tahun 1811 pernah memegang kendali kekuasaan di Tanah Hindia. Di samping ekspedisi tersebut, ada beberapa rombongan pelaut Inggris yang melewati jalur yang pernah ditempuh para pelaut Spanyol. Misalnya kelompok Pelgrim Father yang merupakan kelompok pelaut Inggris yang menggunakan Kapal Mayflower. Tahun 1607 kelompok Pilgrim Father berhasil mendarat di Amerika bagian Utara. Mereka kemudian membangun koloni di Amerika Utara di Massachusetts.

Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
1.      Lahirnya VOC
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), yaitu sebuah persekutuan dagang Hindia Belanda yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602. Di sebut VOC karena perusahaan ini memiliki monopoli untuk aktivitas dagang di Hindia Timur. Ada pula VWC yang juga merupakan persekutuan dagang sejenis yang menguasai kawasan Hindia Barat. Tujuan utama VOC adalah memonopoli dan menguasai perdagangan rempah-rempah di Nusantara seperti cengkeh, pala, lada, dan lain sebagainya.
VOC merupakan perusahaan multinasional pertama di dunia yang memiliki sistem pembagian saham. VOC bukanlah sebuah negara ataupun mewakili sebuah negara seperti anggapan kita selama ini. Tetapi sebuah perusahaan dagang yang kepentingan utamanya adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Pada 20 Maret 1602, Pemerintahan Belanda mendirikan VOC (Perkumpulan Dagang India Timur). Di masa itu, terjadi persaingan sengit di antara negara-negara Eropa, yaitu Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, Perancis dan Belanda, untuk memperebutkan hegemoni perdagangan di Asia Timur. Untuk menghadapai masalah ini, oleh Staaten Generaal di Belanda, VOC diberi wewenang memiliki tentara yang harus mereka biayai sendiri. Selain itu, VOC juga mempunyai hak, atas nama Pemerintah Belanda untuk membuat perjanjian kenegaraan. Wewenang ini yang mengakibatkan, bahwa suatu perkumpulan dagang seperti VOC, dapat bertindak seperti layaknya satu negara.
Perusahaan ini mendirikan markasnya di Batavia di pulau Jawa. Pos kolonial lainnya juga didirikan di tempat lainnya di Hindia Timur yang kemudian menjadi Indonesia, seperti di kepulauan rempah-rempah (Maluku), yang termasuk Kepulauan Banda di mana VOC manjalankan monopoli atas rempah-rempah. Metode yang digunakan untuk mempertahankan monopoli termasuk kekerasan terhadap populasi lokal, dan juga pemerasan dan pembunuhan massal.
Tahun 1603 VOC memperoleh izin di Banten untuk mendirikan kantor perwakilan, dan pada 1610 Pieter Both diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama (1610-1614), namun ia memilih Jayakarta sebagai basis administrasi VOC. Sementara itu, Frederik de Houtman menjadi Gubernur VOC di Ambon (1605 - 1611) dan setelah itu menjadi Gubernur untuk Maluku (1621 - 1623). VOC adalah badan yang bersifat partikelir dimana mana para pedangang Belanda bergabung di dalamnya VOC singkatan dari Vereenidge Oost Indische Compagnie VOC berdiri pada tanggal 20 Maret 1602.
Tujuan VOC Berdiri antara lain :
  • Menghindari terjadinya persaingan yang tidak sehat di antara pedagang-pedagang Belanda
  • Memperkuat posisi Belanda dalam menghadapi persaingan dengan bangsa-bangsa Eropa seperti East Indische Company (EIC)
  • Membantu pemerintah Belanda yang sedang berjuang melawan pendudukan Spanyol
  • Menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia
  • Melaksanakan monopoli perdaganang rempah-rempah
Dalam menjalankan tugasnya di Hindia Timur, VOC di beri hak Octroi (Hak istimewa) yaitu hak untuk dapat bertindak sebagai suatau negara dari Pemerintahan Belanda. Hak - Hak tersebut, antara lain :
  • Menjadi wakil sah pemerintah Belanda di Asia
  • Memonopoli perdagangan
  • Mencetak dan mengedarkan mata uang sendiri
  • Memungut pajak
  • Mengadakan perjanjian dengan negara/penguasa lokal
  • Mengadakan perang
  • Memiliki tentara angkatan perang sendiri
  • Menjalankan kekuasaan kehakiman
  • Menyelenggarakan pemerintahan sendiri.
a.       Pieter Both
Pieter Both ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal VOC pada November 1609 dengan tugas utama untuk menciptakan monopoli perdagangan antara pulau pulau di Hindia Belanda hanya dengan Kerajaan Belanda, dan tidak dengan negara lain, terutama Inggris. Dan Pieter Both memulainya dengan mendirikan pos perdagangan di Banten dan Jakarta (1610). Pieter Both memegang jabatan sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari 19-December-1610 hingga 6-November-1614. Dan dia berhasil mengadakan perjanjian perdagangan dengan Pulau Maluku, menaklukan Pulau Timor dan mengusir Spanyol dari Pulau Tidore.
b.      Jan Pieterszoon Coen
Jan Pieterszoon Coen adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang keempat dan keenam. Pada masa jabatan pertama ia memerintah pada tahun 1619 – 1623 dan untuk masa jabatan yang kedua berlangsung pada tahun 1627 – 1629. pada tanggal 18 April 1618, ia diangkat menjadi Gubernur-Jenderal. Akan tetapi baru pada 21 Mei 1619 ia resmi memangku jabatan tersebut dari Gubernur Jenderal sebelumnya, Laurens Reael. Setelah menjadi Gubernur-Jenderal, ia tidak tahan terhadap orang Banten dan orang Inggris di sana, maka iapun memindahkan kantor Kompeni ke Jakarta, di mana ia membangun pertahanan. Pada tanggal 30 Mei 1619 dia menaklukkan Jayakarta dan namanya diubah menjadi Batavia (Batavieren). Pada tahun 1623, ia menyerahkan kekuasaan kepada Pieter de Carpentier dan ia sendiri pulang ke Belanda. Oleh pimpinan Kompeni (VOC) ia disuruh kembali ke Hindia dan menjadi Gubernur-Jenderal kembali. Maka iapun datang pada tahun 1627. Pada masa jabatannya kedua ia terutama berperang melawan Kesultanan Banten dan Mataram. Mataram menyerang Batavia dua kali, yaitu pada tahun 1628 dan 1629. Kedua-duanya gagal, tetapi Coen tewas secara mendadak pada tanggal 21 September 1629.
2.      Kebijakan-Kebijakan VOC
            Kebijakan-kebijakan VOC selama berkuasa di Indonesia sejak tahun 1602 – 1799 antara lain dapat dirangkum sebagai berikut   :
a)      Memberlakukan dua jenis pajak kepada rakyat, yaitu Contingenten dan Verplichte Leverentie
Contingenten adalah pajak wajib berupa hasil bumi yang langsung dibayarkan kepada VOC. Verplichte Leverentie adalah penyerahan wajib hasil bumi dengan harga yang telah ditentukan VOC.
b)      Menyingkirkan pedagang-pedagang lain baik dari negara lain maupun pedagang Jawa, Melayu, Arab, dan China dari aktivitas perdagangan rempah-rempah di Indonesia.
c)      Menguasai pelabuhan-pelabuhan dan mendirikan benteng untuk melaksanakan monopoli perdagangan.
d)     Melakukan kebijakan ekstirpasi, yaitu kebijakan untuk membinasakan tanaman rempah-rempah yang melebihi ketentuan sehingga harga dapat dipertahankan. Serta pelayaran Hongi yaitu pelayaran keliling menggunakan perahu jenis kora-kora yang dipersenjatai untuk mengatasi perdagangan gelap atau penyelundupan rempah-rempah.
e)      Melaksanakan politik devide et impera ( memecah dan menguasai )  dalam rangka untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia.
f)       Kebijakan Prianger Stelsel ( system Priangan , penyerahan wajib) dimulai tahun 1723. Masyarakat di Priangan dikenai aturan wajib kerja menanam kopi dan menyerahkan hasilnya kepada kompeni. Wajib kerja ini sama dengan kerja paksa / rodi, rakyat tanpa diberi upah, menderita dan miskin
3.      Berakhirnya Kekuasaan VOC
a.       Faktor internal
Faktor-faktor yang mendorong kebangkrutan VOC Di Indonesia
1). Pegawai VOC yang tidak cakap
2). Terjadinya korupsi yang merajalela di sektor pemerintahan VOC
3). Anggaran biaya untuk para pegawai sangat besar karena meluasnya kekuasaan VOC
4). Pembukuan curang dari para pegawai VOC yang menyebabkan VOC menanggung hutang sebesar  134,7 juta gulden
5). Biaya perang yang tinggi akibat pemberontakan di daerah
6). Adanya persaingan dagang dengan negara lain, seperti East Indische Company (Inggris) dan Compagnie des Indes (Perancis).
b. Faktor Eksternal
pada tahun 1795 Perancis dibawah Napoleon Bonaparte menguasai Belanda dan mendirikan Republik Bataaf (1795-1806). Pada tahun yang sama, atas dukungan Perancis, Raja Belanda Willem V digulingkan oleh kaum republikan. Akhirnya Belanda pun menjadi Republik. Sementara itu, raja Willem V menyingkir ke Inggris. Republik baru ini menjadi semacam negara bawahan (Vassal) dari Perancis. Sebagai Republik, Belanda menjadi sekutu Perancis dalam gerakan anti-monarki untuk melawan Inggris.
Akibat faktor internal dan eksternal tersebut menyebabkan pemerintah Belanda mencabut oktroi atau ijinnya pada tahun 1795. VOC secara resmi dibubarkan pada 31 Desember 1799.

Indonesia Pasca VOC: Masuknya Pengaruh Perancis dan Pendudukan Inggris
1.      Herman Willem Daendels (1808-1811)
Tugas utama Daendels adalah pembangunan pertahanan Nusantara terhadap Inggris. Disamping itu, ketika menjalankan tugasnya, Daendels juga dihadapkan pada persoalan ekonomi yang tidak mendukung kebijakan-kebijakannya, serta persoalan sosial-politik yang dianggap dapat menghambat rencana-rencananya. Berikut adalah kebijakan-kebijakan Daendels dalam menjalankan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda:
a.       Membangun Jalan Raya Pos atau de Grote Postweg dari Anyer –Panarukan
Untuk keperluan pembangunan raksasa itu dibutuhkan tenaga rakyat, maka dari itu wajib kerja (verplicte diensten) dipertahankan. Di samping itu wajib penyerahan juga masih berlaku yaitu pajak hasil bumi (contingenten). Ia juga mengadakan pinjaman paksa dan monopoli beras, serta menjual sebagian tanah gubernemen (pemerintah) kepada kaum pengusaha (partikelir atau swasta). Dengan demikian pada masa pemerintahan Daendels sebenarnya sistem tradisional masih berjalan terus.
b.      Mendirikan benteng-benteng pertahanan
c.       Membangun pangkalan angkatan laut
d.      Membangun angkatan perang yang terdiri dari orang-orang pribumi
e.       Mendirikan pabrik senjata di Surabaya, pabrik meriam di Semarang, dan sekolah militer di Batavia
f.       Membangun rumah sakit dan tangsi-tangsi militer yang baru
Selain kebijakan dalam bidang pertahanan dan kemiliteran tersebut di atas. Daendels juga menerapkan sejumlah kebijakan lain, seperti:
a.       Membagi pulau Jawa menjadi 9 prefektur (daerah), setara karisidenan
b.      Mengangkat para bupati di seluruh Jawa menjadi pegawai pemerintah
c.       Menaikkan gaji pegawai agar tetap loyal kepada pemerintah kolonial
d.      Mendirikan badan pengadilan yang disesuaikan dengan adat istiadat yang berlaku
Dalam menjalankan tugasnya itu, Daendels memberantas sistem feodal yang dibangun oleh VOC sebelumnya. Untuk mencegah penyalah-gunaan kekuasaan, serta hak-hak bupati mulai dibatasi, terutama yang menyangkut penggunaan tanah dan pemakaian tenaga rakyat. Baik wajib tanam maupun wajib kerja hendak dihapuskannya. Hal ini tidak hanya akan mengurangi pemerasan oleh para penguasa tetapi juga lebih selaras dengan prinsip kekebasan berdagang.
Pada tahun 1811 Daendels dipanggil kembali ke Belanda. Ia kemudian digantikan Jan Willem Janssens. Ternyata Janssens tidak secakap dan sekuat Daendels dalam melaksanakan tugasnya. Ketika Inggris menyerang Pulau Jawa, ia menyerah dan harus menandatangani perjanjian di Tuntang pada tanggal 17 September 1811. Perjanjian tersebut dikenal dengan nama Kapitulasi Tuntang, yang berisi sebagai berikut:
a)   Pemerintah Belanda menyerahkan Indonesia kepada Inggris di Kalkuta (India)
b)  Semua tentara Belanda menjadi tawanan perang Inggris
c)   Orang Belanda dapat dipekerjakan dalam pemerintahan Inggris.
d)  Hutang Belanda tidak menjadi tanggungan Inggris.
2.      Thomas Stamford Raffles (1811-1816)
Raffles diangkat sebagai Letnan Gubernur Jawa pada tahun 1811, ketika Kerajaan Inggris mengambil alih jajahan-jajahan Kerajaan Belanda dan ia tidak lama kemudian dipromosikan sebagai Gubernur Sumatera, ketika Kerajaan Belanda diduduki oleh Napoleon Bonaparte dari Perancis.
a.       Kebijakan-kebijakan Raffles
1)      Bidang birokrasi dan pemerintahan
a)  Membagi Pulau Jawa menjadi 16 keresidenan (sistem keresidenan ini berlangsung sampai tahun 1964
b) Mengubah sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem pemerintahan kolonial yang bercorak Barat
c)  Bupati-bupati atau penguasa-penguasa pribumi dilepaskan kedudukannya yang mereka peroleh secara turun-temurun
d) Sistem juri ditetapkan dalam pengadilan
2)      Bidang ekonomi dan keuangan
Petani diberikan kebebasan untuk menanam tanaman ekspor, sedang pemerintah hanya berkewajiban membuat pasar untuk merangsang petani menanam tanaman ekspor yang paling menguntungkan. Penghapusan pajak hasil bumi (contingenten) dan sistem penyerahan wajib (verplichte leverantie) yang sudah diterapkan sejak zaman VOC. Menetapkan sistem sewa tanah (landrent) yang berdasarkan anggapan pemerintah
kolonial. Pemungutan pajak secara perorangan.
3)      Bidang hukum Sistem peradilan
Yang diterapkan Raffles lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh Daendels. Karena Daendels berorientasi pada warna kulit (ras), Raffles lebih berorientasi pada besar kecilnya kesalahan. Badan-badan penegak hukum pada masa Raffles sebagai berikut:
• Court of Justice, terdapat pada setiap residen
• Court of Request, terdapat pada setiap divisi
• Police of Magistrate
4)      Bidang sosial
Penghapusan kerja rodi (kerja paksa) Penghapusan perbudakan, tetapi dalam praktiknya ia melanggar undang-undangnya sendiri dengan melakukan kegiatan sejenis perbudakan. Peniadaan pynbank (disakiti), yaitu hukuman yang sangat kejam dengan melawan harimau.
5)      Bidang Ilmu Pengetahuan
a)      Ditulisnya buku berjudul History of Java di London pada tahun 1817 dan dibagi dua jilid
b)      Ditulisnya buku berjudul History of the East Indian Archipelago di Eidenburg pada tahun 1820 dan dibagi tiga jilid
c)      Raffles juga aktif mendukung Bataviaach Genootschap, sebuah perkumpulan kebudayaan dan ilmu pengetahuan
d)     Ditemukannya bunga Rafflesia Arnoldi
e)      Dirintisnya Kebun Raya Bogor
f)       Memindahkan Prasasti Airlangga ke Calcutta, India sehingga diberi nama Prasasti Calcutta
Masa kekuasaan Raffles relatif singkat (1811-1816). Hal itu terkait dengan kekalahan Napoleon (Perancis) dalam pertempuran Leipzig melawan pasukan koalisi yang terdiri dari Russia, Prusia, Austria dan Swedia. Kekalahan perancis berarti kemerdekaan bagi Belanda. Hal itu terwujud melalui Konvensi London pada tahun 1814 yang menyebutkan bahwa Belanda mendapatkan kembali bekas wilayah kekuasaannya di Nusantara. Secara resmi penyerahan-penyerahan kekuasaan dilaksanakan pada tahun 1816.
Masa  Kekuasaan Belanda Kedua (1816-1942)
1.      Kebijakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel): Jahannes van den Bosch (1830-1870)
Istilah cultuur stelsel sebenarnya berarti sistem tanaman. Pengertian dari cultuur stelsel sebenarnya adalah kewajiban rakyat (Jawa) untuk menanam tanaman ekspor yang laku dijual di Eropa. Rakyat pribumi menerjemahkan cultuur stelsel dengan sebutan tanam paksa (TP). Hal itu disebabkan pelaksanaan proyek penanaman dilakukan dengan cara-cara paksa. Pelanggarnya dapat dikenakan hukuman fisik yang amat berat. Jenis-jenis tanaman yang wajib ditanam, yaitu tebu, nila, teh, tembakau, kayu manis, kapas, merica (lada), dan kopi.
Menurut van den Bosch, cultuur stelsel didasarkan atas hukum adat yang menyatakan bahwa barang siapa berkuasa di suatu daerah, ia memiliki tanah dan penduduknya. Karena raja-raja di Indonesia sudah takluk kepada Belanda, pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti raja-raja tersebut. Oleh karena itu, penduduk harus menyerahkan sebagian hasil tanahnya kepada pemerintah Belanda.
A.    Latar Belakang Sistem Tanam Paksa
  • Di Eropa, Belanda terlibat dalam peperangan-peperangan pada masa kejayaan Napoleon Bonaparte sehingga menghabiskan biaya yang amat besar.
  • Terjadinya Perang Kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia dari Belanda pada tahun 1830.
  • Terjadi Perang Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perlawanan rakyat jajahan termahal bagi Belanda. Perang Diponegoro menghabiskan biaya sekitar 20.000.000 gulden.
  • Kas Negara Belanda kosong dan hutang yang ditanggung Belanda cukup berat.
  • Pemasukkan uang dari penanaman kopi tidak banyak.
  • Gagal mempraktikkan gagasan liberal (1816-1830) berarti gagal juga mengeksploitasi tanah jajahan untuk memberikan keuntungan yang besar pada Belanda.
B.     Aturan-Aturan Tanam Paksa
Ketentuan-ketentuan pokok sistem tanam paksa terdapat dalamStaatsblad (lembaran Negara) tahun 1834 No.22, beberapa tahun setelah tanam paksa dijalankan di Pulau Jawa. Bunyi dari ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Persetujuan-persetujuan agar penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor yang dapat dijual di Eropa.
  2. Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan tersebut tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki.
  3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman tidak boleh melebihi pekerjaan untuk menanam padi.
  4. Tanah yang disediakan penduduk tersebut bebas dari pajak tanah.
  5. Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Jika harganya ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, kelebihan itu diberikan kepada penduduk.
  6. Kegagalan panen yang bukan karena kesalahan petani akan menjadi tanggungan pemerintah.
  7. Bagi yang tidak memiliki tanhan akan dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari setiap tahun.
  8. Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pemimpin-pemimpin pribumi. Pegawai-pegawai Eropaa bertindak sebagai pengawas secara umum.
Ketentuan tersebut banyak terjadi penyimpangan. Penyimpangan tersebut yang merugikan rakyat antara lain:
  1. Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara-cara yang sangat memaksa.
  2. Luas tanah yang disediakan penduduk lebih dari seperlima tanah mereka. Sering kali juga semua tanah rakyat digunakan untuk tanam paksa.
  3. Pengerjaan tanaman-tanaman ekspor sering kali jauh melebihi pengerjaan padi.
  4. Kelebihan hasil panen sering kali tidak dikembalikan kepada petani.
  5. Pajak tanah masih dikenakan pada tanah yang digunakan untuk proyek tanam paksa.
  6. Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
  7. Buruh yang seharusnya dibayar oleh pemerintah malah dijadikan tenaga paksaan.
C.     Dampak Tanam Paksa bagi Rakyat Indonesia
Pelaksanaan system tanam paksa memberikan dampak bagi rakyat Indonesia, baik positif maupun negatif.
a) Dampak Positif
·         Rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
·         Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang berorientasi impor.
b) Dampak Negatif
·         Kemiskinan serta penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan.
·         Beban pajak yang berat.
·         Pertanian, khususnya padi, banyak mengalami kegagalan panen.
·         Kelaparan dan kematian terjadi di banyak tempat, seperti di Cirebon (1843) sebagai akibat dari pemungutan pajak tambahan dalam bentuk beras, serta di Demak (1848) dan di Grobogan (1849-1850) sebagai akibat kegagalan panen.
·         Jumlah penduduk Indonesia menurun dengan sangat drastis.

2.      Kebijakan Pintu Terbuka (1870-1900)
a)      Perubahan Politik di Belanda
Pelaksanaan Tanam Paksa memang telah berhasil rnemperbaik perekonomian Belanda. Kemakmuran juga semakin meningkat. Bahkan keuntungan dan Tanarn Paksa telah mendorong Belanda berkembang sebagai negara industri. Sejalan dengan hal ini telah mendorong pula tampilnya kaum liberal yang didukung oleh para pengusaha. Oleh karena ¡tu, mulai muncul perdebatan tentang pelaksanaan Tanam Paksa. Masyarakat Belanda mulai mempertimbangkan baik buruk dan untung ruginya Tanam Paksa. Timbullah pro dan kontra mengenai pelaksanaan Tanam Paksa. Pihak yang pro dan setuju Tanam Paksa tetap dilaksanakan adalah kelompok konservatif dan para pegawai pernerintah. Mereka setuju karena Tanam Paksa telah mendatangkan banyak keuntungan. Begitu juga para pemegang saham perusahaan NHM (Nederlansche Handel Matschappij), yang mendukung pelaksanaan Tanam Paksa karena mendapat hak monopoli untuk mengangkut hasil-hasil Tanam Paksa dan Hindia Belanda ke Eropa. Sementara, pihak yang menentang pelaksanaan Tanam Paksa adalah kelompok masyarakat yang merasa kasihan terhadap penderitaan rakyat pribumi. Mereka umumnya kelompok-kelompok yang dipengaruhi oleh ajaran agama dan penganut asas liberalisme. Kaum liberal menghendaki tidak adanya campur tangan pemerintah dalam urusan ekonomi. Kegiatan ekonomi sebaiknya diserahkan kepada pihak swasta. Pandangan dan ajaran kaum liberal itu semakin berkembang dan pengaruhnya semakin kuat. Oleh karena itu, tahun 1850 Pemerintah mulai bimbang. Apalagi setelah kaum liberal mendapatkan kemenangan politik di Parlemen (Staten Generaal). Parlemen memiliki peranan lebih besar dalam urusan tanah jajahan. Sesuai dengan asas liberalisme, maka kaum liberal menuntut adanya perubahan dan pembaruan. Peranan pemerintah dalam kegiatan ekonomi harus dikurangi, sebaliknya perlu diberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk mengelola kegiatan ekonomi. Pemerintah berperan sebagai pelindung warga, mengatur tegaknya hukum, dan membangun sarana prasarana agar semua aktivitas masyarakat berjalan lancar.
b)      Sistem Ekonomi Liberal
Pada periode ini kaum pengusaha dan modal swasta diberikan peluang sepenuhnya untuk menanamkan modalnya dalam berbagai usaha kegiatan di Indonesia terutama dalam industri – industri perkebunan besar baik jawa maupun daerah – daerah luar jawa. Selam masa liberalisme ini modal swasta dari Belanda dan negara – negara Eropa lainnya telah berhasil mendirikan berbagai perkebunan kopi, teh, gula dan kina yang besar di Deli, Sumatera Timur.
Penetapan pelaksanan sistem politik ekonomi liberal memberikan peluang pihak swasta untuk ikut mengembangkan perekonomian di tanah jajahan. Seiring dengan upaya pembaruan dalam menangani perekonomian di negeri jajahan, Belanda telah mengeluarkan berbagai ketentuan dan peraturan peru ndang-undangan.
1)      Tahun 1864 dikeluarkan Undang-undang Perbendaharaan Negara (Comptabiliet Wet). Berdasarkan Undang-undang ini setiap anggaran belanja Hindia Belanda harus diketahui dan disahkan oleh Parlemen.
2)      Undang-undang Gula (Suiker Wet). Undang-undang ini antara lain mengatur tentang monopoli tanaman tebu oleh pemerintah yang kemudian secara bertahap akan diserahkan kepada pihak swasta.
3)      Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Undang Undang ini mengatur tentang prinsip-pnnsip politik tanah di negeri jajahan. Di dalam undang-undang itu ditegaskan, antara lain : Tanah di negeri jajahan di Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian. Pertama, tanah milik penduduk pribumi berupa persawahan, kebun, ladang dan sebagainya. Kedua, tanah tanah hutan, pegunungan dan lainnya yang tidak termasuk tanah penduduk pribumi dinyatakan sebagai tanah pemerintah.
4)      Pemerintah mengeluarkan surat bukti kepemilikan tanah
5)      Pihak swasta dapat menyewa tanah, baik tanah pemerintah maupun tanah penduduk. Tanah-tanah pemerintah dapat disewa pengusaha swasta sampai 75 tahun. Tanah penduduk dapat disewa selama lima tahun, ada juga yang disewa sampai 30 tahun. Sewa-menyewa tanah ini harus didaftarkan kepada pemerintah.
Sejak dikeluarkan UU Agraria itu, pihak swasta semakin banyak memasuki tanah jajahan di Hindia Belanda. Mereka memainkan peranan penting dalam mengeksplottasi tanah jajahan. Oleh karena tu, mulailah era imperialisme modern. Berkembanglah kapitalisme di Hindia Belanda. Tanah jajahan berfungsi sebagai:
1)      tempat untuk mendapatkan bahan mentah untuk kepentingan industri di Eropa, dan tempat penanaman modal asing,
2)      tempat pemasaran barang-barang hasil industri dan Eropa,
3)      penyedia tenaga kerja yang murah.
Zaman liberal mengakibatkan ekonomi uang masuk dalam kehidupan masyarakat Indonesia terutama Jawa. Penduduk pribumi mulai menyewakan tanah – tanahnya kepada perusahaan – perusahaan swasta Belanda untuk dijadikan perkebunan – perkebunan besar.
Setelah tahun 1885 perkembangan tanaman perdagangan mulai berjalan lamban dan terhambat, karena jatuhnya harga – harga gula dan kopi di pasaran dunia. Dalam tahun 1891 harga tembakau turun drastis, sehingga membahayakan perkebunan – perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Timur. Krisis tahun 1885 mengakibatkan terjadinya reorganisasi dalam kehidupan ekonomi Hindia – Belanda. Perkebunan – perkebunan besar tidak lagi sebagai usaha milik perseorangan, tetapi direorganisasi sebagai perseroan – perseroan terbatas.
Krisis perdagangan tahun 1885 juga mempersempit penghasilan penduduk jawa, baik uang berupa upah bagi pekerjaan di perkebunan – perkebunan maupun yang berupa sewa tanah. Politik kolonial baru yaitu kolonial – liberal, semakin membuat rakyat menjadi miskin. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor :
1.      Kemakmuran rakyat ditentukan oleh perbandingan antara jumlah penduduk dan faktor – faktor produksi lainnya seperti tanah dan modal.
2.      Tingkat kemajuan rakyat belum begitu tinggi, akibatnya mereka menjadi umpan kaum kapitalis. Mereka belum mengenal sarekat kerja dan koperasi untuk memperkuat kedudukan mereka.
3.      Penghasilan rakyat masih diperkecil oleh system voorschot (uang muka)
4.      Kepada rakyat Jawa dipikulkan the burden of empire (pajak /beban kerajaan). Sebagai akibat politik tidak campur tangan Belanda terhadap daerah luar jawa, pulau Jawa harus membiayai ongkos – ongkos pemerintahan gubernmen diseluruh Indonesia.
5.      Keuntungan mengalir di negeri Belanda, pemerintah juga tidak menarik pajak dari keuntungan – keuntungan yang didapat para pengusaha kapaitalis. Pemerintah menganut system pajak regresif, yang sangat memberatkan golongan berpendapatan rendah.
6.      Meskipun system tanam paksa telah dihapuskan tetapi politik batig – slot belum ditinggalkan.
7.      Krisis tahun 1885 mengakibatkan terjadinya pinciutan dalam kegiatan pengusaha – pengusaha perkebunan gula, yang berarti menurunnya upah kerja sewa tanah bagi penduduk. Krisis ini diperberat dengan timbulnya penyakit sereh pada tanaman tebu, sehingga akhirnya pulau Jawa dalam waktu lama dijauhi oleh kaum kapitalis Belanda.

3.      Politik Etis (1901)
Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang. Dilatar belakangi Pelaksanaan sistem tanam paksa yang mendatangkan keuntungan berlimpah bagi Belanda, namun menimbulkan penderitaan rakyat Indonesia. Eksploitasi terhadap tanah dan penduduk Indonesia dengan sistem ekonomi liberal tidak mengubah nasib buruk rakyat pribumi. Upaya Belanda untuk memperkokoh pertahanan negeri jajahan dilakukan dengan cara penekanan dan penindasan terhadap rakyat. Adanya kritik dari kaum intelektual Belanda sendiri (Kaum Etisi) seperti Van Kol (melancarkan kritik drainage atau penghisapan), Van Deventer (mengusulkan Trilogi Van Deventer: Irigasi, Emigrasi, Edukasi  dalam majalah De Gids dengan judul Een Ereschuld dengan arti berhutang budi), Brooschooft, De Waal (membantu Indonesia mendapatkan 528 G sejak tahun 1884), Baron van Hoevell (meminta perbaikan nasib rakyat Indonesia di siding parlemen), Van den Berg, Van De Dem dan lain-lain. Tokoh tersebut memperjuangkan agar pemerintah Belanda meningkatkan kesejahteraan moral dan materiil kaum pribumi, menerapkan desentralisasi dan efisiensi. Perjuangan mereka kemudian dikenal sebagai Politik Etis.
A)    Pelaksanaan Politik Etis
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi:
a.   Irigasi
Membangun dan memperbaiki pengairan dan bendungan untuk keperluan pengairan.
b.   Emigrasi (Transmigrasi)
Mengajak rakyat untuk bertransmigrasi sehingga terjadi keseimbangan jumlah penduduk.
c.   Edukasi
Menyelenggarakan pendidikan dengan memperluas bidang pengajaran dan pendidikan.
B)    Penyimpangan Politik Etis
Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan  yang dilakukan  oleh para pegawai Belanda.
Berikut ini penyimpangan-penyimpangan tersebut.
1)    Irigasi
       Pengairan (irigasi) hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda sedangkan, milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
2)    Edukasi
       Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan  ditujukan  untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk  seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi  dan pada umumnya.
3)    Migrasi
       Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan  ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik  Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatra Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai  tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan  untuk  memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.
Ernest Douwes Dekker termasuk yang menentang ekses pelaksanaan politik ini karena meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang memandang hanya orang pribumilah yang harus ditolong, padahal seharusnya politik etis ditujukan untuk semua penduduk asli Hindia Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang Eropa yang menetap (blijvers).
C)    Kegagalan Politik Etis Dan Politik Asosiasi
Kegagalan pelaksanaan politik Etis tersebut nampak dalam :
1)      Sejak pelaksanaan sistem ekonomi liberal Belanda mendapatkan keuntungan yang besar, sedangkan tingkat kesejahteraan rakyat pribumi tetap rendah.
2)      Hanya sebagian kecil kaum pribumi yang memperoleh keuntungan dan kedudukan yang baik dalam masyarakat kolonial, yaitu golongan pegawai negeri.
3)      Pegawai negeri dari golongan pribumi hanya digunakan sebagai alat saja, sehingga dominasi bangsa Belanda tetap sangat besar.
Perlawanan Terhadap Kolonialisme
A.    Perlawanan Sebelum Tahun 1800
1.      Perlawanan Rakyat Mataram
Pada awalnya Mataram dengan Belanda menjalin hubungan baik. Belanda diizinkan mendirikan benteng(loji) untuk kantor dagang di Jepara. Belanda juga memberikan dua meriam terbaik untuk Kerajaan Mataram. Dalam perkembangannya, terjadi perselisihan antara Mataram dengan Belanda. Pada tanggal 8 November 1618, Gubernur Jendral VOC Jan Piterzoon Coen memerintahkan Van Der Marct menyerang Jepara. Peristiwa tersebut memperuncing perselisihan antara Mataram dengan Belanda. Sultan Agung mempersiapkan serangan terhadap kedudukan Belanda di Batavia. Serangan pertama dilakukan tahun 1628. Pasukan Mataram yang dipimpin Tumenggung Baurekso tiba di Batavia tanggal 22 Agustus 1628. Pasukan ini kemudian disusul pasukan Tumenggung Sura Agul-Agul, yang dibantu dua bersaudara, yakni Kiai Dipati Mandurojo dan Kiai Upa Santa. Upaya serangan pertama gagal untuk menghalang mundur pasukan Belanda. Tidak kurang 1.000 prajurit Mataram gugur dalam perlawanan tersebut. Mataram mempersiapkan serangan kedua 1629 pun gagal. Selain kelemahan pasukan pertama, lumbung padi persediaan makanan banyak dihancurkan Belanda. Di samping Sultan Agung, perlawanan terhadap kekuasaan VOC juga dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi dan Mas Said.
2.      Perlawanan Rakyat Banten
Konflik dalam urusan kerajaan serta persaingan dalam tahta kerajaan juga menyebabkan perlawanan terhadap kekuasaan barat mengalami kegagalan. Misalnya konflik internal kesultanan Banten yang menyebabkan Banten jatuh ke tangan VOC Belanda. Setelah sultan Ageng Tirtayasa mengangkat anaknya yang bergelar Sultan Haji sebagai Sultan Banten, Belanda segera ikut campur dalam urusan Banten dengan cara mendekati Sultan Haji. Sultan Ageng yang anti terhadap VOC segera menarik kembali tahta untuk anaknya. Tentu saja tindakan itu tidak disukai oleh sang putra mahkota, sehingga dia meminta bantuan ke VOC untuk mengambil kembali tahtanya. Akhirnya, melalui kerjasama dengan VOC, Sultan Haji memperoleh kembali tahtanya dengan imbalan menyerahkan sebagian wilayah banten kepada VOC.
3.      Perlawanan Rakyat Makasar
Di Pulau Sulawesi, perlawanan untuk mengusir kekuatan VOC juga tidak berhasil. Penyebabnya hampir sama dengan daerah lainnya di Nusantara, yaitu karena adanya konflik dan persaingan diantara kerajaan-kerajaan Nusantara. Misalnya konflik antara Sultan Hasanudin dari Makasar dengan Aru Pallaka dari Kesultanan Bone yang memberi jalan Belanda untuk menguasai Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi tersebut.
Untuk memperkuat kedudukannya di Sulawesi, Sultan Hasanudin menduduki Sumbawa sehingga jalur perdagangan di Nusantara bagian timur dapat dikuasainya. Oleh karena itu, penguasaan ini dianggap oleh Belanda sebagai penghalang dalam melakukan aktifitan perdagangan. Pertempuran antara Sultan Hasanudin dan Belanda selalu terjadi. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis Spelman selalu dapat dihalau pasukan Sultan Hasanudin. Untuk menghadapi Sultan Hasanudin, Belanda meminta bantuan kepada Aru Pallaka yang bersengketa dengan Sultan Hasanudin. Dengan kerjasama tersebut akhirnya Makasar jatuh ke tangan Belanda dan Sultan Hasanudin harus menandatangani Perjanjian Bonghaya pada tahun 1667 yang berisikan hal berikut :
a)      Sultan Hasanudin harus memberikan kebebasan kepada VOC untuk berdagang dikawasan Makasar dan Maluku
b)      VOC memegang monopoli perdagangan di wilayah Indonesia bagian timur dengan pusatnya Makasar
c)      Wilayah kerajaan Bone yang diserang dan diduduki pada zaman Sultan Hasanudin dikembalikan kepada Aru Pallaka dan dia diangkat menjadi Raja Bone.
4.      Pemberontakan Untung Surapati.
Untung ialah seorang budak dari Bali. Ia dibeli oleh pedagang dari Belanda dan dijadikan pegawai VOC. Kesalahan yang dibuatnya, yaitu menjalin hubungan dengan seorang gadis yang merupakan putri dari tuannya, sehingga dia dipenjara. Di dalam penjara ia memimpin teman-temannya untuk membongkar pintu penjara dan kemudian ia merampok orang orang Belanda. Untung kemudian menjadi buronan, Belanda selalu menemui kegagalan dalam menangkapnya.
Di sisi lain, VOC sedang berusaha melakukan penangkapan terhadap Pangeran Purbaya, putra Sultan Ageng Tirtayasa yang meloloskan diri. Dalam usahanya VOC menarik kelompok Untung untuk membantunya menangkap Pangeran Purbaya. Kelompok Untung berhasil menangkap Pangeran Purbaya. Namun, setelah hampir mendekati Batavia, Untung berubah pikiran karena mendapat penghinaan dari pimpinan pasukan VOC dan ia memutuskan untuk kembali melawan VOC.
Ketika bergerilya melawan VOC di wilayah Priangan dan melanjutkan perjalanan ke Cirebon, ia terlibat perkelahian dengan seorang pangeran Cirebon yang bernama Surapati. Untung dituduh telah melakukan pembangkangan terhadap Sultan Cirebon. Namun, ia selamat dari tuduhan tersebut dan Surapati yang kemudian dipersalahkan, dan akhirnya dihukum mati. Setelah kejadian itu, Untung dijuluki nama baru, yaitu dengan sebutan Untung Surapati.
Ketika mataram dipimpin oleh Sunan Amangkurat II, Untung Surapati melanjutkan perjuangan di wilayah Mataram. Dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda, Sunan Amangkurat II merangkul Untung. Namun ia menyadari akan kelicikan sunan ketika menjerumuskan Trunojaya. Maka, setelah membunuh Kapitan Tack dan anak buahnya Untung pun menyingkir ke Jawa Timur. Kaptain Tack adalah utusan Belanda yang bertugas untuk menangkap Untung Surapati. Perjuangan Untung Surapati semakin kuat dengan dibangunnya pusat perjuangan untuk  melawan VOC di Pasuruan Jawa Timur yang bernama Wiranegara. Wiranegara dipimpin dan diperintah oleh Untung Surapati.
Konflik lain terjadi antara Pangeran Pugar yang merupakan adik dari Amangkurat II dan Amangkurat III atau Sunan Mas. Konflik ini terjadi karena perbedaan prinsip. Pangeran Pugar memihak Belanda, sedangkan Sunan Mas anti Belanda. Dalam konflik ini, tentu VOC memilih Pangeran Pugar. Kemudian Pangeran Pugar dan VOC membuat perjanjian dan menandatanganinya di Semarang. Isi dari perjanjian tersebut, antara lain sebagai berikut.
a)      Seluruh daerah Priangan, Cirebon dan Madura bagian timur diserahkan kepada VOC.
b)      Pangeran Pugar dibebaskan dari segala utangnya terdahulu, tetapi selama 25 tahun Sunan wajib menyerahkan 8000 koyan beras kepada VOC.
c)      Di daerah Kartasura VOC bersedia menempatkan pasukannya untuk melindungi sunan.
Karena telah berhasil memperoleh kemenangan, Pangeran Pugar dinobatkan menjadi susuhunan oleh VOC dengan nama Pakubuwono I.
Sunan Mas yang meninggalkan Kartasura setelah kalah oleh Pangeran Pugar bergabung dengan Untung Surapati yang bertahan di Kediri, Banggil, Pasuruan dan Belambangan pada 1706. Untung Surapati gugur dalam pertempuran besar di Banggil. Lalu, Sunan Mas menghentikan perlawanan dan menyerahkan diri ke VOC sehingga dia diasingkan kedaerah Sailan.

     B.     Perlawanan Sesudah Tahun 1800
1.      Perlawanan Sultan Nuku (Tidore)
Kesultanan Tidore di bawah pimpinan Sultan Nuku melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Untuk menghadapi kekuatan Belanda, Sultan Nuku melakukan persiapan perang dengan cara meningkatkan kekuatan perangnya hingga 200 kapal perang dan 6000 orang pasukan. Setelah itu, perjuangan Sultan Nuku untuk mengusir kekuatan Belanda tersebut dilakukan pula jalur diplomasi.
Upaya diplomasi yang ditempuh Sultan Nuku tersebut ialah mengadakan hubungan dengan inggris. Upaya diplomasi tersebut dilakukan dalam rangka meminta bantuan dan dukungan dari Inggris, terutama dalam memperkuat senjata untuk menghadapi persenjataan Belanda yang lebih maju dibandingkan dengan persenjataan yang dimiliki kesultanan Tidore. Siasat untuk mengadu domba antara inggris dan belanda berhasil dilakukan, sehingga pada 20 Juni 1801 Sultan Nuku berhasil membebaskan Kota Soa-Siu dari kekuasaan Belanda. Maluku Utara akhirnya dapat dipersatukan dibawah kekuasaan Sultan Nuku.
2.      Perlawanan Patimura
Pada tahun 1817, terjadi perubahan penguasaan di Indonesia. Belanda kembali berkuasa di Indonesia menggantikan Inggris. Perkembangan itu telah menggelisahkan masyarakat Maluku. Belanda menerapkan kebijakan yang sangat berbeda dengan Inggris. Rakyat pun kecewa, rakyat dipaksa menyerahkan berbagai macam hasil bumi, seperti kopi dan rempah-rempah. Rakyat mendapat bayaran yang sangat kecil, bahkan kadang kadang tidak dibayar. Pada bulan Mei 1817, rakyat Maluku di Saparua melancarkan perlawanan yang dipimpin oleh Thomas Matulessy atau patimura. Thomas Matulessy  dilahirkan di Haria, Pulau Saparua Maluku. Pada tahun 1783. Pada masa pemerintahan Inggris, Patimura masuk dinas militer berpangkat sersan.
 Pada malam hari tanggal 15 Mei 1817 para pemuda Saparua dibawah pimpinan Patimura, mulai melakukan perlawanan terhadap Belanda. Mereka membakar perahu-perahu pos di pelabuan. Setelah itu, mereka mengepung Benteng Duursted. Pada tanggal 16 Mei 1817, Benteng tersebut berhasil diduduki oleh barisan Patimura dan kawan-kawan. Setelah itu, Benteng Deverdijk dapat dikuasai dan Residen Van Der Berg berhasil ditembak mati.
Perlawanan terhadap Belanda juga terjadi di daerah Maluku lainnya, seperti di Haruku, Pulau Seram, Larike, Asilulu, Wakasihu. Perlawanan rakyat Maluku tersebut sempat menghancurkan pertahanan Belanda. Pada bulan Juli 1817, pihak Belanda mendatangkan bantuan dengan kekuatan yang lebih besar dari Batavia. Pasukan ini dipimpin oleh Laksamana Muda Buykes. Kemudian belanda melancarkan serangan besar-besaran, sehingga pasukan Patimura terdesak oleh Belanda. Pada Bulan Agustus 1817, Patimura terpaksa menyingkir ke hutan dan melakukan perang gerilya. Dengan tipuan muslihat, Belanda berhasil menguasai kembali Benteng Deverdijk pada tanggal 18 November 1817. Belanda juga berhasil menangkap dan menghukum mati kapitan Paulus Tiahahu. Setelah itu, perlawanan lainnya dilakukan oleh pehlawan wanita, yaitu Cristian Martha Tiahahu yang berusia 17 tahun yang pergi ke hutan untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Sekitar bulan November 1817, Patimura terdesak dan akhirnya dapat ditangkap oleh Belanda. Pada tanggal 16 Desember 1817, Patimura dihukum gantung di alun alun Ambon di depan Benteng Victoria.
3.      Perang Diponegoro
Sejak Daendels berkuasa, maka wilayah kekuasaan raja-raja Jawa, terutama Yogyakarta dan Surakarta, makin dipersempit. Hal ini disebabkan karena banyak daerah yang diberikan kepada Belanda sebagai imbalan atas bantuannya. Adapun daerah yang diinginkan Belanda adalah daerah Pantai Utara Jawa. Karena itu daerah-daerah tersebut berangsur-angsur diambil-alih oleh Belanda. Daerah Kerawang dan Semarang dikuasai oleh Belanda pada tahun 1677, dan pada tahun 1743 Daerah Cirebon, Rembang, Jepara, Surabaya, Pasuruan dan Madura. Dengan hilangnya daerah-daerah pesisir, Kerajaan Mataram makin melepaskan kegiatan pelayaran dan perdagangannya, dan memusatkan kegiatannya pada bidang pertanian.
Di samping makin sempitnya wilayah kerajaan yang bias memperkecil kekuasaan raja, juga dapat menyebabkan kecilnya penghasilan kerajaan. Raja makin lama makin tergantung kepada Belanda. Untuk membiayai pemerintahan kerajaan saja ia semakin tergantung pada uang pengganti dari Belanda di samping dari hasil pajak penghasilan dari daerah yang masih dikuasainya.
Pada tahun 1823 Gubernur Jenderal Van Der Capellen memerintahkan agar tanah-tanah yang disewa dari kaum bangsawan dikembalikan lagi kepada yang punya, dengan perjanjian, bahwa uang sewa dan biaya lainnya harus dibayar kembali kepada si penyewa. Dengan demikian beban para bangsawan juga sangat berat karena uang sewa itu sudah dibelanjakan. Perpecahan di kalangan keluarga kerajaan di Mataram tidak saja melemahkan kerajaan, tetapi juga menyebabkan pengaruh Belanda makin menjadi kuat. Setiap pertentangan antar keluarga bangsawan di keraton akan mengundang campur tangan pihak Belanda, yang pada akhirnya merugikan kerajaan itu sendiri sebagai keseluruhan. Pada masa Daendels terdapat usaha mencampuri urusan tata cara di istana. Misalnya, Daendels menghendaki persamaan derajat dengan Sultan pada waktu upacara kunjungan resmi diadakan di kraton. Dalam upacara tersebut pembesar Belanda supaya diijinkan duduk sejajar dengan raja, dan sajian sirih supaya dihapuskan. Raffles juga meneruskan usaha yang sama terhadap kehidupan keraton.
Pada saat segenting itu muncullah seorang pemimpin besar, yang dapat membimbing rakyat, yaitu Pangeran Diponegoro. Ia adalah putra sulung Sultan Hamengku Buwono (HB) III dari Garwa Ampeyan. Dilahirkan pada tanggal 11 November 1785 dengan nama kecil Raden Mas Ontowiryo. Sejak kecil beliau dididik oleh neneknya, Kanjeng Ratu Ageng di Tegalrejo, terkenal sebagai orang yang amat saleh. Buah usahanya ternyata sekali pada diri Diponegoro. Beliau selalu berusaha memperdalam soal agama. Sewaktu Inggris masih berkuasa, Sultan Hamengku Buwono III dan Raffles pernah menjanjikan kepada Pangeran Diponegoro akan naik tahta sebagai pengganti ayahnya. Namun setelah Sultan Hamengku Buwono III wafat tahun 1814, yang menggantikan bukan Diponegoro tetapi adiknya yakni Mas Jarot dengan gelar Sultan Hamengku Buwono IV (HB IV), sedang Pangeran Diponegoro diangkat sebagai penasehatnya.
Pengaruh Pangeran Diponegoro terhadap Sultan HB IV besar sekali. Atas desakan Pangeran Diponegoro, Sultan HB IV pernah mencabut keputusannya yang telah disampaikannya kepada residen Belanda. Karena kehidupan HB IV yang kebarat-baratan, maka wafatnya yang tiba-tiba tahun 1822, dianggap oleh Diponegoro sebagai kutukan.
Sepeninggal HB IV, yang diangkat sebagai Sultan bukan Pangeran Diponegoro tetapi Raden Mas Menol dengan gelar Sultan HB V. Karena raja tersebut baru berusia tiga tahun, maka pemerintah Belanda mengangkat beberapa orang wali yaitu Pangeran Diponegoro, Pangeran Mangkubumi, Ibu dan Nenek Sultan. Dengan kedudukannya itu, pengaruh Pangeran Diponegoro semakin bertambah besar. Melihat pengaruh Diponegoro yang sebesar itu, baik di kalangan istana maupun di segala lapisan masyarakat, sebetulnya pemerintah Belanda menyesal memilih beliau sebagai wali Sultan. Dari sebab itu diaturnya supaya wali-wali tersebut jangan sampai ikut campur dalam pemerintahan.
Melihat kondisi Kesultanan dinilai mengancam kekuasaan Belanda, maka Belanda menetapkan bahwa pemerintahan diserahkan kepada Patih Danurejo dan di bawah pengawasan residen. Pangeran Diponegoro yang menyadari maksud dan tujuan siasat Belanda itu menganggap bahwa kedudukannya sebagai wali Sultan bertentangan dengan aturan-aturan agama sehingga ia menolak pengangkatan tersebut. Lebih-lebih karena Pangeran Diponegoro melihat sendiri tindakan-tindakan pegawai pemerintah Belanda yang benar-benar menyakitkan hati, misalnya:
a)      Residen Nahuys memasukkan adat-istiadat dan pakaian Eropa di kraton.
b)      Makin banyak tanah disewakan kepada orang-orang Eropa, bahkan Nahuys sendiri membuka kebun yang luas.
c)      Tindakan-tindakan pegawai pemerintah Belanda yang bersikap mengejek terhadap Pangeran Diponegoro.
Kebijaksanaan lain yang dianggap melecehkan Diponegoro adalah perbuatan residen dan patih yang selalu mengambil keputusan-keputusan dengan tidak dirundingkan terlebih dahulu dengan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi. Misalnya, mengangkat seorang penghulu itu adalah hak Sultan. Tetapi waktu penghulu Rachmanudin berhenti lantaran berbeda pendapat dengan patih, maka residen dan patih mengangkat penggantinya tidak dengan persetujuan para wali. Pangeran Diponegoro menganggap pengangkatan itu tidak sah. Sekali peristiwa Pangeran Diponegoro diperlakukan tidak pantas oleh dua orang pegawai Belanda, dalam pesta di rumah patih. Beliau terus meninggalkan perayaan tersebut, lalu mengasingkan diri di Tegalrejo.
Pada waktu residen dan patih menyuruh menyambung jalan dari kota ke Tegalrejo (Jalan Notoyudan) yang akan melalui tempat yang dianggap keramat oleh Diponegoro, maka Diponegoro menentangnya. Di samping akan melalui tempat yang keramat dan tidak dirundingkan lebih dahulu, Pangeran Diponegoro menilai bahwa jalan tersebut akan digunakan untuk memperlancar serangan Belanda ke Tegalrejo. Peristiwa tersebut menyebabkan Pangeran Diponegoro tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Beliau meminta agar patih dipecat, tetapi ditolak oleh residen. Karena itu Pangeran Diponegoro menyuruh mengganti tonggak-tonggak pemancang jalan yang akan dibuat dicabut diganti dengan bambu runcing.
Pemerintah Belanda mengutus Pangeran Mangkubumi ke Tegalrejo untuk memanggil Diponegoro mempertanyakan tindakan-tindakan Diponegoro itu. Beliau tahu bahwa beliau akan ditangkap jika beliau mengabulkan panggilan itu. Pangeran Mangkubumi sendiri akhirnya tidak mau pulang ke kota. Akibatnya pasukan Belanda menyerbu ke Tegalrejo sehingga akhirnya pada tanggal 25 Juli 1825 berkobarlah perlawanan Diponegoro. Dalam pertempuran tersebut, Pangeran Diponegoro bersama keluarganya berhasil melepaskan diri dari serbuan Belanda itu.
Setelah pertempuran di Tegalrejo ini, Diponegoro dengan pasukannya menyingkir ke Gua Selarong, sekitar 15 km sebelah barat daya kota Yogyakarta, guna mengatur siasat perang selanjutnya. Keluarga Pangeran Diponegoro diungsikan ke Dekso (Kulon Progo) . Kabar mengenai meletusnya perlawanan Diponegoro terhadap Belanda meluas ke berbagai daerah. Rakyat petani yang telah lama menderita dalam kehidupannya, banyak yang segera datang untuk ikut serta dalam perlawanan. Demikian pula para ulama dan bangsawan yang kecewa terhadap Belanda bergabung dengan Diponegoro. Daerah-daerah lain juga menyambut perlawanan Diponegoro dengan melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Kyai Mojo, seorang ulama dari daerah Surakarta, datang untuk bergabung dengan Diponegoro. Bersama dengan Kyai ini dibentuklah kelompok pasukan. Semboyan Perang Sabil dikumandangkan ke segenap pengikutnya, baik yang ada di daerah Selarong maupun yang ada di daerah lain. Malahan seorang Kyai yang bernama Hasan Besari diutus Diponegoro untuk menyebarkan Perang Sabil di daerah Kedu. Di samping para tokoh ulama, Diponegoro juga mendapat dukungan para Bupati Monconegoro. Di antaranya yang terkenal adalah Alibasya Sentot Prawirodirjo dari Madiun yang kemudian menjadi Panglima Perang Diponegoro. Itulah sebabnya pada tahun-tahun pertama pertempuran dengan cepat meluas sampai ke daerah Pacitan, Purwodadi, Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang, Kertosono dan Madiun.
Sementara itu tokoh-tokoh yang memihak Belanda untuk menentang perlawanan Diponegoro antara lain Patih Danurejo, Sunan Surakarta, raja-raja dari Madura. Dalam pertempuran di Kertosono, rakyat dipimpin langsung oleh Bupati Kertosono, pertempuran di Banyumas, rakyat dipimpin oleh Pangeran Suriatmojo, perlawanan di Madiun dipimpin oleh Bupati Kertodirjo dan Pangeran Serang, sedang perlawanan di Plered dipimpin oleh Kertopengalasan. Dalam pertempuran di daerah Lengkong (1826), Belanda dipukul mundur, seorang letnan Belanda tewas dan dua orang bangsawan gugur.
Dalam pertempuran-pertempuran dari tahun 1825 sampai 1826 kemenangan ada di pihak Diponegoro. Hal ini disebabkan :
(1) Semangat perang pasukan Diponegoro masih tinggi,
(2) Siasat gerilya yang dilakukan Diponegoro belum tertandingi,
(3) Sebagian pasukan Belanda masih berada di Sumatera Barat dalam rangka Perang Padri.
Karena itu tawaran Belanda untuk melakukan perdamaian selalu ditolak oleh Diponegoro.Melihat semakin kuatnya Diponegoro dan semakin meluasnya medan pertempuran, maka Belanda menilai bahwa perlawanan Diponegoro sangat membahayakan kedudukan Belanda di Indonesia. Itulah sebabnya Belanda lalu menggelar berbagai siasat untuk menumpas atau menghentikan perlawanan Diponegoro itu. Dalam rangka untuk menghadapi perlawanan Diponegoro itu, Belanda melakukan siasat-siasat sebagai berkut:
(1) Sultan HB II (Sultan Sepuh) yang dibuang Raffles ke Pulau Penang, dikembalikan ke Yogyakarta dengan tujuan mendatangkan perdamaian sehingga para bangsawan yang memihak Diponegoro diharapkan kembali ke kraton. Usaha tersebut gagal karena Sultan Sepuh kurang berwibawa lagi bahkan tidak lama kemudian terus wafat sehingga para bangsawan tetap melakukan perlawanan.
(2) Jenderal de Kock berusaha memecah belah pengikut Diponegoro. Para bangsawan dibujuknya supaya pulang ke ibu kota. Mereka tidak akan dituntut. Juga kedudukan, uang dan sebagainya kerap kali dipergunakan sebagai pemikat hati. Usaha de Kock ini rupanya berhasil juga, sebab Kyai Mojo, Pangeran Kusumonegoro, Sentot dan lain-lain meninggalkan Diponegoro, sehingga akhirnya beliau tinggal seorang diri. Kyai Mojo diasingkan ke Minahasa, sedang Sentot dikirim ke Sumatera untuk memerangi kaum Padri, namun akhirnya ditangkap lagi dan dibuang ke Bangkahulu.
(3) Untuk mempersempit ruang-gerak Diponegoro, Jenderal de Kock menggunakan taktik Benteng Stelsel (perbentengan), yaitu mendirikan benteng-genteng di tiap daerah yang direbut dan kemudian dijaga oleh pasukan prajurit, dan benteng itu saling berhubungan. Penduduk daerah itu tetap tenang dan tidak ikut bertempur. Benteng-benteng tersebut dibangun di Gombong, Purworejo, Magelang, Ambarawa dan Salatiga.
(4) Sesudah Diponegoro semakin terjepit, Belanda melakukan pendekatan agar Diponegoro mau diajak untuk melakukan perundingan perdamaian. Perundingan semacam itu pernah di Klaten tahun 1827, tetapi gagal.
Karena bala bantuan Belanda terus berdatangan, maka posisi tentara Pangeran Diponegoro semakin terjepit sehingga sering terjadi pertempuran terbuka. Akibatnya pengikut-pengikut setianya semakin kecil sebab Pangeran Suryomataram dan Prangwadono tertangkap, sedangkan Pangeran Serang dan Pangeran Notoprojo menyerah.
Pangeran Ario Papak dan Sosrodilogo (Rembang) juga menyerah. Pada tahun 1829 Pangeran Mangkubumi dan Alibasya Sentot Prawirodirjo mengambil keputusan menyerahkan diri sebelum dikalahkan. Sampai tahun 1829 tersebut kira-kira 200 ribu pasukan Diponegoro telah gugur. Oleh karena kondisinya yang semakin terdesak dan melihat kedudukannya yang sudah tidak ada harapan lagi, maka Diponegoro bersedia untuk melakukan perundingan.
Melalui Kolonel Kleerens, pada tanggal 16 Pebruari 1830 Diponegoro mau melakukan pertemuan di desa Romo Kamal. Dalam pertemuan itu dibuat syarat-syarat perundingan sebagai berikut:
a.       Bila mana dasar perundingan tidak dapat disetujui oleh Diponegoro, beliau boleh kembali  secara bebas.
b.      Dalam perundingan itu Diponegoro harus jauh dari tentaranya,sedang tentaranya tidak boleh membawa senjata. Rencana perundingan perdamaian itu dilakukan di kota Magelang.
De Kock takut kalau-kalau Diponegoro akan menyerang lantaran pengikutnya kian hari kian banyak yang masuk kota Magelang. Sementara pemerintah Negeri Belanda mendesak de Kock agar segera menghentikan perlawanan dengan cara apapun agar melapangkan jalan bagi pelaksanaan Culturstelsel. Di samping itu, de Kock juga terancam dipecat jika Diponegoro sampai lepas kembali.
Dengan berbagai alasan tersebut, Pangeran Diponegoro ditangkap di tempat perundingan tersebut. Diponegoro kemudian dibawa ke Menado dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Makasar dan di sana beliau wafat pada tanggal 8 Januari 1855. Makam beliau hingga kini menjadi tempat ziarah bangsa Indonesia.
Perlawanan Pangeran Diponegoro membawa akibat yang cukup berat. Korban di pihak Belanda sebanyak 15.000 tentara, terdiri dari 8000 ribu orang Eropa, dan 7000 orang serdadu pribumi. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai perang itu tidak kurang dari 20 juta
gulden. Di samping itu, tidak sedikit perkebunan-perkebunan swasta asing yang rusak. Kemakmuran rakyat lenyap sama sekali.
Akibat perlawanan Diponegoro, maka batas-batas Surakarta dan Yogyakarta diubah, daerahnya diperkecil. Berhubungan dengan tindakan ini, maka Sunan Paku Buwono VI merasa kecewa sekali, lalu meninggalkan ibu kota. Pemerintah Belanda menaruh curiga, lalu Sunan
ditangkap dan dibuang ke Ambon (1849) . Dengan demikian maka berakhirlah perlawanan penghabisan dari raja-raja Jawa.
4.      Perang Paderi
Perang Padri terjadi di tanah Minangkabau, Sumatera Barat pada tahun 1821 — 1837. Perang ini digerakkan oleh para pembaru Islam yang sedang konflik dengan kaum Adat. Mengapa dan bagaimana Perang Padri itu terjadi? Perang Padri sebenarnya merupakan perlawanan kaum Padri terhadap dominasi pemerintahan Hindia Belanda di Sumatera Barat. Perang ini bermula adanya pertentangan antara kaum Padri dengan kaum Adat. Adanya pertentangan antara kaum Padri dengan kaum Adat telah menjadi pintu masuk bagi campur tangan Belanda. Perlu dipahami sekalipun masyarakat Sumatera Barat sudah memeluk agama Islam, tetapi sebagian masyarakat masih memegang teguh adat dan kebiasaan yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Dalam melaksanakan pemurnian praktik ajaran Islam, kaum Padri menentang praktik berbagai adat dan kebiasaan kaum Adat yang memang dilarang dalam ajaran Islam seperti berjudi, menyabung ayam, minum-minuman keras. Kaum Adat yang mendapat dukungan dan beberapa pejabat penting kerajaan menolak gerakan kaum Padri. Terjadilah pertentangan antara kedua belah pihak. Timbullah bentrokan antara keduanya. Tahun 1821 pemerintah Hindia Belanda mengangkat James Du Puy sebagai residen di Minangkabau. Pada tanggal 10 Februari 1821, Du Puy mengadakan perjanjian persahabatan dengan tokoh Adat, Tuanku Suruaso dan 14 Penghulu Minangkabau. Berdasarkan perjanjian ini maka beberapa daerah kemudian diduduki oleh Belanda. Pada tanggal 18 Februari 1821, Belanda yang telah diberi kemudahan oleh kaum Adat berhasil menduduki Sima’ang. Di daerah mi telah ditempatkan dua meriam dan 100 orang serdadu Belanda. Tindakan Belanda ini ditentang keras oleh kaurn Padri, maka tahun 1821 itu meletuslah Perang Padri.
Pada tahun 1821 datanglah tentara Belanda dibawah pimpinan Kolonel Raaff, yang dapat memukul mundur kaum Padri, lalu mendirikan benteng Fort van der Capellen di Batusangkar tahun 1822. Kemudian Jenderal de Kock mendirikan benteng Fort de Kock di Bukittinggi. Walaupun kota-kota besar dikuasai Belanda, tetapi dengan menjalankan siasat perang gerilya kaum Padri tetap berkuasa. Dalam konflik itu kaum adat cenderung kepada pihak Belanda, dan memang kaum adat meminta pihak Belanda untuk melawan kaum Padri.
Pada tahun 1825 di Jawa mulai berkobar perang Diponegoro. Belanda menilai bahwa perang Diponegoro lebih berbahaya dari pada Perang Padri. Karena itu, pasukan Belanda yang bertugas di Sumatera Barat harus dikurangi untuk dikerahkan ke Jawa. Karena kondisi tersebut Belanda menggunakan taktik berdamai dengan pihak Padri. Perdamaian itu diadakan pada tahun 1825. Pada saat terjadi gencatan senjata tersebut, ternyata Belanda melakukan tekanan-tekanan kepada penduduk setempat, sehingga akhirnya meletuslah perlawanan kembali dari pihak kaum Padri diikuti oleh rakyat setempat. Perlawanan segera menjalar kembali ke berbagai tempat. Tuanku Imam Bonjol mendapat dukungan Tuanku nan Gapuk, Tuanku nan Cerdik, dan Tuanku Hitam, sehingga mulai tahun 1826 volume pertempuran semakin meningkat. Setelah Perang Diponegoro selesai (1830), pasukan Belanda yang berada di Jawa dikerahkan kembali ke Sumatera Barat untuk menghadapi kaum Padri. Salah satu markas kaum Padri yang berada di Tanjung Alam diserang oleh pasukan Belanda (1833). Akibat pertempuran tersebut, pasukan Padri melemah karena beberapa pemimpin Padri menyerah, misalnya Tuanku nan Cerdik. Sejak itu perlawanan-perlawan terhadap Belanda dipimpin sendiri oleh Tuanku Imam Bonjol.
Sejak tahun 1830 kaum Padri mendapat bantuan dari kaum adat. Mereka mau bersatu dengan kaum Padri karena ingin mempertahankan kemerdekaan mereka dari penjajah Belanda. Mereka sadar, bahwa pemerintahan Belanda bagi mereka adalah rodi, menyediakan keperluan Belanda, pemerasan dan ekspedisi-ekspedisi yang kejam. Walaupun telah mendapat bantuan dari kaum adat, tetapi kekuatan kaum Padri semakin merosot. Sebaliknya, kekuatan Belanda semakin bertambah kuat. Pasukan Diponegoro yang menyerah kepada Belanda dikerahkan untuk menumpas kaum Padri, termasuk Basah Sentot Prawiradirja (walaupun akhirnya ia dicurigai mengadakan hubungan dengan kaum Padri sehingga ditangkap lagi) .
Untuk mempercepat penyelesaian Perang Padri, Gubernur Jenderal van den Bosch datang ke Sumatera Barat untuk menyaksikan sendiri keadaan di medan pertempuran. Ia mengeluarkan pernyataan gubernemen yang terkenal dengan nama Pelakat Panjang. Pernyataan itu memberi hak-hak istimewa kepada mereka yang memihak Belanda. Dalam kondisi terjepit, pihak Belanda mengajak Imam Bonjol untuk berunding. Tetapi perundingan perdamaian itu oleh Belanda hanyalah dipakai untuk mengetahui kekuatan yang terakhir di pihak Padri, yang ada di Benteng Bonjol, sementara mengharapkan Imam Bonjol mau menyerahkan diri.
Perundingan gagal karena pihak Belanda memang telah melakukan persiapan untuk mengepung benteng tersebut. Jenderal Michiels memimpin sendiri pengepungan kota Bonjol. Dengan susah payah Kaum Padri menghadapi kekuatan musuh yang jauh lebih kuat. Pada akhirnya benteng Kaum Padri jatuh ke tangan Belanda. Tuanku Imam Bonjol beserta sisa-sisa pasukannya tertawan pada tanggal 25 Oktober 1837. Imam Bonjol lalu dibuang ke Cianjur, lalu dipindah ke Ambon dan akhirnya dibuang ke Minahasa.
Tertangkapnya Imam Bonjol memang tidak berarti berhentinya perlawanan-perlawanan, tetapi penyerahan itu cukup melumpuhkan kegiatan kaum Padri. Secara kecil-kecilan pertempuran masih dilakukan oleh pimpinan kaum Padri yang lain, yaitu Tuanku Tambose. Namun setelah itu akhirnya patahlah perlawanan kaum Padri. Semenjak itu Minangkabau diperintah langsung oleh Belanda.
5.      Perang Aceh
Setelah Perang Padri berakhir, pada tahun 1873 di Sumatera berkobar lagi perlawanan terhadap Belanda yakni Perang Aceh. Penyebab terjadinya Perang Aceh terutama karena nafsu Belanda untuk menguasai daerah ini. Sebelumnya, mereka tidak berani menduduki Aceh karena terikat Traktat London 1824. Traktar London II itu mewajibakan Belanda menghormati kedaulatan Aceh. Namun setelah terjadi Traktat Sumatera tahun 1871 sebagai perbaikan Traktat London II, Belanda bebas meluaskan wilayahnya ke seluruh Sumatera, termasuk Aceh
Dengan terjadinya traktat tersebut, Belanda khawatir kalau Aceh jatuh ke tangan bangsa asing lain seperti Turki, Italia, Perancis atau Amerika. Sesudah tersiar kabar bahwa Aceh mengadakan hubungan dengan Amerika, maka pemerintah Belanda mengirimkan Nieuwenhuisen (komisaris Belanda) ke Aceh, untuk menuntut, supaya Aceh mengakui kekuasaan Belanda. Perundingan-perundingan yang diadakan tak berhasil. Dari sebab itu Belanda menyatakan perang kepada Aceh.
Pada tahun 1873 Belanda mengirimkan ekspedisi pertama dengan 3193 prajurit dipimpin oleh Jenderal Kohler. Setelah beberapa lama terjadi tembak menembak di daerah pantai, pasukan Aceh mengundurkan diri dan berkubu di sekitar Mesjid Raya. Belanda langsung menyerbu Mesjid Raya dengan tembakan-tembakan meriam, sehingga mesjid itu terbakar. Pasukan Aceh mundur dan Mesjid Raya diduduki Belanda. Namun pasukan Aceh berhasil menembak Jenderal Kohler sehingga tewas, sehingga pimpinan tentara Belanda diambil alih oleh Kolonel van Dalen dan menarik diri dari Mesjid Raya.
Pasukan Aceh melakukan konsolidasi di sekitar istana Sultan Mahmudsyah. Pasukan-pasukan itu terus digerakkan untuk melakukan serangan-serangan terhadap pos-pos Belanda. Dengan demikian usaha Belanda untuk menundukkan Aceh dengan serangan terbuka mengalami kegagalan, sehingga Belanda memilih memblokade Aceh. Ketika itu muncullah tokoh-tokoh pemimpin seperti Panglima Polem, Teuku Imam Lueng Bata, Cut Banta, Teungku Cik di Tiro, Teuku Umar, dan istrinya Cut Nya’ Din, dan masih banyak pemimpin Aceh lainnya yang memimpin perlawanan di daerahnya masing-masing. Dalam ekspedisi kedua (1874), digerakkanlah 8000 prajurit Belanda dengan pimpinan Jenderal J. van Swieten menyerbu Aceh. Sasaran utama adalah istana Sultan Mahmudsyah. Istana itu berhasil direbut Belanda, lalu dijadikan pusat pemerintahan Belanda di daerah yang disebut Kotaraja. Belanda lalu memproklamasikan bahwa Aceh sudah berada di bawah kekuasaan Belanda.
Sementara itu Sultan Mahmudsyah meninggal, dan baru 10 tahun kemudian diganti oleh anaknya, Sultan Muhammad Daudsyah. Ia memerintah dibantu oleh dewan Mangkubumi, dan pusat pemerintahannya berada di daerah pengungsian, serta berpindah-pindah untuk menghindari penyergapan Belanda. Walaupun perlawanan panglima-panglima dan hulubalang-hulubalang lebih kuat dari sangkaan Belanda, tetapi tentara Belanda yang dipersenjatai lebih lengkap, di bawah pimpinan Jenderal van der Heyden (Jenderal Buta), akhirnya dapat menguasai Aceh Besar (1879) . Pemerintah Belanda menyangka bahwa dengan peristiwa ini perang Aceh benar-benar berakhir. Dari sebab itu pemerintahan militer diganti dengan pemerintahan sipil. Perhitungan itu salah. Sebab tak lama kemudian perlawanan menghebat kembali, sehingga terpaksa pemerintah sipil diganti dengan pemerintah militer.
Untuk memadamkan perlawanan rakyat Aceh, pemerintah Belanda memisahkan daerah Aceh sebelah utara dari Aceh sebelah selatan, sedangkan pantai laut dijaga oleh angkatan laut Belanda. Siasat ini disebut konsentrasistelsel, yaitu daerah yang dikuasai Belanda dimakmurkan agar orang-orang Aceh yang melakukan perlawanan meletakkan senjata dan kembali ke daerah yang aman dan makmur itu. Dalam perkembangannya, siasat tersebut gagal, sebab pagar kawat berduri sebagai daerah pembatas tersebut sering dirusak kaum gerilya dan penjaganya mati terbunuh. Sementara itu Teuku Umar yang sudah menyerah kepada Belanda (1893) pada tahun 1896 kembali melawan Belanda setelah berhasil membawa banyak senjata Belanda. Dalam kondisi sulit ini muncullah seorang ahli bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam Dr. Snouk Hurgronye sebagai penasehat dalam urusan pemerintahan sipil. Ia mempelajari bahasa, adad istiadat, kepercayaan dan waktu orang-orang Aceh. Dari hasil penelitiannya akhirnya dapat diketahui bahwa sebenarnya Sultan Aceh itu tidak mempunyai kekuatan apa-apa tanpa persetujuan dari kepala-kepala yang ada di bawahnya. Selain itu juga dijelaskan bahwa pengaruh kaum ulama pada rakyat adalah sangat besar. Karena itu dirasa sulit untuk menundukkan rakyat yang berkeyakinan agama yang kuat sepeti rakyat Aceh itu.
Berdasarkan hasil penelitian itu, lalu dilakukan langkah-langkah yang jitu, yaitu dengan menggunakan taktik memecah belah kekuatan yang ada di kalangan rakyat Aceh. Kaum ulama yang memimpin pertempuran harus dihadapi dengan kekuatan senjata, sedangkan para bangsawan dibuka kesempatan untuk masuk ke dalam kelompok pamongpraja di lingkungan pemerintah Belanda. Untuk menghadapi kaum ulama, Belanda melakukan serangan habis-habisan. Jenderal van Heutz membentuk pasukan marsose (istimewa) untuk mengejar tentara Aceh sampai tertangkap atau terbunuh. Sewaktu menyerbu kedudukan Belanda di Meulaboh (1899), Teuku Umar gugur.
Panglima Polem terus melakukan perlawanan di daerah bagian timur. Pihak Belanda terus berusaha untuk menangkapnya tetapi sulit. Oleh karena itu pihak Belanda menggunakan taktik baru, yakni dengan mengadakan penculikan isteri Sultan. Dengan mengadakan tekanan-tekanan yang keras akhirnya Sultan Muhhamad Dawud menyerah kepada Belanda tahun 1903. Dengan hilangnya pemimpin-pemimpin yang tangguh itu, maka perlawanan rakyat Aceh makin kendor, dan di lain pihak Belanda dapat memperkuat kekuasaannya di daerah itu. Sekalipun demikian perlawanan rakyat Aceh boleh dikatakan merupakan perlawanan yang paling lama dan yang paling besar selama abad ke-19. Dalam rangka untuk memastikan kemerosotan perlawanan Aceh, pada tahun 1904 Jenderal van Daalen melakukan ekspedisi lintas pedalaman, khususnya antara Gayo dan Alas. Dalam ekspedisi tersebut pasukannya memang tidak mendapatkan perlawanan suatu apa sehingga pada tahun 1904 itu pula perlawanan Aceh dinyatakan berakhir. Namun perlawanan masih berlangsung terus, secara perseorangan maupun dalam kelompok; hanya semakin lama semakin terpencil sifatnya.
Setelah perlawanan Aceh berakhir, maka daerah Aceh dibagi-bagi dalam swapraja-swapraja. Mereka diikat oleh pemerintah Belanda dengan jalan menandatangi pelakat pendek, suatu perjanjian yang menerangkan dengan singkat:
a.       Tiap-tiap swapraja harus mengakui kekuasaan pemerintah Belanda.
b.      Suatu swapraja tidak boleh mengadakan hubungan dengan pemerintah asing lainnya.
c.       Perintah pemerintah Belanda harus dijalankan.
Walaupun perlawanan rakyat Aceh sudah berakhir, di Sumatera masih ada perlawanan-perlawanan yang lain yaitu perlawanan rakyat Batak yang dipimpin Si Singamangaraja XII (1878-1907), perlawanan di Sumatera Selatan dipimpin oleh Raden Intan serta daerah-daerah lainnya yang dipimpin oleh pemimpin setempat.
6.      Perang Bali
Nama Bali dikenal dalam sejarah Indonesia mulai zaman Erlangga maupun Majapahit (Gajah Mada). Hubungan antara Bali dan Jawa erat sekali. Pada zaman Majapahit banyak penduduk kerajaan ini yang pindah ke Bali. Dengan bangga mereka menamakan dirinya wong Majapahit untuk membedakan diri dari penduduk Bali asli yang masih terdapat di pegunungan dan dikenal sebagai Bali-aga (orang Bali asli) .
Pemerintahan di Bali, akhirnya mengangkat dirinya menjadi raja dengan gelar Dewa Agung Ketut dan bersemayam di Gelgel. Pada abad ke-17 ibukota pindah ke Klungkung, tetapi kemudian pecah menjadi Sembilan kerajaan di antaranya yang terkenal adalah Klungkung, Gianyar, Badung, Karangasem, dan Buleleng. Salah satu hak yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan di Bali di daerah pantai ialah hak untuk menjalankan hukum tawan karang. Menurut hukum itu, raja Bali berhak untuk merampas muatan kapal yang terdampar di pantai wilayah kerajaannya. Sewaktu Belanda berada di Indonesia, Bali masih merupakan kerajaan-kerajaan merdeka. Belanda juga melakukan perdagangan (terutama perdagangan budak) dengan kerajaan-kerajaan Bali.
Dalam perdagangannya itu, telah berulang kali kapal Belanda terdampar di salah satu pantai dari kerajaan Bali dan muatannya dirampas oleh raja. Belanda telah mengajukan protes dan mengadakan perjanjian-perjanjian yang menyangkut pembebasan kapal-kapal Belanda. Tetapi raja-raja Bali sering tidak pernah mengindahkannya.
Di antara raja-raja Bali yang pernah diajak untuk mengadakan perjanjian pada tahun 1841 itu ialah raja-raja Klungkung, Buleleng, Badung dan Karangasem. Dalam perjanjian itu sesungguhnya raja Bali telah dipaksa untuk mengakui kedaulatan pemerintah Belanda, dan mengijinkan pengibaran bendera Belanda di kerajaannya. Tetapi kesemuanya itu tidak dilaksanakan oleh raja-raja Bali karena mereka dipaksa. Karena merasa diingkari, maka Belanda memutuskan untuk menggunakan kekerasan dalam usaha untuk menundukkan raja-raja Bali tersebut. Pada tahun 1846 Belanda mengirimkan ekspedisi militernya ke daerah Buleleng. Karena itu Gusti Ketut Jelantik menyiapkan pasukan untuk menghadapi kedatangan Belanda. Sebelum melakukan serangan, Belanda mengeluarkan ultimatum yang isinya agar Buleleng :
a.       mengakui kekuasaan Belanda,
b.      hak tawan karang harus dihapus,
c.       memberi perlindungan kepada perdagangan Belanda.
Karena ultimatum Belanda tak diindahkan, akhirnya Belanda menyerbu Buleleng. Sementara itu Karangasem memihak Buleleng, sehingga berkobar perang Belanda-Bali.
Dalam mnghadapi perlawanan rakyat Bali, Belanda terpaksa mengerahkan ekspedisi secara besar-besaran sebanyak tiga kali. Ekspedisi pertama dilakukan tahun 1836 dengan kekuatan 1700 tentara. Serangan pertama ini Belanda gagal menundukkan rakyat Bali. Belanda mengajak berunding, tetapi ternyata hanya taktik untuk melakukan penyerbuan kembali.
Sementara itu pasukan Bali di bawah Gusti Jelantik membangun benteng di Jagaraga dan mulai menyerang Belanda. Karena serangan tersebut, Belanda lalu melakukan ekspedisi kedua tahun 1848. Pertempuran berkobar hebat di benteng tersebut. Dalam pertempuran itu Belanda kehilangan 5 perwiranya dan 75 prajuritnya. Namun benteng Jagaraga gagal dikuasai. Setelah bala bantuan datang dari Jakarta, Belanda kembali menyerang. Namun serangan ke benteng Jagaraga dapat ditangkis. Pada tahun 1849 Belanda melakukan ekspedisi yang ketiga dengan kekuatan lebih dari empat ribu prajurit dengan tiga ribu pasukan tenaga pengangkut. Pasukan besar-besaran tersebut disambut dengan tiga ribu prajurit Bali dengan senjata tradisional. Sedangkan pasukan tambahan ada 10-20 ribu orang dari Buleleng dan Karangasem. Pertempuran meletus di sekitar benteng Jagaraga. Benteng tersebut dijaga sekitar 15 prajurit.
Pertempuran berlangsung beberapa hari sehingga kedua belah pihak mengalami kelelahan. Karena kalah dalam persenjataan, pasukan Bali mengundurkan diri dari benteng Jagaraga. Dengan demikian benteng tersebut jatuh ke tangan Belanda. Sejak itu perlawanan pindah ke daerah Karangasem dan Klungkung dengan pimpinan Gusti Jelantik. Perlawanan baru mengendor akhir abad ke-19, setelah sebagian besar kerajaan Bali ditaklukkan Belanda. Akibatnya raja-raja Bali melakukan puputan yaitu melawan habishabisan dengan diikuti sanak-saudaranya, para bangsawan lainnya dan kaum putri, bersenjata tombak dan keris keramat. Mereka memilih gugur di medan perang dari pada menyerah kepada Belanda. Pada tahun 1908 kerajaan Klungkung diserang Belanda. Raja Klungkung dibantu oleh seluruh kaum bangsawan, wanita dan anak-anak mengadakan puputan sewaktu diserang Belanda itu, lantaran tidak mau tunduk kepada peraturan-peraturan yang diadakan oleh pemerintah Belanda. Sesudah Klungkung diduduki maka berarti seluruh Bali dikuasai oleh pemerintah Belanda.
      7.      Perang Banjarmasin
Selain di Pulau Jawa dan Sumatra, pemerintahan colonial Belanda juga berupaya menguasai Pulau Kalimantan. Pada tahun 1817 Belanda mulai masuk ke wilayah Banjar, Kalimantan Selatan. Bahkan, pada tahun 1826 Belanda mengadakan perjanjian dengan Sultan Adam, raja Kerajaan Banjar. Isi perjanjian ini menyatakan bahwa seluruh wilayah Kalimantan Selatan adalah kekuasaan Belanda, kecuali Banjarmasin, Martapura, dan Hulu Sungai. Ketika daerah ini berada di wilayah kekuasaan Sultan Adam dari kesultanan Banjar. Selain itu, Belanda berhak menentukan siapa yang akan menjadi sultan muda, putra mahkota, dan mangkubumi.
Ketika sultan Adam wafat pada tahun 1857 terjadilah perebutan kekuasaan di keratin. Belanda berdiri di belakang kekacauan ini mengangkat Pangeran Tamjid Illah sebagai sultan kerajaan Banjarmasin, sedangkan rakyat menghendaki Pangeran Hidayat. Akhirnya, Pangeran Tamjid Illah III menjadi sultan, sedangkan Pangeran Hidayat menjadi mangkubuminya. Kedua tokoh ini tidak bias bekerja sama. Akibatnya, timbul keresahan di kalangan rakyat dan kaum bangsawan Banjar. Menyadari adanya keresahan ini, Belanda mengambil alih kekuasaan dari Pangeran Tamjid Illah . tindakan belanda ini menimbulkan kemarahan pada rakyat. Selanjutnya, pada tahun 1859 rakyat banjar di bawah pimpinan Pangeran Antasari menyerang pertahanan Belanda di Martapura dan Pengaron. Perlawanan lainnya dipimpin oleh kyai Demang Lehmanm Haji Nasrun, Haji Buyasin, kyai Langlang dan tumenggung Surapati, serta pangeran Hidayat. Mereka berhasil merebut benteng Belanda, seperti Benteng Tabanio, bahkan menenggelamkan kapal Onrust di sungai Barito.
Untuk mengatur strategi baru, Belanda menawarkan untuk berunding dengan Pangeran Hidayat, tetapi ditolak. Karena putus asa, sehingga Belanda menghapuskan kerajaan Banjar pada bulan Juni 1860. Sejak itu, daerah tersebut daerah tersebut diperintah langsung oleh Belanda. Tekanan Belanda yang sangat kuat menyebabkan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Hidayat ini dapat dikalahkan karena kurang persenjataan. Pada tahun 1862 Pangeran Hidayat ditangkap dan diasaingkan ke kota Cianjur, Jawa Barat. Namun demikian, perlawanan rakyat Banjar semakin gencar saja, apalagi setelah pangeran Antasari(1862), saudara sepupu pangeran Hidayat diangkat sebagai pemimpin tertinggi agama islam di Banjar dengan gelar Panembahan Amirudin Khalifatul Mukminin.
Beberapa saat kemudian, setelah ia diangkat menjadi sultan, perang meletus lagi. Dalam perang ini Pangeran Antasari menderita luka-luka dan akhirnya wafat pada tahun 1862. Perlawanan rakyat Banjar dilanjutkan oleh putra-putranya dan pejuang lainnya. Namun, sejak tahun 1864 ketika para pemimpin perlawanan Banjar berhasil ditangkap satu persatu, perlawanan rakyat Banjar mulai melemah. Akhirnya, Banjar sepenuhnyadapat dikuasai oleh Belanda.
Organisasi Pergerakan Nasional
1. Budi Utomo (BU)
Organisasi Budi Utomo (BU) didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 oleh para mahasiswa STOVIA di Batavia dengan Sutomo sebagai ketuanya. Terbentuknya organisasi tersebut atas ide dr. Wahidin Sudirohusodo yang sebelumnya telah berkeliling Jawa untuk menawarkan idenya membentuk Studiefounds. Gagasan Studiesfounds bertujuan untuk menghimpun dana guna memberikan beasiswa bagi pelajar yang berprestasi, namun tidak mampu melanjutnya studinya. Gagasan itu tidak terwujud, tetapi gagasan itu melahirkan Budi Utomo. Tujuan Budi Utomo adalah memajukan pengajaran dan kebudayaan. 
Tujuan tersebut ingin dicapai dengan usaha-usaha sebagai berikut:
a.       memajukan pengajaran;
b.      memajukan pertanian, peternakan dan perdagangan;
c.       memajukan teknik dan industri
d.      menghidupkan kembali kebudayaan.
Dilihat dari tujuannya, Budi Utomo bukan merupakan organisasi politik melainkan merupakan organisasi pelajar dengan pelajar STOVIA sebagai intinya. Sampai menjelang kongresnya yang pertama di Yogyakarta telah berdiri tujuh cabang Budi Utomo, yakni di Batavia, Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo. Untuk mengonsolidasi diri (dengan dihadiri 7 cabangnya), Budi Utomo mengadakan kongres yang pertama di Yogyakarta pada tanggal 3-5 Oktober 1908. Kongres memutuskan hal-hal sebagai berikut.
a.       Budi Utomo tidak ikut dalam mengadakan kegiatan politik.
b.      Kegiatan Budi Utomo terutama ditujukan pada bidang pendidikan dan kebudayaan.
c.       Ruang gerak Budi Utomo terbatas pada daerah Jawa dan Madura.
d.      Memilih R.T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar sebagai ketua.
e.       Yogyakarta ditetapkan sebagai pusat organisasi.
Sampai dengan akhir tahun 1909, telah berdiri 40 cabang Budi Utomo dengan jumlah anggota mencapai 10.000 orang. Akan tetapi, dengan adanya kongres tersebut tampaknya terjadi pergeseran pimpinan dari generasi muda ke generasi tua. Banyak anggota muda yang menyingkir dari barisan depan, dan anggota Budi Utomo kebanyakan dari golongan priayi dan pegawai negeri. Dengan demikian, sifat protonasionalisme dari para pemimpin yang tampak pada awal berdirinya Budi Utomo terdesak ke belakang. Strategi perjuangan BU pada dasarnya bersifat kooperatif.
Mulai tahun 1912 dengan tampilnya Notodirjo sebagai ketua menggantikan R.T. Notokusumo, Budi Utomo ingin mengejar ketinggalannya. Akan tetapi, hasilnya tidak begitu besar karena pada saat itu telah muncul organisasi-organisasi nasional lainnya, seperti Sarekat Islam (SI) dan Indiche Partij (IP). Namun demikian, Budi Utomo tetap mempunyai andil dan jasa yang besar dalam sejarah pergerakan nasional, yakni telah membuka jalan dan memelopori gerakan kebangsaan Indonesia. Itulah sebabnya tanggal 20 Mei ditetapkan sebagai hari Kebangkitan Nasional yang kita peringati setiap tahun hingga sekarang.
2.   Sarekat Islam (SI)
Tiga tahun setelah berdirinya Budi Utomo, yakni tahun 1911 berdirilah Sarekat Dagang Islam (SDI ) di Solo oleh H. Samanhudi, seorang pedagang batik dari Laweyan Solo. Organisasi Sarekat Dagang Islam berdasar pada dua hal berikut ini. a. Agama Islam, b. Ekonomi, yakni untuk memperkuat diri dari pedagang Cina yang berperan sebagai leveransir (seperti kain putih, malam, dan sebagainya). Atas prakarsa H.O.S. Cokroaminoto, nama Sarekat Dagang Islam kemudian diubah menjadi Sarekat Islam ( SI ), dengan tujuan untuk memperluas anggota sehingga tidak hanya terbatas pada pedagang saja. Berdasarkan Akte Notaris pada tanggal 10 September 1912, ditetapkan tujuan Sarekat Islam sebagai berikut:
a.       memajukan perdagangan;
b.      membantu para anggotanya yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha (permodalan);
c.       memajukan kepentingan rohani dan jasmani penduduk asli;
d.      memajukan kehidupan agama Islam.
Melihat tujuannya tidak tampak adanya kegiatan politik. Akan tetapi, Sarekat Islam dengan gigih selalu memperjuangkan keadilan dan kebenaran terhadap penindasan dan pemerasan oleh pemerintah kolonial. Dengan demikian, di samping tujuan ekonomi juga ditekankan adanya saling membantu di antara anggota. Itulah sebabnya dalam waktu singkat, Sarekat Islam berkembang menjadi anggota massa yang pertama di Indonesia. Sarekat Islam merupakan gerakan nasionalis, demokratis dan ekonomis, serta berasaskan Islam dengan haluan kooperatif.
Mengingat perkembangan Sarekat Islam yang begitu pesat maka timbullah kekhawatiran dari pihak Gubernur Jenderal Indenberg sehingga permohonan Sarekat Islam sebagai organisasi nasional yang berbadan hukum ditolak dan hanya diperbolehkan berdiri secara lokal. Pada tahun 1914 telah berdiri 56 Sarekat Islam lokal yang diakui sebagai badan hukum. Pada tahun 1915 berdirilah Central Sarekat Islam (CSI) yang berkedudukan di Surabaya. Tugasnya ialah membantu menuju kemajuan dan kerjasama antar Sarekat Islam lokal. Pada tanggal 17–24 Juni 1916 diadakan Kongres SI Nasional Pertama di Bandung yang dihadiri oleh 80 Sarekat Islam lokal dengan anggota 360.000 orang anggota. Dalam kongres tersebut telah disepakati istilah "nasional", dimaksudkan bahwa Sarekat Islam menghendaki persatuan dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia menjadi satu bangsa. Sifat Sarekat Islam yang demokratis dan berani serta berjuang terhadap kapitalisme untuk kepentingan rakyat kecil sangat menarik perhatian kaum sosialis kiri yang tergabung dalam Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV) pimpinan Sneevliet (Belanda), Semaun, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin (Indonesia). Itulah sebabnya dalam perkembangannya Sarekat Islam pecah menjadi dua kelompok berikut ini.
a.       Kelompok nasionalis religius ( nasionalis keagamaan) yang dikenal dengan Sarekat Islam Putih dengan asas perjuangan Islam di bawah pimpinan H.O.S. Cokroaminoto.
b.      Kelompok ekonomi dogmatis yang dikenal dengan nama Sarekat Islam Merah dengan haluan sosialis kiri di bawah pimpinan Semaun dan Darsono.
3.    Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Asas perjuangannya ialah Islam dan kebangsaan Indonesia, sifatnya nonpolitik. Muhammadiyah bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, dan sosial menuju kepada tercapainya kebahagiaan lahir batin. Tujuan Muhammadiyah ialah sebagai berikut.
a.       memajukan pendidikan dan pengajaran berdasarkan agama Islam;
b.      mengembangkan pengetahuan ilmu agama dan cara-cara hidup menurut agama Islam.
Untuk mencapai tujuan tersebut, usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
a.       mendirikan sekolah-sekolah yang berdasarkan agama Islam ( dari TK sampai dengan perguruan tinggi);
b.      mendirikan poliklinik-poliklinik, rumah sakit, rumah yatim, dan masjid;
c.       menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan.
Muhammadiyah berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis. Itulah sebabnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran agama Islam secara modern dan memperteguh keyakinan tentang agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenarnya. Kegiatan Muhammadiyah juga telah memperhatikan pendidikan wanita yang dinamakan Aisyiah, sedangkan untuk kepanduan disebut Hizbut Wathon ( HW ). 
Sejak berdiri di Yogyakarta (1912) Muhammadiyah terus mengalami perkembangan yang pesat. Sampai tahun 1913, Muhammadiyah telah memiliki 267 cabang yang tersebar di Pulau Jawa. Pada tahun 1935, Muhammadiyah sudah mempunyai 710 cabang yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi.
4.    Indische Partij (IP)
Indische Partij (IP) didirikan di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912 oleh Tiga Serangkai, yakni Douwes Dekker (Setyabudi Danudirjo), dr. Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Organisasi ini mempunyai cita-cita untuk menyatukan semua golongan yang ada di Indonesia, baik golongan Indonesia asli maupun golongan Indo, Cina, Arab, dan sebagainya. Mereka akan dipadukan dalam kesatuan bangsa dengan membutuhkan semangat nasionalisme Indonesia. Cita-cita Indische Partij banyak disebar-luaskan melalui surat kabar De Expres.  Di samping itu juga disusun program kerja sebagai berikut:
a.       meresapkan cita-cita nasional Hindia (Indonesia).
b.      memberantas kesombongan sosial dalam pergaulan, baik di bidang pemerintahan, maupun kemasyarakatan.
c.       memberantas usaha-usaha yang membangkitkan kebencian antara agama yang satu dengan yang lain.
d.      memperbesar pengaruh pro-Hindia di lapangan pemerintahan.
e.       berusaha untuk mendapatkan persamaan hak bagi semua orang Hindia.
f.       dalam hal pengajaran, kegunaannya harus ditujukan untuk kepentingan ekonomi Hindia dan memperkuat mereka yang ekonominya lemah.
Melihat tujuan dan cara-cara mencapai tujuan seperti tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa Indische Partij berdiri di atas nasionalisme yang luas menuju Indonesia merdeka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Indische Partij merupakan partai politik pertama di Indonesia dengan haluan kooperasi. Dalam waktu yang singkat telah mempunyai 30 cabang dengan anggota lebih kurang 7.000 orang yang kebanyakan orang Indo. Oleh karena sifatnya yang progresif menyatakan diri sebagai partai politik dengan tujuan yang tegas, yakni Indonesia merdeka sehingga pemerintah menolak untuk memberikan badan hukum dengan alasan Indische Partij bersifat politik dan hendak mengancam ketertiban umum. Walaupun demikian, para pemimpin Indische Partij masih terus mengadakan propaganda untuk menyebarkan gagasan-gagasannya.
Satu hal yang sangat menusuk perasaan pemerintah Hindia Belanda adalah tulisan Suwardi Suryaningrat (Douwes Dekker) yang berjudul Als ik een Nederlander was (seandainya saya seorang Belanda) yang isinya berupa sindiran terhadap ketidakadilan di daerah jajahan. Oleh karena kegiatannya sangat mencemaskan pemerintah Belanda maka pada bulan Agustus 1913 ketiga pemimpin Indische Partij dijatuhi hukuman pengasingan dan mereka memilih Negeri Belanda sebagai tempat pengasingannya.
Dengan diasingkannya ketiga pemimpin Indische Partij maka kegiatan Indische Partij makin menurun. Selanjutnya, Indische Partij berganti nama menjadi Partai Insulinde dan pada tahun 1919 berubah lagi menjadi National Indische Partij (NIP). National Indische Partij tidak pernah mempunyai pengaruh yang besar di kalangan rakyat dan akhirnya hanya merupakan perkumpulan orang-orang terpelajar.

5.    Gerakan Pemuda
Gerakan pemuda Indonesia, sebenarnya telah dimulai sejak berdirinya Budi Utomo, namun sejak kongresnya yang pertama perannya telah diambil oleh golongan tua (kaum priayi dan pegawai negeri) sehingga para pemuda kecewa dan keluar dari organisasi tersebut. Baru beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Maret 1915 di Batavia berdiri Trikoro Dharmo oleh R. Satiman Wiryosanjoyo, Kadarman, dan Sunardi. Trikoro Dharmo yang diketui oleh R. Satiman Wiryosanjoyo merupakan organisasi pemuda yang pertama yang anggotanya terdiri atas para siswa sekolah menengah berasal dari Jawa dan Madura. Trikoro Dharmo, artinya tiga tujuan mulia, yakni sakti, budi, dan bakti. Tujuan perkumpulan ini adalah sebagai berikut:
a.       mempererat tali persaudaraan antar siswa-siswi bumi putra pada sekolah menengah dan perguruan kejuruan;
b.      menambah pengetahuan umum bagi para anggotanya;
c.       membangkitkan dan mempertajam peranan untuk segala bahasa dan budaya.
Tujuan tersebut sebenarnya baru merupakan tujuan perantara. Adapun tujuan yang sebenarnya adalah seperti apa yang termuat dalam majalah Trikoro Dharmo yakni mencapai Jawa raya dengan jalan memperkokoh rasa persatuan antara pemuda-pemuda Jawa, Sunda, Madura, Bali, dan Lombok. Oleh karena sifatnya yang masih Jawa sentris maka para pemuda di luar Jawa (tidak berbudaya Jawa) kurang senang.
Untuk menghindari perpecahan, pada kongresnya di Solo pada tanggal 12 Juni 1918 namanya diubah menjadi Jong Java (Pemuda Jawa). Sesuai dengan anggaran dasarnya, Jong Java ini bertujuan untuk mendidik para anggotanya supaya kelak dapat menyumbangkan tenaganya untuk membangun Jawa raya dengan jalan mempererat persatuan, menambah pengetahuan, dan rasa cinta pada budaya sendiri.
Sejalan dengan munculnya Jong Java, pemuda-pemuda di daerah lain juga membentuk organisasi-organisasi, seperti Jong Sumatra Bond, Pasundan, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Selebes, Jong Batak, Pemuda Kaum Betawi, Sekar Rukun, Timorees Verbond, dan lain-lain. Pada dasarnya semua organisasi itu masih bersifat kedaerahan, tetapi semuanya mempunyai cita-cita ke arah kemajuan Indonesia, khususnya memajukan budaya dan daerah masing-masing.
6.   Gerakan Wanita
Munculnya gerakan wanita di Indonesia, khusunya di Jawa dirintis oleh R.A. Kartini yang kemudian dikenal sebagai pelopor pergerakan wanita Indonesia. R.A. Kartini bercita-cita untuk mengangkat derajat kaum wanita Indonesia melalui pendidikan. Cita-citanya tersebut tertulis dalam surat-suratnya yang kemudian berhasil dihimpun dalam sebuah buku yang diterjemahkan dalam judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Cita-cita R.A. Kartini ini mempunyai persamaan dengan Raden Dewi Sartika yang berjuang di Bandung. Semasa Pergerakan Nasional maka muncul gerakan wanita yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial budaya. Organisasi-organisasi yang ada, antara lain sebagai berikut.
a.       Putri Mardika di Batavia (1912) dengan tujuan membantu keuangan bagi wanita-wanita yang akan melanjutkan sekolahnya. Tokohnya, antara lain R.A. Saburudin, R.K. Rukmini, dan R.A. Sutinah Joyopranata.
b.      Kartinifounds, yang didirikan oleh suami istri T.Ch. van Deventer (1912) dengan membentuk sekolah-sekolah Kartinibagi kaum wanita, seperti di  Semarang, Batavia, Malang, dan Madiun.
c.       Kerajinan Amal Setia, di Koto Gadang Sumatra Barat oleh Rohana Kudus (1914).  Tujuannya meningkatkan derajat kaum wanita dengan cara memberi pelajaran membaca, menulis, berhitung, mengatur rumah tangga, membuat kerajinan, dan cara pemasarannya.
d.      Aisyiah, merupakan organisasi wanita Muhammadiyah yang didirikan oleh Ny. Hj. Siti Walidah Ahmad Dahlan (1917). Tujuannya untuk memajukan pendidikan dan keagamaan kaum wanita.
e.       Organisasi Kewanitaan lain yang berdiri cukup banyak, misalnya Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Wanito Susilo di Pemalang (1918), Wanito Rukun Santoso di Malang, Budi Wanito di Solo, Putri Budi Sejati di Surabaya (1919), Wanito Mulyo di Yogyakarta (1920), Wanito Utomo dan Wanito Katolik di Yogyakarta (1921), dan Wanito Taman Siswa (1922).
Organisasi wanita juga muncul di Sulawesi Selatan dengan nama Gorontalosche Mohammadaanche Vrouwenvereeniging. Di Ambon dikenal dengan nama Ina Tani yang lebih condong ke politik. Sejalan dengan berdirinya organisasi wanita, muncul juga surat kabar wanita yang bertujuan untuk menyebarluaskan gagasan dan pengetahuan kewanitaan. Surat kabar milik organisasi wanita, antara lain Putri Hindia di Bandung, Wanito Sworo di Brebes, Sunting Melayu di Bukittinggi, Esteri Utomo di Semarang, Suara Perempuan di Padang, Perempunan Bergolak di Medan, dan Putri Mardika di Batavia.
Puncak gerakan wanita, yaitu dengan diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22–25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres menghasilkan bentuk perhimpunan wanita berskala nasional dan berwawasan kebangsaan, yakni Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Dalam Kongres Wanita II di Batavia pada tanggal 28–31 Desember 1929 PPI diubah menjadi Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia (PPII). Kongres Wanita I merupakan awal dari bangkitnya kesadaran nasional di kalangan wanita Indonesia sehingga tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai hari Ibu.
7.      Perhimpunan Indonesia
Perhimpunan Indonesia (PI) berdiri pada tahun 1908 oleh orang-orang Indonesia yang berada di negeri Belanda, diantaranya R.P Sosrokartono, R. Hoesein Djajadinigrat. R.N Notosuroto, Notodiningrat, Sutan Kasayangan Saripada, Sumitro Kolopaking, dan Apituley. Pada mulanya perhimpunan Indonesia bernama Indische Vereenigng. Kegiatannya  pada mulanya hanya terbatas pada penyelenggaraan pertemuan sosial dengan para anggota ditambah dengan sesekali mengadakan pertemuan dengan orang-orang belanda yang banyak memerhatikan masalah Indonesia, antara lain Mr. Abenendanon, Mr. Van Deventer, dan Dr. Snouck Hurgronye. Organisasi ini bertujuan untuk memajukan kepentingan-kepentingan bersama dari orang-orang yang berasal dari Indonesia, maksudnya orang-orang pribumi dan non-pribumi bukan Eropa, di negeri Belanda dan hubungan dengan orang Indonesia.
Pada tahun 1922, De Indische Vreeniging diterjemahkan menjadi Perhimpunan Indonesia (PI), dan dari awal 1973 mempunyai pengurus baru dengan ketuanya R.Iwa Koesoema Soemantri, Sekretarisnya J.sitanala, bendaharanya Muhammad Hatta, komisarisnya Sastro Moeljono, dan archivarisnya Moenkoesoemo. Organisasi ini semakin tegas bergerak memasuki bidang politik perubahan ini juga didorong oleh bangkitnya seluruh bangsa-bangsa terjajah Asia dan Afrika untuk menuntut kemerdekaan.
Semenjak tahun 1923 PI aktif berjuang bahkan memolopori dari jauh perjuangan kemerdekaan untuk seluruh rakyat Indonesia dengan berjiwa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang murni dan kompak. Berdasarkan perubahan ini, PI keluar dari Indonesich Verbond Van Studeerenden (suatu perkumpulan yang bertujuan menggabungkan organisasi-organisasi mahasiswa Indonesia, Belanda,dan peranakan Cina yang berorientasi ke Indonesia dalam suatu kerja sama pada tahun 1923 karna dianggap tidak perlu lagi.
Didalam tiga abad penjajahan akhirnya menimbulkan sikap yang mestinya ditunjukkan kepada penajajah yang menunjukkan sikap perlawanan, tidak mau berkompromi meliputi karangan dalam majalah Indonesia. Mereka terbitan dalam tahun-tahun berikut dan dalam pernyataan dasar-dasar PI.
Masalah-masalah yang diinventasikan saat itu antara lain :
1.               Hanyalah Indonesia yang bersatu serta mengenyampingkan perbedaan-perbedaan yang mampu mematahakan kekuatan penguasa yang menjajah. Tujuan bersama, ialah pembebasan Indonesia berdasarkan pada kesadaran dan bertumpu pada kekuatan aksi masa nasionalistis,
2.               Dalam setiap masalah tata negara kolonial yang mendominasai ialah perlawanan kepentingan antara penjajah
3.               Keikutsertaan semua lapisan masyarakat dalam memeperjuangkan pembebasan yang mendominasi dalam perjuangan itu ialah berlawannya kepentingan yang menjajah dan yang dijajah.
Kecendrungan dalam perjuangan ialah bagaimana menyembunyikan dan menutupi siasat kaum penjajah. Poitik Kolonnial itu merusak dan mendemoralisasi kehidupan psiki dan fisis, maka perlu di usahakan normalisasi relasi-relasi dalam kehidupan masyarakat kolonial itu.
Berdasarkan pernayatan itu muncul pernyatan dasar-dasar PI yang tertera dalam  Hindia Poetra edisi Maret 1923 berbunyi sebagai berikut :
1.               Masa depan bangsa Indonesia hanya semata-mata yang dalam pembentukan struktur pemerintah sendiri dapat di pertanggungjawabkan oleh bangsa Indonesia
2.               Untuk mencapai itu setiap orang menurut kemampuan serta menurut kekuatan serta kecakapannya di usahakan tanpa bantuan pihak manapun
3.               untuk mencapai tujuan bersama itu semua unsur atau lapisan rakya perlu kerja sama serat-ertanay.
Perlu dicatat disini bahwa dalam Dekalrasi itu sangat ditentukan pokok-pokok antara lain: ide kesatuan atau ideologi kesatuan dan prinsip demokrasi sebagai tindak lanjut proklamasi dasar-dasar PI disusun rencana kerja sebagai berikut :
1.            Melancarkan propaganda secara intensi dasar-dasar tersebut, terutama Indonesia
2.            Menarik perhaian dunia internasional terhadap permasalahan Indonesia, dan
3.            Meningktakan perhatian para anggota terhadap persoalan Internasional.
Dalam pada itu para anggota PI yang menyatakan diri mereka selaku penggerak revulisioner nasionalistis telah merinci garis-garis arahan dan demikian mendapat simpati dari kawan-kawan setanah air serta membangkitkan semangat revulisioner-nasionalistis di Indoneisa.
Meningkatnya aktivitas kearah politik terutama sejak datangnya dua orang Mahasiswa ke negeri Belanda, yaitu A. Subardjo tahun 1919 dan Mohammad Hatta tahun 1921, dan keduanaya kemudian pernah mengetahuai PI. Dengan bertambah banyaknya mahasiswa Indonesia yang belajar di negri Belanda berubah pula kekuatan PI. Pada permulaan trahun 1925, dibuatlah suatu anggarn dasar baru yang merupakan penegasan yang lebih luas lagi dari perjuangan PI. Di dalamnya disebutkan bahwa kemerdekaan penuh bagi Indonesia  hanya akan di peroleh dengan aksi bersma yang dilakukan serentak oleh seluruh kaum nasionalis dan berdasarkan atas kekuatan sendiri. Untuk itu, sangat diperlukan kekompakan rakyat seluruhnya. Di dalam segala penjajahan kolonial, kepentingan antara pihak yang menjajah dengan pihak yang dijajah yang memang sangat bertentangan menjadi masalah penting. Penjajahan itu memang membawa pengaruh yang merusak jasmani dan rohani orang Indonesia dan merusak kehidupan lahir dan batin.
Sementara itu, kegiatannya meningkat menjadi nasional-demokratis, non-kooperasi, dan meninggalkan sikap kerjasama dengan kaum penjajah bahkan menjadi internasioanal dan anti kolonial. Di bidang Internasional ini PI bertemu dan bekerjasama dengan perkumpulan-perkumpulan dan tokoh-tokoh pemuda serta mahasiswa yang berasal dari negeri-negeri jajahan di Asia dan Afrika yang mempunyai cita-cita yang sama dengan Inonesia.PI memang berusaha supaya masalah Indonesia mendapatkan perhatian dalam dunia Internasional. Hubungan dengan beberapa organisasi Internasional diadakan seperti liga penentang imperialisme dan penindasan kolonial dan komintern dalam kongres ke 6 liga demogratie Internasional untuk pendamaian pada bulan agustus 1926 di Paris (Prancis) Moh. Hatta dengan tegas menyatakan tuntutan untuk kemerdekaan Indonesia.
Kejadian ini menyebabkan pemerintah belanda bertambah curiga pada PI. Kecurigaan ini bertambah lagi saat Moh.Hatta atas nama PI menandatangani suatu perjanjian (rahasia) dengan (Semaun) (PKI) pada tanggal 5 desember 1926 yang isinya menyatakan bahwa PKI mengakui kepemimpinan PI dan akan dikembangkan menjadi partai rakyat kebangsaan Indonesia selama PI secara konsekuen tetap menjalankan politik untuk kemerdekaan Indonesia. Perjanjian ini dinilai oleh Komintern sebagai suatu kesalahan besar dan dibatalkan kembali oleh Semeun.
Dalam kongres 1 liga pada bulan februari tahun 1927 di Berlin yang dihadiri antara lain oleh wakil-wakil pergerakan di negeri jajahan ,PI yang bertindak atas nama PPPKI di Indonesia juga mengirimkan wakil-wakilnya, Moh.Hatta, Nazir Pamoentjak, Gatot dan A.Subardjo.Kongres mengambil keputusan antara lain :
1.             Menyatakan simpati yang sebesar-besarnya kepada pergerakan kemerdekaan Indonesia dan akan menyokong usaha tersebut dengan segala daya.
2.             Menuntut dengan keras kepada pemerintah Belanda kebebasan bekerja untuk pergerakan rakyat Indonesia.
Dalam kongres ke dua di Brussel tahun 1927,PI juga ikut ,tetapi suatu liga didominasi oleh kaum kominis ,PI keluar dari liga. Kegiatan PI dikalangan internasional ini menimbulkan reaksi yang keras dari pemerintah Belanda atas tuduhan "dengan tulisan mengasut dimuka umum untuk memberontak terhadap pemerintah", maka pada tanggal 10 juni1927,4 anggota PI yaitu Moh.Hatta , Nazir Pamoentjak, Abdulmadjid Djojoadiningrat ,dan Ali Sastroamidjojo ditangkap dan ditahan sampai tanggal 8 Maret 1928. Namun, dalam pemeriksaan di sidang pengadilan di Den Haag pada tanggal 22 maret 1928, karna tidak terbukti bersalah, mereka dibebaskan.
Perhimpunan Indonesia pun berangsur-angsur berhasil mempengaruhi pergerakan Indonesia sendiri,seperti dengan seperti lahirnya partai nasional Indonesia (PNI) tahun 1927,jong Indonesie (pemuda Indonesia) tahun 1927,dan perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) tahun 1926.
Aksi para anggota PI semakin radikal. Pengawasan terhadap gerakan mahasiswa Indonesia semakin diperkuat oleh aparat kepolisisan Belanda. Namun para anggota PI tetap melakukan kegiatan politiknya, bahkan mulai menjalani hubungan dengan berbagai negara di Eropa dan Asia. Konsepsi-konsepsi PI dan berita-berita tentang berbagai kejadian di Eropa dikirim ke Indonesia melalui majalah mereka, Indonesia Merdeka. Konsepsi-konsepsi PI kelak sangat berpengaruh terhadap kaum pergerakan di Indonesia. Bahhkan di bawah kepemimpinan Muhammad Hatta, PI resmi diakui sebagai front terdepan pergerakan kebangsaan oleh PPKI yang diketahui Ir. Soekarno.
8.    Partai Komunis Indonesia. (PKI)
Benih-benih paham Marxis dibawa masuk ke Indonesia oleh seorang Belanda yang bernama H.J.F.M. Sneevliet. Atas dasar Marxisme inilah kemudian pada tanggal 9 Mei 1914 di Semarang, Sneevliet bersama-sama dengan J.A. Brandsteder, H.W. Dekker, dan P. Bersgma berhasil mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV). Ternyata ISDV tidak dapat berkembang sehingga Sneevliet melakukan infiltrasi (penyusupan) kader-kadernya ke dalam tubuh SI dengan menjadikan anggota-anggota ISDV sebagai anggota SI, dan sebaliknya anggota-anggota SI menjadi anggota ISDV.
Dengan cara itu Sneevliet dan kawan-kawannya telah mempunyai pengaruh yang kuat di kalangan SI, lebih-lebih setelah berhasil mengambil alih beberapa pemimpin SI, seperti Semaun dan Darsono. Mereka inilah yang dididik secara khusus untuk menjadi tokoh-tokoh Marxisme tulen. Akibatnya SI Cabang Semarang yang sudah berada di bawah pengaruh ISDV semakin jelas warna Marxisnya dan selanjutnya terjadilah perpecahan dalam tubuh SI.
Pada tanggal 23 Mei 1923 ISDV diubah menjadi Partai Komunis Hindia dan selanjutnya pada bulan Desember 1920 menjadi Partai Komunis Indonesia. (PKI). Susunan pengurus PKI , antara lain Semaun (ketua), Darsono (wakil ketua), Bersgma (sekretaris), dan Dekker (bendahara). PKI semakin aktif dalam percaturan politik dan untuk menarik massa maka dalam propagandanya PKI menghalalkan secara cara. Sampai-sampai tidak segan-segan untuk mempergunakan kepercayaan rakyat kepada ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadis bahkan juga Ramalan Jayabaya dan Ratu Adil. 
Kemajuan yang diperolehnya ternyata membuat PKI lupa diri sehingga merencanakan suatu petualangan politik. Pada tanggal 13 November 1926 PKI melancarkan pemberontakan di Batavia dan disusul di daerah-daerah lain, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di Sumatra Barat pemberontakan PKI dilancarkan pada tanggal 1 Januari 1927. Dalam waktu yang singkat semua pemberontakan PKI tersebut berhasil ditumpas. Akhirnya, ribuan rakyat ditangkap, dipenjara, dan dibuang ke Tanah Merah dan Digul Atas (Papua).
9.   Partai Nasional Indonesia (PNI)
Algemene Studie Club di Bandung yang didirikan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1925 telah mendorong para pemimpin lainnya untuk mendirikan partai politik, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI). PNI didirikan di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927 oleh 8 pemimpin, yakni dr. Cipto Mangunkusumo, Ir. Anwari, Mr. Sartono, Mr. Iskak, Mr. Sunaryo, Mr. Budiarto, Dr. Samsi, dan Ir. Soekarno sebagai ketuanya. Kebanyakan dari mereka adalah mantan anggota Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda yang baru kembali ke tanah air.
Radikal PNI telah kelihatan sejak awal berdirinya. Hal ini terlihat dari anggaran dasarnya bahwa tujuan PNI adalah Indonesia merdeka dengan strategi perjuangannya nonkooperasi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka PNI berasaskan pada self help, yakni prinsip menolong diri sendiri, artinya memperbaiki keadaan politik, ekonomi, dan sosial budaya yang telah rusak oleh penjajah dengan kekuatan sendiri; nonkooperatif, yakni tidak mengadakan kerja sama dengan pemerintah Belanda; Marhaenisme, yakni mengentaskan massa dari kemiskinan dan kesengsaraan. Untuk mencapai tujuan tersebut, PNI telah menetapkan program kerja sebagaimana dijelaskan dalam kongresnya yang pertama di Surabaya pada tahun 1928, seperti berikut.
a.       Usaha politik, yakni memperkuat rasa kebangsaan (nasionalisme) dan kesadaran atas persatuan bangsa Indonesia, memajukan pengetahuan sejarah kebangsaan, mempererat kerja sama dengan bangsa-bangsa Asia, dan menumpas segala rintangan bagi kemerdekaan diri dan kehidupan politik.
b.      Usaha ekonomi, yakni memajukan perdagangan pribumi, kerajinan, serta mendirikan bank-bank dan koperasi.
c.       Usaha sosial, yaitu memajukan pengajaran yang bersifat nasional, meningkatkan derajat kaum wanita, memerangi pengangguran, memajukan transmigrasi, memajukan kesehatan rakyat, antara lain dengan mendirikan poliklinik.
Untuk menyebarluaskan gagasannya, PNI melakukan propaganda-propaganda, baik lewat surat kabar, seperti Banteng Priangan di Bandung dan Persatuan Indonesia di Batavia, maupun lewat para pemimpin khususnya Ir. Soekarno sendiri. Dalam waktu singkat, PNI telah berkembang pesat sehingga menimbulkan kekhaw-tiran di pihak pemerintah Belanda. Pemerintah kemudian memberikan peringatan kepada pemimpin PNI agar menahan diri dalam ucapan, propaganda, dan tindakannya. 
Dengan munculnya isu bahwa PNI pada awal tahun 1930 akan mengadakan pemberontakan maka pada tanggal 29 Desember 1929, pemerintah Hindia Belanda mengadakan penggeledahan secara besar-besaran dan menangkap empat pemimpinnya, yaitu Ir. Soerkarno, Maskun, Gatot Mangunprojo dan Supriadinata. Mereka kemudian diajukan ke pengadilan di Bandung.
Dalam sidang pengadilan, Ir. Soerkarno mengadakan pembelaan dalam judul Indonesia Menggugat. Atas dasar tindakan melanggar Pasal "karet" 153 bis dan Pasal 169 KUHP, para pemimpin PNI dianggap mengganggu ketertiban umum dan menentang kekuasaan Belanda sehingga dijatuhi hukuman penjara di Penjara Sukamiskin Bandung. Sementara itu, pimpinan PNI untuk sementara dipegang oleh Mr. Sartono dan dengan pertimbangan demi keselamatan maka pada tahun 1931 oleh pengurus besarnya PNI dibubarkan. Hal ini menimbulkan pro dan kontra.
Mereka yang pro pembubaran, mendirikan partai baru dengan nama Partai Indonesia (Partindo) di bawah pimpinan Mr. Sartono. Kelompok yang kontra, ingin tetap melestarikan nama PNI dengan mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) di bawah pimpinan Drs. Moh. Hatta dan Sutan Syahrir.
10.  Partai Indonesia (Partindo)
(cari informasi dari buku, internet, dan/ referensi lain yang berkaitan dengan Partai Indonesia (Partindo))
11. Taman Siswa
Sekembalinya dari tanah pengasingannya di Negeri Belanda (1919), Suwardi Suryaningrat menfokuskan perjuangannya dalam bidang pendidikan. Pada tanggal 3 Juli 1922 Suwardi Suryaningrat (lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara) berhasil mendirikan perguruan Taman Siswa di Yogyakarta. Dengan berdirinya Taman Siswa, Suwardi Suryaningrat memulai gerakan baru bukan lagi dalam bidang politik melainkan bidang pendidikan, yakni mendidik angkatan muda dengan jiwa kebangsaan Indonesia berdasarkan akar budaya bangsa.
Sekolah Taman Siswa dijadikan sarana untuk menyampaikan ideologi nasionalisme kebudayaan, perkembangan politik, dan juga digunakan untuk mendidik calon-calon pemimpin bangsa yang akan datang. Dalam hal ini, sekolah merupakan wahana untuk meningkatkan derajat bangsa melalui pengajaran itu sendiri. Selain pengajaran bahasa (baik bahasa asing maupun bahasa Indonesia), pendidikan Taman Siswa juga memberikan pelajaran sejarah, seni, sastra (terutama sastra Jawa dan wayang), agama, pendidikan jasmani, dan keterampilan (pekerjaan tangan) merupakan kegiatan utama perguruan Taman Siswa.
Pendidikan Taman Siswa dilakukan dengan sistem "among" dengan pola belajar "asah, asih dan asuh". Dalam hal ini diwajibkan bagi para guru untuk bersikap dan berlaku "sebagai pemimpin" yakni di depan memberi contoh, di tengah dapat memberikan motivasi, dan di belakang dapat memberikan pengawasan yang berpengaruh. Prinsip pengajaran inilah yang kemudian dikenal dengan pola kepemimpinan "Ing ngarsa sung tulodho, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani ". Pola kepemimpinan ini sampai sekarang masih menjadi ciri kepemimpinan nasional.
Berkat jasa dan perjuangannya yakni mencerdaskan kehidupan menuju Indonesia merdeka maka tanggal 2 Mei (hari kelahiran Ki Hajar Dewantara) ditetapkant sebagai hari Pendidikan Nasional. Di samping itu, "Tut Wuri Handayani" sebagai semboyan terpatri dalam lambang Departemen Pendidikan Nasional.
12.  Partai Indonesia Raya (Parindra)
(cari informasi dari buku, internet, dan/ referensi lain yang berkaitan dengan Partai Indonesia Raya (Parindra))
13.  Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
Perkembangan dari Gerakan Nasional setelah gagalnya Petisi Sutarjo adalah dibentuknya GAPI yang merupakan organisasi hasil kerjasama dari partai-partai politik dan organisasi-organisasi yang ada di Indonesia. Sebenarnya Central Comite Petisi Sutarjo, setelah terjadi penolakan terhadap Petisi Sutarjo oleh Kerajaan Belanda pada 16 November 1938, ingin membuat suatu konferensi yang ditujukan kepada Pengurus Besar partai politik dan organisasi di Indonesia yang isinya menyesali cara-cara penolakan atas Petisi Sutarjo dan mengajak seluruh partai-partai untuk menentukan sikap atas penolakan dari Petisi Sutarjo. Sejatinya konferensi itu akan diadakan di Jakarta pada 27-29 Mei 1939, tapi akhirnya gagal karena beberapa partai politik sudah berencana melakukan hal serupa, yaitu sebuah Nationale Concrentratie yang kemudian dikenal dengan nama Gabungan Politik Indonesia atau GAPI. GAPI sendiri berdiri pada 21 Mei 1939 dalam suatu rapat pendirian konsentrasi nasional yang diadakan di Jakarta. Ada beberapa alasan mengapa dibentuknya GAPI, yaitu kegagalan dari Petisi Sutarjo, adanya masalah internasinal dengan munculnya Fasisme khususnya di Jerman, dan sikap dari pemerintah kolonial yang kurang memperhatikan rakyat Indonesia. Pembentukan federasi pada mulanya diusulkan oleh PSII pada bulan April 1938 dengan pembentukan Badan Perantara Partai Politik Indonesia (Bapepi). Oleh karena pembentukannya kurang lancar, Parindra mengambil inisiatif untuk membentuk kembali Konsentrasi Nasional. Parindra berpendapat bahwa perjuangan konsentrasi nasional haruslah memenuhi dua hal. Pertama bersifat ke dalam, yaitu dapat menyadarkan dan menggerakkan rakyat untuk memperoleh suatu pemerintah sendiri. Kedua bersifat ke luar, yaitu dapat menggugah pemerintah Belanda untuk menyadarkan cita-cita bangsa Indonesia dan kemudian memberikan perubahan-perubahan dalam pemerintahan di Indonesia. Kemudian diadakanlah pendekatan dan perundingan dengan PSII, Gerindo, PII, Pasundan, Persatuan Minagkabau, Partai Katolik. Hasil dari pendekatan dan perundingan itu adalah terbentuknya GAPI.
Dalam rapat itu juga ditegaskan anggaran dasar dalam GAPI sehingga nantinya tidak timbul kekacauan. Anggaran dasar yang penting adalah ditegaskan bahwa masing-masing partai yang tergabung dalam GAPI tetap punya kemerdekaan penuh terhadap program kerjanya, dan bilamana timbul perselisihan antara partai-partai maka GAPI akan jadi penengahnya. Dalam anggaran dasarnya juga dijelaskan dasar-dasar dari GAPI, yaitu hak untuk menentukan diri sendiri; persatuan dari seluruh bangsa Indonesia yang berdasarkan pada kerakyatan dalam paham politik, ekonomi, dan sosial; dan persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia. Sementara itu, GAPI dipimpin oleh Muhammad Husni Thamrin, Mr. Amir Syariffudin, dan Abikusno Tjokrosuyoso.
GAPI pertama kali mengadakan konferensi pada 4 Juli 1939, dimana isinya membicarakan aksi GAPI yang bersemboyan “Indonesia Berparlemen.” Aksi pertama GAPI ini bertujuan membentuk suatu parlemen yang berdasarkan pada sendi-sendi demokrasi. Untuk mencapai tujuan dari aksi tersebut dan seiring dengan gentingnya situasi Eropa pada saat itu, maka pada 20 September 1939 GAPI mengeluarkan pernyataan yang dikenal sebagai Manifest GAPI. Isi dari pernyataan itu adalah mengajak rakyat Indonesia dan Belanda untuk bekerjasama menghadapi bahaya Fasisme, dimana kerjasama itu akan lebih berhasil bila rakyat Indonesia diberikan hak-hak baru dalam urusan pemerintahan. Cara dari kerjasama itu adalah membentuk suatu pemerintahan dengan parlemen yang dipilih dari dan oleh rakyat, dimana pemerintahan tersebut bertanggung jawab kepada parlemen.
Untuk mendukung aksinya dan mendapat dukungan, GAPI mengadakan beberapa kegiatan. GAPI mengadakan rapat-rapat umum yang puncaknya terjadi pada 12 Desember 1939, yaitu dimana tidak kurang 100 tempat di Indonesia mengadakan rapat mempropagandakan tujuan GAPI. Aksi dari GAPI ini mendapat reaksi positif dari pers, dimana mereka memberitakan secara panjang lebar tentang GAPI dan sikap beberapa negara Asia dalam menghadapi bahaya Fasisme.
GAPI juga membentuk Kongres Rakyat Indonesia atau KRI dan selanjutnya Comite Parlemen Inonesia. KRI diresmikan pada 25 Desember 1939 di Jakarta dalam Kongres Rakyat Indonesia pertama. Tujuan dari KRI adalah Indonesia Raya yang bertemakan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dan kesempurnaan cita-citanya, dengan sasaran pertamanya adalah Indonesia berparlemen penuh. KRI juga menghasilkan beberapa keputusan penting, yaitu penetapan Bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu persatuan Indonesia, serta peningkatan pemakaian bahasa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat. Comite Parlemen Indonesia sendiri dibentuk dengan maksud untuk lebih meningkatkan aksi-aksi GAPI, dimana panitia-panitia di daerah dianjrkan mengadakan kursus-kursus dan rapat-rapat tertutup untuk meyakinkan rakyat akan kewajibannya bersama-sama mewujudkan cita-cita bangsa.
Tuntutan dari GAPI sendiri mendapat respon dari pemerintah Belanda. Tuntutan GAPI sendiri sempat dibicarakan dalam Tweede Kamer, yaitu pembahasan anggaran belanja Hindia, pada 26 Februari sampai 6 Maret 1940 dan hanya mendapat dukungan dari Social Demokratische Arbeiders Partij (SDAP) serta penolakan dari partai-partai lain. Pers di Belanda juga umumnya menolak dengan alsan belum waktunya. Hal yang baik adalah partai-partai dan pers di Belanda berpendapat bahwa perlu diadakan perubahan-perubahan di dalam pemerintahan di Indonesia mengngat keadaan Internasional yang memburuk.
Pada bulan Agustus 1940, ketika negeri Belanda telah dikuasai oleh Jerman dan Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat perang. GAPI kembali mengeluarkan resolusi yang menuntut diadakannya perubahan ketatanegaraan di Indonesia dengan menggunakan hokum tatanegara dalam masa genting (nood staatsrecht). Isi resolusi yaitu mengganti Volksraad dengan parlemen sejati yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat, merubah fungsi kepala-kepala departemen (departemenshoofden) menjadi menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen tersebut. Resolusi ini dikirimkan kepada Gubernur Jenderal, Volksraad, Ratu Wilhelmina dan kabinet Belanda di London.
Menghadapi tuntutan itu, atas persetujuan pemerintah dibentuklah Commisie tot bestudeering van staatsrechtelijke hervorminogen atau komisi untuk menyelidiki dan mempelajari perubahan-perubahan ketatanegaraan. Komisi yang dikenal sebagai Komisi Visman ini dibentuk pada 14 September 1940. Komisi ini sendiri bertugas untuk mengumpulkan bahan-bahan apa yang menjadi keinginan dari Indonesia.
Pembentukan Komisi Visman ini sendiri tidak begitu disetujui oleh kaum pergerakan. Mereka melihat pengalaman pada tahun 1918, dimana pernah dibentuk komisi serupa yang tidak menghasilkan apa-apa bagi rakyat Indonesia. GAPI sendiri mengumumkan bahwa anggota-anggota GAPI untuk tidak dibenarkan memberikan pendapat sendiri-sendiri kepada Komisi Visman. Hal ini bertujuan untuk menghindari ketidaksatuan pendapat dalam menghadapi Komisi Visman. Belakangan, sikap GAPI melunak setelah mendapat undangan resmi dari Komisi Visman. Sementara, beberapa anggota Volksraad mengajukan mosi yang lebih ringan, yaitu mengadakan kerjasama antara pemimpin Indonesia dan Belanda.
GAPI berusaha agar tuntutannya didengar. Wakil-wakil GAPI dan Komisi Visman sempat mengadakan pertemuan di gedung Raad van Indie pada 14 Februari 1941. Tujuan awal dari pertemuan itu awalnya adalah menyampaikan tuntutan GAPI, tapi ternyata pertemuan ini tiedak menghasilkan sesuatupun, malah pertemuannya sendiri yang ramai dibicarakan kalangan pergerakan sehingga muncul anggapan GAPI tidak lagi radikal. Keinginan GAPI agar tuntutannya didengar sempat mendapat harapan saat menteri jajahan Welter dan van Kleffens datang berkunjung ke Indonesia pada April 1941. Kunjungan itu berubah menjadi sebuah kekecewaan karena Welter tidak memberikan solusi ke arah perubahan ketatanegaraan.
Harapan bagi GAPI benar-benar hilang saat Ratu Wilhelmina mengadakan pidato di London dan pidato dari Gubernur Jenderal di Volksraad mengenai masa depan Indonesia. Situasi internasional yang memburuk akibat Perang Dunia II juga membuat pemerintah kolonial memperketat izin mengadakan rapat-rapat. Setelah itu rakyat Indonesia diberikan peraturan wajib bela atau inheemse militia.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
 "Mempelajari Sejarah itu Penting. Membuat Sejarah itu Lebih Penting. Kami Hadir untuk Membuat Sejarah!"
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------