Penyusun
IMAM SYAMSUL
HUDA S.Pd
SMA SANTU
PETRUS
PONTIANAK
KALIMANTAN
BARAT
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
KD.I ISLAMISASI DI INDONESIA
A.
Teori Masuknya Islam
1.
Islam datang dari Gujarat ( Teori
Gujarat )
Pendapat ini dikemukakakan oleh Soetjipto
Wirjosoeparto dan Christian Snouck
Hurgronje dari Belanda WF Stutterheim dan Bernard H.M Vlekke. Ia
berpendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara bukan dari Arab. Melainkan dari
Gujarat/India pada abad ke 13. Dasar teori ini adalah:
a.
Hubungan dagang Indonesia dengan
India telah terjalin lama melalui jalur Indonesia-Cambay-Timur Tengah- Eropa
b. Kurangnya
fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
c. Adanya batu
nisan Raja Samudera
Pasai, Sultan Malik Al Saleh 1297 yang bercorak khas Gujarat
Pendapat tersebut didasarkan pula kepada unsur-unsur
Islam di Nusantara yang menunjukkan persamaannya dengan India.
2. Islam
datang dari Arab ( Teori Mekah )
Teori ini merupakan teori baru yang
muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Dasar teori ini adalah :
a. Pada abad ke-7 yaitu tahun 674 M
dipantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab) dengan
pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga
sesuai dengan berita Cina.
b. Kerajaan Samudra Pasai menganut
aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah
Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
c. Raja-raja samudra Pasai menggunakan
gelar Al-Malik yaitu gelar
tersebut berasal dari Mekah dan Mesir. Pendukung teori Mekah ini adalah Buya Hamka, Alwi Shihab, Ahmad Mansur
Suryanegara, Fazlur Rahman, Crawford, Niemann, De Holander. Para ahli
yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad ke-13 sudah berdiri kekuasaan
politik Islam, jadi masuknya Agama Islam ke Nusantara terjadi sebelumnya yaitu
abad ke-7 M dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa
Arab sendiri.
3. Islam datang
dari Persia (Teori Persia)
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk
ke Nusantara abad ke-13 M dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Teori ini
mengungkapkan adanya kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok
masyarakat Islam Nusantara dengan penduduk Persia. Dasar teori ini antara lain:
a. peringatan hari Asyura (10 Muharam) atas meninggalnya
Hasan dan Husen cucu Nabi Muhammad, yang sangat dijunjung oleh orang
Syi’ah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di Pulau
Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
b. penggunaan
istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda-tanda bunyi
harakat. Baris
atas disebut Jabar, bawah disebut Ajer, dan depan disebut Pes,
sedang dalam bahasa Arab ejaan itu disebut Fathah, Kasrah dan Dhommah.
Didalam tulisan Arab, Sin bergigi sedangkan dalam tulisan Persia tidak
bergigi
c. adanya perkampungan Islam Leran/Leren di Giri, Gresik. Oemar Amir
Hoesin
mengatakan bahwa di Persia terdapat suku bangsa ”Leren”. Beliau inilah
yang dahulu datang ke tanah Jawa sebab di Giri terdapat Kampung Leran, dan
nisan Maulana Malik Ibrahim (1419) di Gresik
B. Proses penyebaran Islam di Nusantara
Proses
persebaran pengaruh Islam di Nusantara berjalan dengan lancar. Hal itu terbukti
dari wilayah persebaran yang luas, mencakup hampir seluruh kepulauan Nusantara.
Penyebabnya
antara lain sebagai tersebut :
a. Agama Islam yang menyebar di Nusantara disesuaikan dengan
adat dan tradisi bangsa Indonesia
b. penyebarannya dilakukan dengan damai tanpa kekerasan.
c. Agama Islam tidak mengenal sistem kasta dan menganggap
semua manusia mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah.
d. Upacara-upacara dalam Agama Islam sangat sederhana.
e. Faktor politik ikut memperlancar penyebaran Agama Islam
di Nusantara, yaitu keruntuhan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai kerajaan
besar Budha
dan Hindu di Nusantara.
f. Syarat-syarat masuk agama Islam sangat mudah. Seseorang
telah dianggap telah masuk Islam bila ia telah mengucapkan dua kalimat syahadat
g. Islam mengajarkan kesejahteraan
Dari
faktor penyebab tersebut diatas agama Islam dapat diterima oleh bangsa
Indonesia tidak terlepas dari:
1. Peranan para pedagang.
2. Peranan para ulama/Wali
1.
Peranan Pedagang
Awal penyebaran Agama
Islam di Nusantara tidak lepas dari peran para pedagang. Para pedagang yang
berdatangan di Nusantara berperan sebagai pedagang dan ulama (orang yang
memahami ajaran Islam) Oleh karena itu, selain menjalankan profesi berdagang
mereka juga menyebarkan Agama Islam. Mereka amat giat memperkenalkan
nilai-nilai Islam ke seluruh penduduk. Para pedagang Gujarat, Arab, dan Persia
yang datang ke Nusantara berupaya mencari simpati dari masyarakat setempat.
Melalui hubungan yang saling terbuka diantara raja, bangsawan, pedagang dan
masyarakat setempat maka terjadilah perubahan sosial baik secara vertikal maupun
horizontal.
Perubahan sosial secara
vertikal ditandai dengan banyaknya pedagang Islam yang memperoleh keuntungan
dari kegiatan dagangnya. Para pedagang tersebut memiliki kekayaan yang cukup
banyak sehingga mampu meningkatkan status sosialnya. Menurut perjalanan Tome
Pires yang mengunjungi pelabuhan Tuban dan Gresik pada tahun 1514
terdapat pedagang Islam yang kaya dan penguasa-penguasa di pelabuhan. Oleh
karena itu para pedagang di pelabuhan Tuban dan Gresik memiliki otonomi yang
kuat dan disegani oleh penguasa Majapahit. Islam dan dagang merupakan dua hal yang tidak dipisahkan
pada zaman ramainya perdagangan di perairan Nusantara abad ke-12 – ke-17.
2.
Peranan Ulama/Wali
Selain
para pedagang peran ulama dan Wali sangat besar dalam percepatan proses penyebaran
Islam. Mereka menyebarkan agama Islam melalui langgar, surau/madrasah. Madrasah
yang tersohor pada waktu itu seperti di Ampel, Giri, Tuban, Kudus dan Demak.
Para ulama yang sangat berjasa dalam penyebaran agama Islam di Jawa adalah Wali
Sanga atau Wali Sembilan. Wali adalah seorang Islam yang tinggi budi
pekertinya dan tinggi dalam ilmu agamanya. Disamping mempunyai peranan yang
sangat besar dalam penyebaran agama Islam di Jawa. Wali Sanga juga berperan sebagai penasihat raja dan pendukung
raja-raja Islam yang berkuasa, bahkan ada yang menjadi raja, seperti Sunan
Gunung Jati.
Para wali / ulama yang dikenal dengan sebutan walisongo di
Pulau Jawa terdiri dari :
a. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim, dikenal dengan nama Syeikh Maghribi menyebarkan Islam di
Jawa Timur.
b. Sunan Ampel, dengan nama asli Raden Rahmat
menyebarkan Islam di daerah Ampel Surabaya.
c. Sunan Bonang, adalah putra Sunan Ampel memiliki
nama asli Maulana Makdum Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).
d. Sunan Drajat, juga putra dari Sunan Ampel nama
aslinya adalah Syarifuddin, menyebarkan Islam di daerah Lamongan.
e. Sunan Giri, nama aslinya Raden Paku menyebarkan
Islam di daerah Bukit Giri (Gresik).
f. Sunan Kudus, nama aslinya Syeikh Ja’far Shodiq
menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus.
g. Sunan Kalijaga, nama aslinya Raden Mas Syahid atau
R. Setya menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak.
h. Sunan Muria, adalah putra Sunan Kalijaga nama
aslinya Raden Umar Syaid menyebarkan Islam di daerah Gunung Muria.
i.
Sunan Gunung Jati, nama aslinya Syarif Hidayatullah,
menyebarkan Islam di Jawa Barat (Cirebon).
Sembilan wali yang sangat terkenal di pulau Jawa, Masyarakat
Jawa sebagian memandang para wali memiliki kesempurnaan hidup dan selalu dekat
dengan Allah, sehingga dikenal dengan sebutan Waliullah yang artinya orang yang dikasihi Allah.
Islam selain
berkembang pesat di Pulau Jawa juga berkembang di pulau lainnya di Indonesia.
Dakwah Islam itu juga dilakukan oleh beberapa ulama besar, seperti; Datori
Bandang (Gowa, Makassar), Dato Sulaiman (Sulawesi Tengah dan Utara),
Tuan Tunggang ri Parangan (Kalimantan Timur) dan Penghulu Demak
(Banjarmasin dan Kalimantan Selatan).
C. Saluran penyebaran agama Islam di Nusantara
1. Perdagangan
Dalam hal ini penyebaran ajaran
agama Islam dilakukan oleh pedagang Islam kepada pedagang-pedagang lain. Pada
waktu berdagang saudagar-saudagar dari Gujarat, Persia dan Arab berhubungan
atau bergaul dengan penduduk setempat (Indonesia). Mereka berhasil mmpengaruhi
penduduk setempat hingga tertarik untuk mengant agama Islam.
2.
Perkawinan
Seorang penganut Islam menikah
dengan sorang penganut agama lain,
sehingga pasangannya masuk Islam. Contoh: pedagang Islam dari Gujarat, Persia
dan Arab menetap di Indonesia dan menikahi wanita Indonesia. Di antara wanita
yang mereka nikahi adalah putri raja dan bangsawan. Berkat perkawinan itu, agama Islam menjadi
cepat berkembang. Keturunan-keturunan mereka pasti memeluk agama Islam. Sesudah
raja-rajanya memeluk Islam, sudah
tentu rakyatnya dengan dapat terpengaruh, sehingga mereka memeluk agama Islam.
3.
Pendidikan
Pendidikan agama Islam
dilakukan melalui lembaga pesantren (pondok pesantren), perguruan khusus agama
Islam. Penybaran agama Islam melalui pondok pesantren berarti penyebaran
melalui perguruan Islam. Perguruan ini mendidik para santri dari berbagai
daerah , setelah
tamat mereka mendirikan lembaga atau pondok pesantren didaerah asal mereka.
Dengan demikian, agama Islam berkembang dan menyebar keseluruh Indonesia.
Sebelum menjadi lembaga
pendidikan resmi pada tahun 1800-an, pesantren berawal dari kegiatan guru agama
di masjid atau istana, yang mngajarkan tasawuf di pertapaan atau dekat makam
keramat, pada abad XVI dan XVII, sebuah sumber sejarah tradisional yaitu Srat
Centhini menyebutkan bahwa cikal bakal pesantren terdapat di Karang, Banten.
Pesantren Karang ini berdiri sekitar tahu 1520-an.
4. Dakwah
Penyebaran agama Islam juga banyak
dilakukan oleh para guru dakwah (mubalig). Contoh : penyebaran agama
islam di Pulau Jawa dilakukan oleh para wali, yang kemudian terkenal dengan
sebutan Wali Sanga atau Wali Songo.
5. Tasawuf
Tasawuf adalah ajaran ketuhanan yang telah bercampur
dengan mistik atau hal-hal yang bersifat magis. Ahli-ahli Tasawuf biasanya
memiliki kekuatan magis dan keahlian dalam bidang pengobatan. Kata "tasawuf" sendiri biasanya
berasal di kata "sufi" yang berarti Kain Wol yang terbuat dari bulu
Domba. Ajaran Tasawuf ini masuk ke indonesia sekitar Abad ke-13, tetapi baru
berkembang Pesat sekitar Abad ke-17.
6. Kesenian
Agama Islam juga di sebarkan melalui
Kesenian. Beberapa bentuknya telah di sebutkan, seperti wayang (oleh Sunan
Kalijaga), Gamelan (oleh sunan Drajad) serta Ganding (lagu-lagu) yang berisi
Syair-sayair nasehat dan Dasar - dasar Islam. Kesenian yang telah berkembang
sebelumnya tidak musnah, tetapi diperkaya oleh seni Islam Lagu-Lagu (disebut
Akulturasi). Seni Sastra juga berkembang pesat: Banyak buku tentang Tasawuf,
Hikayat dan babat disadur kedalam bahasa Melayu.
KD.2 KERAJAAN ISLAM DI NUSANTARA
1. SAMUDERA PASAI
Samudera Pasai didirikan oleh Nizamudin Al-Kamil pada tahun
1267. Nizamudin Al-Kamil adalah seorang laksamana angkatan laut dari Mesir
sewaktu dinasti Fatimiyah berkuasa. Ia ditugaskan untuk merebut pelabuhan
Kambayat di Gujarat pada tahun 1238 M. Setelah itu, ia mendirikan Kerajaan
Pasai untuk menguasai perdagangan Lada. Raja pertama Samudera Pasai adalah Marah Silu (Sultan Malik Al Saleh). Ia meninggal lalu digantikan oleh putranya
yang bernama Sultan Malik ath-Thahir/
Malik az-Zahir.
Letak geografis kerajaan
samudera pasai terletak di Pantai Timur Pulau Sumatera bagian utara berdekatan
dengan jalur pelayaran internasional (Selat Malaka). Letak Kerajaan Samudera
Pasai yang strategis, mendukung kreativitas mayarakat untuk terjun langsung ke
dunia maritim. Samudera pasai juga mempersiapkan bandar - bandar yang digunakan
untuk:
1. Menambah perbekalan
untuk pelayaran selanjutnya
2. Mengurus masalah –
masalah perkapalan
3. Mengumpulkan barang –
barang dagangan yang akan dikirim ke luar negeri
4. Menyimpan barang –
barang dagangan sebelum diantar ke beberapa daerah di Indonesia
Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Samudera Pasai diatur menurut aturan
– aturan dan hukum – hukum Islam. Dalam pelaksanaannya banyak terdapat
persamaan dengan kehidupan sosial masyarakat di negeri Mesir maupun di Arab.
Karena persamaan inilah sehingga daerah Aceh mendapat julukan Daerah Serambi
Mekkah.
Kerajaan Samudera Pasai berkembang sebagai penghasil karya tulis yang
baik. Beberapa orang berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama
Islam untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu, yang kemudian disebut
dengan bahasa Jawi dan hurufnya disebut Arab Jawi. Selain itu juga berkembang
ilmu tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Kehidupan
Kerajaan Samudera Pasai pada masa itu sangat makmur. Karena Samudra Pasai dapat
menerbitkan mata uang emas sendiri, hal ini menandakan bahwa kerajaan itu cukup
makmur. Mata uang emas Kerajaan Samudera Pasai ini telah diperkenalkan pula
oleh orang-orang kerajaan itu ke beberapa bandar perdagangan di Nusantara,
diantaranya ke bandar Malaka.
Kerajaan Samudera Pasai mencapai puncak kejayaan pada masa
pemerintahan Sultan Malik Ath Thahir, sistem pemerintahan Samudera Pasai sudah
teratur baik, Samudera Pasai menjadi pusat perdagangan internasional.
Pedagang-pedagang dari Asia, Afrika, China, dan Eropa berdatangan ke Samudera
Pasai. Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin erat.
Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada.
Kemunduran kerajaan
Samudera Pasai disebabkan oleh beberapa faktor penyebab, yaitu:
1.Kerajaan Majapahit
berambisi menyatukan Nusantara,
2.Berdirinya Bandar Malaka
yang letaknya lebih strategis,
3.Setelah Sultan Malik
at-Thahir meninggal, tidak ada yang menggantikan sehingga penyebaran agama Islam
diambil kerajaan Aceh.
Sumber sejarah adanya kerajaan Samudera Pasai yaitu berdasarkan berita Marcopolo (th 1292)
dan Ibnu Batutah (abad 13). Pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan Islam di
Indonesia, yaitu kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya
Batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (th 1297) Raja pertama Samudra Pasai.
Silsilah Raja-raja Kerajaan Samudera Pasai
1. Sultan Malikul Saleh (1267-1297 M)
2. Sultan Muhammad Malikul Zahir
(1297-1326 M)
3. Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1326
± 1345
4. Sultan Malik Az-Zahir (?- 1346)
5. Sultan Ahmad Malik Az-Zahir
(1346-1383)
6. Sultan Zain Al-Abidin Malik
Az-Zahir (1383-1405)
7. Sultanah Nahrasiyah, (1405-1412)
8. Sultan Sallah Ad-Din (1402-?)
9. Sultan yang kesembilan yaitu Abu
Zaid Malik Az-Zahir (?-1455)
10. Sultan Mahmud Malik Az-Zahir,
(1455-1477)
11. Sultan Zain Al-‘Abidin, (1477-
1500)
12. Sultan Abdullah Malik Az-Zahir,
(1501-1513)
13. Sultan Zain Al’Abidin,
(1513-1524)
2.
MALAKA
Kerajaan Malaka secara geografis berada dijalur pelayaran
dan perdagangan internasional, yaitu Selat Malaka (Semenanjung Malaya), Pada
masa kejayaannya, Kerajaan Malaka merupakan pusat perdagangan dan penyebaran
Islam di Asia Tenggara.
Raja-Raja yang Memerintah
1. Iskandar Syah (1396-1414 M)
Pada abad ke-15 M, di Majapahit terjadi perang paregreg yang
mengakibatkan Paramisora (Parameswara) melarikan diri bersama pengikutnya dari
daerah Blambangan ke Tumasik (Singapura), kemudian melanjutkan perjalanannya
sampai ke Semenanjung Malaya dan mendirikan Kp. Malaka
Secara geografis, posisi Kp. Malaka sangat strategis, yaitu
di Selat Malaka, sehingga banyak dikunjungi para pedagang dari berbagai Negara
terutama para pedagang Islam, sehigga kehidupan perekonomian Kp. Malaka
berkembang pesat,
Untuk meningkatkan aktivitas perdagangan di Malaka, maka
Paramisora menganut agama Islam dan merubah namanya menjadi Iskandar Syah,
kemudian menjadikan Kp. Malaka menjadi Kerajaan Islam.
Untuk menjaga keamanan Kerajaan Malaka, Iskandar Syah
meminta bantuan kepada Kaisar China dengan menyatakan takluk kepadanya (1405
M).
2. Muhammad Iskandar Syah (1414-1424 M)
Merupakan putra dari Iskandar Syah, pada masa
pemerintahannya wilayah kekuasaan Kerajaan Malaka diperluas lagi hingga mencapai
seluruh Semenanjung Malaya.
Untuk menjadi Kerajaan Malaka sebagai penguasa tunggal jalur
pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka, maka harus berhadapan dengan
Kerajaan Samudera Pasai yang kekuatannya lebih besar dan tidak mungkin untuk
bisa dikalahkan, maka dipilih melalui jalur politik perkawinan dengan cara
menikahi putri Kerajaan Samudera Pasai, sehingga cita-citanya dapat tercapai.
3. Mudzafat Syah (1424-1458 M)
Setelah berhasil menyingkirkan Muhammad Iskandar Syah, ia
kemudian naik tahta dengan gelar sultan (Mudzafat Syah merupakan raja Kerajaan
Malaka yang pertama bergelar Sultan).
Pada masa pemerintahannya, terjadi serangan dari Kerajaan
Siam (serangan dari darat dan laut), namun dapat digagalkan.
Mengadakan perluasan wilayah ke daerah-daerah yang
berada di sekitar Kerajaan Malaka seperti Pahang, Indragiri dan Kampar.
4. Sultan Mansyur Syah (1458-1477 M)
Merupakan putra dari Sultan Mudzafat Syah. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan
Malaka mencapai puncak kejayaan sebagai pusat perdagangan dan pusat penyebaran
Islam di Asia Tenggara.
Puncak kejayaan dicapai berkat Sultan Mansyur Syah
meneruskan politik ayahnya dengan memperluas wilayah kekuasaanya, baik di
Semananjung Malaya maupun di wilayah Sumatera Tengah (Kerajaan Siam berhasil
ditaklukan). Raja Siam tewas dalam pertempuran, tetapi putra mahkotanya ditawan
dan dikawinkan dengan putri sultan sendiri kemudian diangkat menjadi raja
dengan gelar Ibrahim. Indragiri mengakui kekuasaan Malaka.
Kerajaan Samudera Pasai, Jambi dan Palembang tidak serang
karena menghormati Majapahit yang berkuasa pada waktu itu, selain itu Kerajaan
Aru juga tetap sebagai kerajaan merdeka.
Kejayaan Kerajaan Malaka tidak lepas dari jasa Laksamana
Hang Tuah yang kebesarannya disamakan dengan kebesaran Patih Gajah Mada
dari Kerajaan Mahapahit. Cerita Hang Tuah ditulis dalam sebuah Hikayat,
Hikayat Hang Tuah.
5. Sultan Alaudin Syah (1477-188 M)
Merupakan putra dari Sultan Mansyur Syah. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan
Malaka mulai mengalami kemunduran, satu persatu wilayah kekuasaan Kerajaan
Malaka mulai melepaskan diri. Hal ini disebabkan oleh karena Sultan Alaudin
Syah bukan merupakan raja yang cakap.
6. Sultan Mahmud Syah (1488-1511 M)
Merupakan putra dari Sultan Alaudin Syah. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan
Malaka merupakan kerajaan yang sangat lemah, wilayah kekuasaannya meliputi
sebagian kecil Semenanjung Malaya, hal ini menambah suram kondisi Kerajaan
Malaka.
Pada tahun 1511 M, terjadi serangan dari bangsa Portugis di
bawah pimpinan Alfonso d’Alberquerque dan berhasil Merebut Kerajaan
Malaka. Akhirnya Malaka pun jatuh ke tangan Portugis.
Kehidupan Budaya
Perkembangan Seni sastra Melayu mengalami perkembangan yang
pesat seperti munculnya karya-karya sastra yang menggambarkan tokoh-tokoh
kepahlawanan dari Kerajaan Malaka seperti Hikayat Hang Tuah, Hikayat Hang Lekir
dan Hikayat Hang Jebat.
3. ACEH
Secara Geografis, Kerajaan Aceh terletak di Pulau Sumatera
bagian utara dan dekat jalur pelayaran dan perdagangan internasional, yaitu
Selat Malaka.
Raja-Raja yang Memerintah
Mengenai berdirinya Kerajaan Aceh, tidak dapat diketahui dengan pasti.
Berdasarkan Bustanusslatin (1637 M) karangan Nuruddin Ar Raniri yang
berisi silsilah sultan-sultan Aceh, dan berdasarkan berita-berita Eropa,
diketahui bahwa Kerajaan Aceh telah berhasil membebaskan diri dari kekuasaan
Kerajaan Pedir.
Adapun raja-raja yang memerintah :
1. Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528 M)
Merupakan raja pertama di Kerajaan Aceh. Pada masa pemerintahannya, diadakan
perluasan wilayah kebeberapa daerah di wilayah Sumatera Utara seperti daerah
Daya,dan Pasai, bahkan melalukan serangan terhadap Portugis yang berkedudukan
di Malaka dan menyerang Kerajaan Aru.
2. Sultan Salahuddin (1528-1537 M)
Merupakan putera dari Sultan Ali Mughayat Syah. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan
Aceh mengalami kemerosotan yang sangat tajam, karena Sultan Salahuddin tidak
memperdulikan pemerintahannya. Akhirnya Sultan Salhuddin digantikan saudaranya
yang bernama Alauddin Riayat Syah-al-Kahar untuk menyelematkan Kerajaan Aceh.
3. Sultan Alauddin Riayat Syah-al-Kahar (1537-1568 M)
Pada masa pemerintahannya, diadakan berbagai perubahan dan
perbaikan dalam segala bentuk pemerintahan Kerajaan Aceh. Diadakan perluasan
wilayah dengan menyerang Kerajaan Malaka (tapi gagal). Kerajaan Aru berhasil di
taklukan.
Setelah Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar wafat, Kerajaan
Aceh mengalami kemunduran yang sangat tajam. Pemberontakan dan perebutan
kekuasaan sering terjadi. Baru setelah Sultan Iskandar Syah naik tahta,
Kerajaan Aceh mengalami perkembangan yang pesat.
4. Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M)
Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Aceh mencapai puncak
kejayaan sebagai kerajaan besar dan berkuasa atas perdagangan Islam dan menjadi
bandar transito yang dapat menghubungkan dengan pedagang Islam di dunia Barat.
Untuk mencapai kebesaran Kerajaan Aceh, Sultan Iskandar Muda
melakukan serangan terhadap portugis di Malaka dan Kerajaan Johor di
Semenanjung Malaya dengan tujuan menguasai jalur pelayaran dan perdagangan di
Selat Malaka dan menguasai daerah-daerah penghasil lada.
Sultan Iskandar Muda menolak permintaan Inggris dan Belanda
untuk membeli lada di pesisir Sumatera bagian barat.
Kerajaan Aceh melakukan pendudukan terhadap daerah-daerah
seperti Aru, Pahang, Kedah, Perlak dan Indragiri. (sehingga wilayah
kekuasaannya sangat luas).
Pada masa pemerintahannya, hidup dua ahli tasawuf yang
terkenal di Aceh, yaitu Syekh
Syamsuddin bin Abdullah as-Samatrani dan Syekh Ibrahim as-Syamsi.
5. Sultan Iskandar Thani (1636-1641 M)
Merupakan menantu dari Sultan Iskandar Muda. Ia memerintah dengan meneruskan
tradisi kekuasaan Sultan Iskandar Muda.
Pada masa pemerintahannya, hidup seorang ulama besar yang
bernama Nuruddin ar-Raniri yang
menulis sejarah Aceh berjudul Bustanu’ssalatin. Sebagai ulama besar, ia
sangat dihormati oleh Sultan dan keluarganya serta rakyat Aceh
Setelah Sultan Iskandar Thani wafat, tahta kerajaan
diteruskan oleh permaisurinya (putri Sultan Iskandar Syah) dengan gelar Putri Sri Alam Permaisuri (1641-1675
M).
4. DEMAK
Kerajaan Dernak secara geografis terletak di Jawa Tengah.
Kerajaan Demak merupakan kerajaan lslam pertama di Pulau Jawa, yang pada awal
munculnya Kerajaan Demak mendapat bantuan dari para bupati daerah pesisir Jawa
Tengah dan Jawa Timur yang telah menganut agama lslam. Sebelumnya Demak bernama
Bintoro yang merupakan daerah vassal atau bawahan Kerajaan Majapahit. Kemudian
kekuasaannya diberikan kepada Raden Patah, salah seorang keturunan Raja
Brawijaya V (Raja Majapahit) dan ibunya menganut lslam serta berasal dari
Jeumpa.
Adapun faktor-faktor yang mendorong berdirinya Kerajaan
Demak adalah sebagai berikut.
- Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis yang menyebabkan para pedagang Islam mencari persingggahan dan perdagangan baru, misalnya di Demak.
- Raden Patah, pendiri Demak masih keturunan Raja Majapahit Brawijaya V.
- Raden Patah mendapat dukungan dari para wali yang sangat dihormati.
- Banyak adipati pesisir yang tidak puas dengan majapahit dan mendukung Raden Patah.
- Mundur dan runtuhnya Majapahit.
- Pusaka Kerajaan Majapahit sebagai lambang pemegang kekuasaan diberikan kepada Raden Patah. Dengan demikian, kerajaan Demak merupakan kelanjutan dari Kerajaan Majapahit dalam bentuk yang baru.
Adapun rala-raja yang pernah memerintah Kerajaan Demak
adalah sebagai berikut.
1.
Raden Patah (1500-1518M)
Raden
patah adalah raja pertama Kerajaan Demak yang bergelar Sultan Alam Akbar
al-Fatah. Kerajaan Demak berkembang dengan pesat sebagai pusat perdagangan dan
pusat penyebaran agama lslam.
2.
Adipati Unus (1518-1521 M)
Masa
pemerintahan Adipati Unus tidak begitu lama, karena ia meninggal dalam usia
yang masih sangat muda. Walaupun demikian, Adipati Unus dikenal sebagai
panglima perang yang gagah berani melakukan blokade terhadap Portugis di
Malaka. Oleh karena Adipati Unus meninggal tidak meninggalkan putra mahkota,
maka Adipati Unus digantikan oleh salah seorang adiknya yang bernama Raden
Trenggana.
3.
Sultan Trenggana (1521-1546 M)
Sultan Trenggana dilantik menjadi raja Demak oleh Sunan
Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Pada masa pemerintahan
Sultan Trenggana, Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaannya dan agama lslam
berkembang lebih luas. Pada tahun 1522M Demak mengirimkan pasukan ke Jawa Barat
yang dipimpin oleh Fatahillah. Tujuan pengirirnan tersebut untuk menggagalkan
terjadinya hubungan antara Kerajaan Pajajaran dan Portugis. Fatahillah berhasil
mengusir Portugis dan menduduki Banten dan Cirebon, kernudian Fatahillah
mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta
(yang artinya kemenangan penuh). Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 22
Juni 1527 M, kemudian diperingati sebagai hari jadi Kota Jakarta.
Dalam perluasan pengaruh Demak di Jawa Timur dipimpin
langsung oleh Sultan Trenggana. Satu per satu daerah di Jatim, seperti Madiun,
Gresik, Tuban, Singasari, dan Blambangan berhasil dikuasai. Namun, ketika
menyerang Pasuruan pada tahun 1546 M, Sultan Trenggana gugur.
Kehidupan Sosial Ekonomi
Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Demak telah diatur
sesuai dengan ajaran lslam, tetapi ada pula masyarakat yang masih menjalankan
tradisi lama. Sehingga, muncullah kehidupan sosial masyarakat yang merupakan
perpaduan antara agama lslam dan tradisi lama (Hindu-Buddha).
Kehidupan perekonomian Kerajaan Demak menitikberatkan pada
sektor perdagangan dan pertanian. Perekonomian Kerajaan Demak berkembang dengan
pesat dalam dunia maritim, hal tersebut didukung oleh sektor pertanian yang
cukup besar. Keiajaan Demak juga mengusahakan kerja sama dengan daerah di
pantai utara Jawa yang telah menganut agama lslam sehingga tercipta persekutuan
di bawah pimpinan Demak.
Kehidupan Budaya
Salah satu hasil peninggalan budaya Kerajaan Demak adalah
Masjid Agung Demak yang terkenal dengan salah satu tiangnya yang terbuat dari
pecahan kayu (tatal), Oleh karena terbuat dari pecahan kayu, maka tiang
tersebut diberi nama “saka tatal”. Pembangunan masjid ini dipimpin oleh Sunan
Kalijaga. Di pendopo masjid inilah Sunan Kalijaga meletakkln dasar-dasar perayaan
sekaten yang tujuannya untuk menyebarkan tradisi lslam. Tradisi tersebut sampai
sekarang masih berlangsung di Jogjakarta dan di Surakarta.
5.
MATARAM ISLAM
Kerajaan
Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa
yang pernah berdiri pada abad ke-17. Kerajaan
ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela
dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai
suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit.
Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan
Pajang, berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada
Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya
(Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Kerajaan Mataram pada masa keemasannya
pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Negeri ini pernah
memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin
berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC
pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.
Mataram merupakan kerajaan berbasis
agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa
jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta,
sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka
dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta
beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang

Kehidupan
Politik
Sesudah runtuhnya
Kerajaan Demak, pusat pemerintahan dipindahkan ke Pajang oleh Joko Tingkir (
menantu Sultan Trenggono). Joko Tingkir menaiki takhta Kerajaan Pajang dengan
gelar Sultan Hadiwijoyo. Usia pemerintahannya tidak begitu lama yakni 1568–1586. Hal ini disebabkan kota-kota
pesisir terus memperkuat diri dan berusaha melepaskan dari kekuasaan Pajang.
Setelah Sultan Hadiwijoyo meninggal (1586) takhta Pajang digantikan oleh
putranya, yakni Pangeran Benowo. Ternyata, Pangeran Benowo tidak dapat
mengatasi kekacauan-kekacauan sehingga kekuasaan diserahkan kepada Sutowijoyo.
Puncaknya, Sutawijoyo memindahkan pusat pemerintahan ke Kotagede dan berdirilah
Kerajaan Mataram Islam.
Sutowijoyo mengangkat
dirinya sebagai Raja Mataram pertama dengan gelar Panembahan Senopati
(1586–1601) dengan Kotagede sebagai ibukotnya. Tindakan-tindakannya yang
penting, antara lain sebagai berikut:
1) meletakkan
dasar-dasar Kerajaan Mataram;
2) memperluas
wilayah kekuasaan dengan menundukkan Surabaya,
Madiun, dan Ponorogo ke timur dan ke barat berhasil menundukkan Cirebon
dan Galuh.
Pengganti Panembahan
Senopati ialah Mas Jolang gugur di daerah Krapyak sehingga disebut Panembahan
Seda Krapyak. Raja terbesar Kerajaan Mataram ialah Mas Rangsang dengan gelar
Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613–1645).Sultan Agung bercita-cita mempersatukan
seluruh Jawa di bawah kekuasaan Mataram dan mengusir Kompeni (VOC) dari Batavia.
Masa pemerintahan
Sultan Agung yang selama 32 tahun dibedakan atas dua periode, yaitu masa
Penyatuan Kerajaan dan masa Pembangunan. Masa Penyatuan Kerajaan (1613–1629)
merupakan masa peperangan untuk mewujudkan cita-cita menyatukan seluruh Jawa.
Sultan Agung menundukkan Gresik, Surabaya, Kediri, Pasuruan, dan Tuban.
Selanjutnya, menundukkan Lasem, Pamekasan, dan Sumenep, bahkan juga Sukadana di
Kalimantan. Dengan demikian, seluruh Jawa telah takluk di bawah Mataram bahkan
sampai ke luar Jawa, yakni Palembang, Sukadana,
dan Goa.
Setelah Jawa Timur,
Jawa Tengah, dan Cirebon berhasil dikuasai, Sultan Agung merencanakan untuk
menyerang Batavia. Serangan pertama dilancarkan pada bulan Agustus 1628 di
bawah pimpinan Bupati Baurekso dari Kendal dan
Bupati Ukur dari Sumedang. Batavia dikepung dari darat dan laut selama dua
bulan, namun tidak mau menyera,h bahkan sebaliknya tentara Mataram dipukul
mundur.
Dipersiapkan serangan
yang kedua lebih matang dengan membuat pusat-pusat perbekalan makanan di Tegal,
Cirebon, dan Krawang. Serangan kedua dilancarkan bulan September 1629 di bawah
pimpinan Bupati Sura Agul-Agul, Mandurarejo, dan Uposonto. Namun, VOC telah
mengetahui lebih dahulu rencana tersebut. Hal itu dibuktikan dengan tindakan
VOC membakar dan memusnahkan gudang-gudang perbekalan. Serangan kedua Mataram
ke Batavia mengalami kegagalan karena kurangnya perbekalan makanan, kalah
persenjataan, jarak Mataram–Jakarta sangat
jauh, dan tentara Mataram terjangkit wabah penyakit.
Setelah Sultan Agung
meninggal, takhta kerajaan digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan
Amangkurat I (1645–1677). Berbeda dengan ayahnya, raja ini tidak bijaksana dan
cenderung kejam dan kurang memperhatikan kepentingan rakyat. Banyak rakyat dan
kaum bangsawan tidak menyukainya.
Hal yang sangat tidak
disenangi ialah persahabatannya dengan VOC yang dahulu sangat dibenci oleh
ayahnya. Akibat muncullah pemberontakan Trunojoyo (1674–1680). Trunojoyo adalah
pangeran dari Madura yang tidak senang terhadap tindakan Amangkurat I sehingga
menghimpun kekuatan untuk menyerang Mataram. Pada tahun 1677 pasukan Trunojoyo
berhasil menduduki Plered, ibu kota Mataram. Amangkuat I bermaksud minta
bantuan VOC ke Batavia, namun baru sampai di Tegalarum meninggal sehingga
dimakamkan di tempat itu juga. Oleh karena itu, Amangkurat I dikenal juga
sebagai Sultan Tegalarum. Pengganti Amangkurat I adalah putra mahkota yang
bergelar Sultan Amangkurat II (1677–1703).
Untuk menghadapi
Trunojoyo, Amangkurat II meminta bantuan VOC di Semarang. Pimpinan
VOC, Speelman menyetujui permintan Amangkurat II dengan suatu perjanjian (1670)
yang isinya sebagai berikut.
a. VOC
mengakui Amangkurat II sebagai Raja Mataram.
b.
VOC mendapatkan
monopoli di Mataram.
c.
Seluruh biaya perang
harus diganti oleh Amangkurat II.
d.
Sebelum hutangnya lunas
seluruh pantai utara Jawa digadaikan kepada VOC.
e. Mataram
harus menyerahkan daerah Krawang, Priangan, Semarang dan sekitarnya
kepada VOC.
Pada saat itu Tronojoyo
telah berhasil mendirikan istana di Kediri dengan gelar Prabu Maduretno.
Tentara VOC di bantu oleh tentara Aru Palaka dari Makasar dan Kapten Jonker
dari Ambon bersama tentara Mataram akhirnya menyerang Kediri. Tronojoyo tidak
mampu menghadapi gempuran tentara Mataram dan VOC, terus terdesak ke daerah
pegunungan dan bertahan di Gunung Wilis. Trunojoyo menyerah pada tanggal 25
Desember 1679 dan akhirnya gugur ditikam keris oleh Amangkurat II pada tanggal
2 Januari 1680. Sultan Amangkurat II kemudian memindahkan pusat pemerintahan
dari Plered ke Kartasura.
Perlawanan
Untung Suropati (1686–1706)
Untung Suropati,
demikianlah nama pejuang pada masa Mataram di bawah pemerintahan Amangkurat II.
Sikap benci Untung kepada VOC telah muncul sejak di Batavia. Untung kemudian
melarikan diri ke Cirebon dan terjadi perkelahian dengan Suropati maka namanya
menjadi Untung Suropati. Dari Cirebon Untung terus melanjutkan perjalanan ke
Kartasura.
Amangkurat II setelah
menjadi raja merasakan betapa beratnya perjanjian yang telah ditandatangani dan
berusaha untuk melepaskan diri. Ketika Untung Suropati tiba di Kartasura
disambut dengan baik. Pada tahun 1686 datang utusan dari Batavia di bawah
pimpinan Kapten Tack dengan maksud merundingkan soal hutang Amangkurat II dan
menangkap Untung Suropati.
Amangkurat II
menghindari pertemuan ini dan terjadilah pertempuran. Kapten Tack beserta
pengikutnya berhasil dihancurkan oleh pasukan Untung Suropati. Untung Suropati
kemudian melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur dan sampailah ke Pasuruan Di
sinilah akhirnya Untung mendirikan istana dan mengangkat dirinya sebagai bupati
dengan gelar Adipati Wironagoro. Di Bangil didirikan perbentengan.
Bupati-bupati seluruh Jawa Timur mendukungnya, dengan demikian kedudukannya
makin kuat.
Pada tahun 1703,
Amangkurat II wafat, digantikan oleh putranya Sunan Mas dengan gelar Sultan
Amangkurat III yang anti kepada Belanda. Pamannya Pangeran Puger (adik
Amangkurat II) berambisi ingin menjadi raja di Mataram dan pergi ke Semarang
untuk mendapatkan dukungan dari VOC. Selanjutnya, VOC berserta Pangeran Puger
menyerang Kartasuradan berhasil diduduki. Amangkurat III melarikan diri ke Jawa
Timur bergabung dengan Untung Suropati. Pada tahun 1704 Pangeran Puger
dinobatkan sebagai Raja Mataram dengan gelar Sunan Paku Buwono I.
Pihak Belanda
menyiapkan pasukan secara besar-besaran untuk menggempur pasukan Untung di
Pasuruan. Di bawah pimpinan Herman de Wilde, pasukan kompeni berhasil mendesak
perlawanan Untung. Dalam pertempuran di Bangil, Untung terluka dan akhirnya
gugur pada tanggal 12 Oktober 1706. Sunan Mas bisa tertangkap dan kemudian
dibuang ke Sailan/Sri Langka (1708).
Pada tahun 1719 Sunan
Paku Buwono I wafat dan digantikan oleh Amangkurat IV (Sunan Prabu) di bawah
mandat VOC. Makin eratnya hubungan denganVOC membuat para bangsawan benci
kepada kompeni. Mereka mengadakan perlawanan, antara lain Pangeran Purboyo
(adik Sunan) dan Pangeran Mangkunegoro (putra Sunan sendiri). Perlawanan
terhadap Kompeni dapat dipadamkan dan para pemimpinya ditangkap dan dibuang ke
Sailan dan Afrika Selatan, kecuali Pangeran Mangkunegoro yang diampuni ayahnya.
Pada masa pemerintahan
Paku Buwono II (1727–1749) Mataram diguncang lagi perlawanan yang dipimpin oleh
Mas Garendi (cucu Sunan Mas). Perlawanan ini di dukung oleh orang-orang
Tionghoa yang gagal mengadakan pemberontakan terhadap VOC di Batavia. Mas
Garendi berhasil menduduki ibu kota Kartasura.
Paku Buwono II
melarikan diri ke Ponorogo. VOC meminta bantuan kepada Bupati Madura,
Cakraningrat untuk merebut kembali Kartasura dengan imbalan keinginan
Cakraningrat untuk melepaskan diri dari Mataram akan dikabulkan. Cakraningrat
berhasil merebut kembali Kartasura dan Paku Buwono II berhasil kembali ke
Kartasura sebagai raja. Namun, antara VOC dan Cakraningrat terjadi perselisihan
karena Cakraningrat keberatan meninggalkan Kartasura. Perselisihan berakhir
dengan ditangkapnya dan di buang ke Afrika Selatan (1745).
Setelah beberapa kali
terjadi perlawanan di Kartasura, Kartasura dianggap tidak layak sebagai ibu
kota kerajaan sehingga pusat pemerintahan dipindahkan ke Surakarta. Makin
bercokolnya VOC di Mataram menyebabkan pada masa Paku Buwono II ini juga
terjadi perlawanan lagi di bawah pimpinan Raden Mas Said (putra Pangeran
Mangkunegoro) dan menduduki Sukowati. Oleh Paku Buwono II dikeluarkan semacam
sayembara, siapa yang dapat merebut daerah Sukowati akan mendapat daerah itu
sebagai imbalannya. Pangeran Mangkubumi, adik Paku Buwono II berhasil merebut
Sukowati, tetapi ternyata daerah itu tidak diberikan. Pangeran Mangkubumi
meninggalkan kota dan bergabung dengan Raden Mas Said melakukan perlawanan.
Mataram Terpecah
Belah
Setelah Mangkubumi
bergabung dengan Mas Said, terjadilah persekutuan antara Mangkubumi dan Mas
Said melawan Paku Buwono II dan III. Pada waktu Paku Buwono II sakit keras,
utusan VOC dari Batavia datang ke Surakarta. Dalam keadaan lemah dan
tidak sadar, Paku Buwono II menyerahkan Mataram kepada VOC. Hasl yang demikian
mungkin saja terjadi. Menurut tradisi Timur orang yang akan meninggal biasanya
menyerahkan keluarganya kepada orang yang menjadi kepercayaannya. Hal ini
diartikan oleh Belanda bahwa sejak itu VOC berkuasa penuh atas Mataram.
Pada tahun 1749 Paku
Buwono II wafat dan digantikan oleh putranya yang bergelar Paku Buwono III.
Awalnya, Belanda mengakuinya sebagai Sultan Mataram yang baru, tetapi setelah
itu VOC berusaha untuk memecah belah Mataram sehingga dapat dikuasainya.
Perlawanan Mangkubumi
dan Mas Said cukup tangguh. Raden Mas Said mendapat julukan Pangeran Samber
Nyowo (pangeran perenggut jiwa). Namun, karena di antara keduanya kterjadi
perselisihan sehingga dimanfaatkan oleh Belanda untuk memecah belah Mataram.
Perseteruan antara Paku Buwono II yang dibantu Kompeni dan Pangeran Mangkubumi
dapat diakhiri dengan Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 Isi
Perjanjian Giyanti pada intinya Mataram dipecah menjadi dua.
a. Mataram
barat yakni Kasultanan Yogakarta diberikan kepada Mangkubumi dengan gelar
Sultan Hamengku Buwono I.
b. Mataram
timur ,yakni Kasunanan Surakarta diberikan kepada Paku Buwono III.
Selanjutnya ,untuk memadamkan
perlawanan Raden Mas Said diadakan Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret
1757. Isi Perjanjian Salatiga
pada intinya Surakarta dibagi menjadi dua.
a. Surakarta
utara diberikan kepada Mas Said dengan gelar Mangkunegoro I, kerajaannya
dinamakan Mangkunegaran.
b.
Surakarta selatan
diberikan kepada Paku Buwono III kerajaannya dinamakan Kasunanan
Surakarta.
c. sebagian
daerah Kasultanan Yogyakarta diberikan kepada Paku Alam selaku bupati.
Dengan demikian, Kerajaan Mataram yang dahulinya
satu, kuat, dan kokoh pada masa pemerintahan Sultan Agung akhirnya
terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajan kecil berikt ini:
a. Kerajaan
Yogyakarta;
b.
Kasunanan Surakarta;
c.
Pakualaman;
d. Mangkunegaran.
Kehidupan
Ekonomi
Kerajaan Mataram yang
terletak di pedalaman merupakan sebuah kerajaan agraris dengan hasil utamanya
beras. Pada masa Sultan Agung, kehidupan masyarakat Mataram mengalami perkembangan
pesat. Pada masa ini hasil bumi Mataram cukup melimpah.
Kehidupan
Sosial-Budaya
Pada masa Pembangunan,
maka Sultan Agung melakukan usaha-usaha antara lain untuk meningkatkan
daerah-daerah persawahan maka memprogramkan pemindahan para petani ke daerah
Krawang yang subur.
Atas dasar kehidupan
agraris itulah disusun suatu masyarakat yang bersifat feodal. Para pejabat
pemerintahan memperoleh imbalan berupa tanah garapan (lungguh), sehingga sistem
kehidupan ini menjadi dasar munculnya tuan-tuan tanah di Jawa.
Pada masa kebesaran
Mataram, kebudayaan juga berkembang, antara lain seni tari, seni pahat, seni
sastra, dan sebagainya. Di samping itu juga muncul kebudayaan kejawen yang
merupakan akulturasi antara kebudayan jawa, Hindu, Buddha dengan Islam.
Upacara Garebeg yang
bersumber pada pemujaan roh nenek moyang berupa kenduri gunungan yang merupakan
tradisi sejak zaman Majapahit dijatuhkan pada waktu perayaan hari besar Islam
sehingga muncul Garebeg Syawal pada hari raya Idul Fitri dan Garebeg Maulud
pada bulan Rabiulawal. Hitungan tahun yang sebelumnya merupakan tarikh Hindu
yang didasarkan pada peredaran matahari (tarikh samsiah) maka sejak tahun 1633
diubah menjadi tarikh Islam yang berdasarkan pada peredaran bulan (tarikh
komariah). Tahun Hindu 1555 diteruskan dengan perhitungan baru dan dikenal
dengan tahun Jawa.
Adanya suasana yang
aman, damai dan tenteram menyebabkan berkembangnyaa kesusastraan Jawa. Sultan
Agung mengarang kitab Sastra Gending yang berupa filsafat. Demikian juga muncul
kitab Nitisruti, Nitisastra, dan Astabrata yang berisi ajaran tabiat baik yang
bersumber pada kitab Ramayana.
6. BANTEN
Kerajaan Banten didirikan oleh Fatahillah (1527). Semula,
Banten merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Hindu Pajajaran. Kemudian, Banten
direbut dan diperintah oleh Fatahillah dari Demak. Pada tahun 1552, Fatahillah
menyerahkan Banten kepada putranya, Hasanuddin.
Fatahillah sendiri pergi ke Cirebon dan berdakwah di sana
sampai wafat (1570). Ia dimakamkan di desa Gunung Jati. Oleh karena itu, ia
disebut Sunan Gunung Jati. Di bawah pemerintahan Hasanuddin (1552 – 1570),
Banten mengalami kemajuan di bidang perdagangan dan wilayah kekuasaannya meluas
sampai ke Lampung dan Sumatra Selatan. Setelah wafat, Hasanuddin digantikan
oleh putranya, Panembahan Yusuf (1570 –1580). Pada masa pemerintahannya,
Pajajaran berhasil ditaklukkan (1579).
Panembahan Yusuf wafat pada tahun 1580 dan digantikan
putranya, Maulana Muhammad (1580 – 1597). Pada masa pemerintahannya, datanglah
Belanda. Ia menyambut kedatangan Belanda dan oleh Belanda ia diberi gelar Ratu
Banten. Sepeninggal Ratu Banten, pemerintahan dipegang oleh Abdulmufakir yang
masih kanak-kanak (1597 – 1640). Ia didampingi oleh walinya, Pangeran
Ranamenggala. Pada tahun 1640, Abdulmufakir diganti oleh Abu Mali Ahmad (1640 –
1651).
Pemerintahan selanjutnya dipegang oleh Abdul Fatah yang
bergelar Sultan Ageng Tirtayasa (1651 – 1682). Pada masa pemerintahannya,
Banten mencapai kejayaan. Sultan Ageng mengadakan pembangunan, seperti jalan,
pelabuhan, pasar, masjid yang pada dasarnya untuk meningkatkan kehidupan sosial
ekonomi masyarakat Banten. Namun sejak VOC turut campur tangan dalam
pemerintahan Banten, kehidupan sosial masyarakatnya mengalami kemerosotan.
Usaha-usaha yang dilakukan Sultan Ageng terhadap Kerajaan
Banten:
1. memajukan perdagangan Banten dengan meluaskan daerah
kekuasaan,
2. menjadikan Banten sebagai bandar internasional,
3. memodernisasi bangunan istana dengan arsitektur Lukas
Cardeel,
4. memajukan Islam,
5. menentang monopoli VOC dan mengusir VOC dari Banten, dan
6. membangun armada laut.
Keadaan semakin memburuk ketika terjadi pertentangan antara
Sultan Ageng dan Sultan Haji, putranya dari selir. Pertentangan ini berawal
ketika Sultan Ageng mengangkat Pangeran Purbaya (putra kedua) sebagai putra
mahkota. Pengangkatan ini membuat iri Sultan Haji. Berbeda dengan ayahnya,
Sultan Haji memihak VOC. Bahkan, dia meminta bantuan VOC untuk menyingkirkan
Sultan Ageng dan Pangeran Purbaya.
Sebagai imbalannya, VOC meminta Sultan Haji untuk
menandatangani perjanjian pada tahun 1682 yang isinya, antara lain, Belanda
mengakui Sultan Haji sebagai sultan di Banten; Banten harus melepaskan
tuntutannya atas Cirebon, Banten tidak boleh berdagang lagi di daerah Maluku,
hanya Belanda yang boleh mengekspor lada dan memasukkan kain ke wilayah
kekuasaan Banten; Cisadane merupakan batas antara Banten dan Belanda.
Perjanjian tersebut mengakibatkan Banten berada pada posisi yang sulit karena
ia kehilangan peranannya sebagai pelabuhan bebas sejak adanya monopoli dari
Belanda.
Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap oleh VOC sedangkan
Pangeran Purbaya dapat meloloskan diri. Setelah menjadi tawanan Belanda selama
delapan tahun, Sultan Ageng wafat (1692). Adapun Pangeran Purbaya tertangkap
oleh Untung Suropati, utusan Belanda, dan wafat pada tahun 1689.
7.
MAKASSAR (GOWA-TALLO)
Kerajaan Makassar sebenarnya terdiri atas 2 kerajaan yakni
kerajaan Gowa dan Tallo. Kemudian, kerajaan itu bersatu dibawah pimpinan raja
Gowa yaitu Daeng Manrabba. Setelah menganut agama Islam, Ia bergelar Sultan Alauddin.
Raja Tallo, yaitu Karaeng Mattoaya yang bergelar Sultan Abdullah, menjadi
mangku bumi. Bersatunya kedua kerajaan tersebut bersamaan dengan tersebarnya
agama Islam ke Sulawesi Selatan. Pusat pemerintahan dari Kerajaan Makassar
terletak di Sombaopu. Letak kerajaan Makassar sangat strategis karena berada di
jalur lalu lintas pelayaran antara Malak dan Maluku. Letaknya yang sangat
strategis itu menarik minat para pedagang untuk singgah di pelabuhan Sombaopu.
Dalam waktu singkat, Makassar berkembang menjadi salah satu Bandar penting di
wilayah timur Indonesia.
Kehidupan Politik
Perkembangan pesat kerajaan Makassar tidak terlepas dari
raja-raja yang pernah memerintahnya, yaitu seperti berikut ini:
a.
Raja Alauddin
Dalam
abad ke-17 M agama Islam berkembang cukup pesat di Sulawesi Selatan. Raja
Makassar yang pertama memluk Islam bernama Raja Alauddin yang memerintah
Makassar dari tahun 1561-1638 M. dibawah pemerintahannya, Kerajaan Makassar
mulai terjun dalam dunia perdagangan (dunia maritim) perkembangan ini
menyebabkan meningkatnya kesejahteraan kerajaan Makassar. Tetapi sewafatnya
raja Alauddin, keadaan pemerintahan kerajaan tidak dapat diketahui dengan
pasti.
b.
Sultan Hasanuddin
Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, kerajaan Makassar
mencapai masa kejayaannya. Dalam waktu yang cukup singkat Kerajaan Makassra
telah berhasil menguasai seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Cita-cita Sultan
Hasanuddin untuk menguasai sepenuhnya jalur perdagangan nusantara mendorong
perlyasan kekuasaanya ke kepulauan Nusa Tenggara seperti Sumbawa dan sebagaian
Flores. Dengan demikian seluruh aktifitas kerajaan Makassar. Keadaan seperti
itu ditentang oleh Belanda yang memilikidaerah terhalang oleh kekuasaan
kerajaan Makassar. Pertentangan antara Makassar dan Belanda sering minumbulkan
peperangan. Keberanaian Sultan Hasanudin untuk memporak porandakan pasukan
Belanda di Maluku, mengakibatkan Belanda semakin terdesak. Atas keberaniannya,
Belanda memberi julukan kepada sultan Hassanudin dengan sebutan ”Ayam Jantan
dari Timur”.
Dalam upaya menguasai Kerajaan Makassar, Belanda menjalin hubungan dengan Raja Bone,
yaitu Arung Palaka. Dengan bantuan Arung Palaka, pasukan Belanda berhasil
mendesak Kerajaan Makassar dan menguasai ibukota kerajaan.
c.
Mapasomba
Setelah Sultan Hasanuddin turun tahta, ia digantikan oleh
putranya yang bernama Mapasomba. Sultan Hasanuddin sangat berharap agara
Mapasomba dapat bekerja sama dengan Belanda. Tujuannya agar kerajaan Makassar
dapat bertahan. Ternya Mapasomba jauh lebih keras daripada Ayahnyasehingga
Belanda mengerahkan pasukan besar-besaran untuk menghadapi Mapasomba. Pasukan
Mapasomba berhasil dihancurkan dan ia tidak diketahui nasibnya. Dengan
kemenangan itu, Belanda berkuasa sepenuhnya atas Kerajaan Makassar.
Kehidupan Sosial
Kehidupan Sosial masyarakat kerajaan Makassar diwarnai oleh
ajaran agama Islam. Mayoritas masyarakat Makassar beragama Islam sampai
sekarang. Dwi tunggal Sultan Alauddin dan Sultan Abdullah sangat giat
mengislamkan rakyatnya. Mereka memperluas daerah kekuasaannya tidak hanya pada
pulau sekitarnya, tetapi juga sampai bagian Timur kepulauan Nusa Tenggara.
Mereka juga berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan berpegang
teguh pada keyakinan bahwa Tuhan menciptakan lautan untuk semua hamba Nya.
Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Makassar yang terletak di barat daya Sulawesi itu
sangat strategis. Karena terletak ditengah jalur perdagangan antara Maluku dan
Malaka. Kerajaan itu kemudian berkembang pesat menjadi pusat perdagangan.
Kegiatan perekonomian masyarakat Makassar bertumpu pada perdagangan dan
pelayaran. Terlebih lagi masyarakat Sulawesi terkenal sebagai pelaut ulung dan
pemberani dalam mengarungi samudera.
Berkembangnya Makassar sebagai pusat perdagangan di wilayah
timur Indonesia mengakibatkan banyak pedagang asing seperti portugis, Inggris,
dan Denmark berdagang di Makassar. Dengan kapal jenis pinisi dan lambo,
pedagang Makassar memegang peranan penting dalam perdagangan di Indonesia.
Guna mengatur pelayaran dan perdagangan dalam wilayahnya,
kerajaan Makassar menyusun hukum perniagaan yang disebut Ade Allopiloping Bicaranna Pabbahi’e.
Kehidupan Budaya
Karena kerajaan Makassar bersifat maritime maka
kebudayaannya dipengaruhi oleh keadaan tersebut, seperti pembuat alat penangkap
ikan dan kapal pinisi. Sampai sekarang kapal pinisi dari Sulawesi Selatan masih
menjadi salah satu kebanggan bangsa Indonesia. Disamping itu, masyarakat
kerajaan Makassar juga mengembangkan seni sastra, yaitu kitab Lontara.
Mereka juga mengembangkan kebudayaan lainnya, seperti seni
bangunan dan seni suara. Namun, sayang karya itu tidak banyak diketahui karena
kurangnya peninggalan yang sampai kepada kita.
8.
TERNATE-TIDORE
Kerajaan Ternate dan Tidore terletak di sebelah barat Pulau
Halmahera, Maluku Utara. Berdiri 1521 M. Wilayah kekuasaan kedua kerajaan ini
meliputi Kepulauan Maluku dan sebagian Papua. Tanah Maluku yang kaya akan
rempah-rempah menjadikannya terkenal di dunia Internasional dengan sebutan
Spice Island. Di Maluku terdapat dua kerajaan yang berpangaruh, yakni Ternate
dan Tidore. Kerajaan Ternate terdiri dari persekutuan lima daerah, yaitu
Ternate, Obi, Bacan, Seram, Ambon, (disebut Uli Lima) sebagai pimpinannya adalah
Ternate. Adapun Tidore terdiri dari sembilan satuan negara disebut Uli
Siwa yang terdiri dari Makyan, Jailolo, dan daerah antara Halmahera-Irian.
Kedatangan Islam ke Maluku tidak dapat dipisahkan dari jalur
perdagangan yang terbentang antara pusat lalu lintas internasional di
Malaka, Jawa, dan Maluku. Menurut tradisi setempat, sejak abad ke-14,
Islam sudah masuk daerah Maluku. Raja Ternate kedua belas, Molomateya (1350-1357) bersahabat karib dengan orang Arab
yang memberi petunjuk mengenai cara membuat kapal.
Raja yang benar-benar memeluk Islam adalah Zainal
Abidin (1486-1500). Ia mendapat ajaran Islam dari Sunan Giri.
Kekuasaan Ternate dan Tidore mencakup pulau-pulau yang ada di sekitarnya.
Penghasilan utamanya adalah cengkih, pala, rempah-rempah, dan ramuan
obat-obatan yang sangat diperlukan oleh masyarakat Eropa.
Ketika bangsa Portugis datang ke Ternate, mereka bersekutu
dengan bangsa itu (1512). Demikian juga ketika bangsa Spanyol datang ke
Tidore, mereka juga bersekutu dengan bangsa itu (1512). Portugis akhirnya
dapat mendirikan benteng Sao Paulo di Ternate dan banyak melakukan
monopoli perdagangan. Tindakan ini menimbulkan perlawanan yang dipimpin
oleh Sultan Hairun (1550-1570). Tindakan Musquita menangkap Sultan Hairun
dilepas setelah kembali, tetapi kemudian dibunuh setelah paginya disuruh
berkunjung ke benteng Portugis.
Sultan Baabullah (1570-1583) memimpin perlawanan
untuk mengenyahkan Portugis dari Maluku sebagai balasan terhadap kematian
ayahnya. Benteng Portugis dikepung selama 5 tahun, tetapi tidak berhasil. Sultan Tidore yang berselisih dengan
Ternate kemudian membantu melawan Portugis. Akhirnya, benteng Portugis
dapat dikuasai setelah Portugis menyerah karena dikepung dan kekurangan
makanan. Tokoh dari Tidore yang anti-Portugis adalah Sultan Nuku.
Pada tanggal 17 Juli 1780, Pata Alam dinobatkan sebagai
vasal dari VOC dengan kewajiban menjaga keamanan di wilayahnya, yaitu
Maba, Weda, Patani, Gebe, Salawatti, Missol, Waiguna, Waigen,negeri-negeri di
daratan Irian, Pulau Bo, Popa, Pulau Pisang, Matora, dan sebagainya.
Di sisi lain, Nuku terus mengadakan perlawanan terhadap Belanda di Ternate
dan Tidore.
Pada tahun 1783, Pata Alam menjalankan strategi untuk meraih
loyalitas raja-raja Irian. Akan tetapi, usaha tersebut menemui kegagalan,
karena para utusan dengan pasukan mereka berbalik memihak Nuku. Akhirnya,
Pata Alam dituduh oleh Kompeni bersekongkol dengan Nuku. Pata Alam
ditangkap dan rakyat pendukungnya dihukum. Peristiwa ini sering disebut
Revolusi Tidore (1783).
Untuk mengatur kembali Tidore, pada tanggal 18 Oktober 1783,
VOC mengangkat Kamaludin untuk menduduki takhta Tidore sebagai vasal VOC.
Di sisi lain, perjuangan Nuku mengalami pasang surut. Pada tahun 1794,
gerakan tersebut mendapat dukungan dari Inggris. Sekembalinya dari Sailan,
Pangeran Jamaludin beserta angkatannya menggabungkan diri dengan Nuku.
Pada tanggal 12 April 1797 Angkatan Laut Nuku muncul di Tidore. Hampir
seluruh pembesar Tidore menyerah, kecuali Sultan Kamaludin
berserta pengawalnya. Mereka menyerahkan diri ke Ternate. Tidore diduduki
oleh Nuku hingga meninggal tanggal 14 November 1805 dan digantikan oleh
Zaenal Abidin.
Bangsa Portugis bergerak ke Selatan dan Menaklukan Timor
pada tahun 1578. Sultan Baabullah kemudian memperluas kekuasaannya hingga
Maluku, Sulawesi, Papua, Mindano dan Bima. Keberhasilan pemerintahannya membuat
Sultan Baabullah mendapat julukan Tuan dari Tujuh Puluh Dua Pulau.
Kehidupan Politik
Di kepulauan maluku terdapat kerajaan kecil, diantaranya
kerajaan ternate sebagai pemimpin Uli Lima yaitu persekutuan lima bersaudara.
Uli Siwa yang berarti persekutuan sembilan bersaudara. Ketika bangsa portugis
masuk, portugis langsung memihak dan membantu ternate, hal ini dikarenakan
portugis mengira ternate lebih kuat. Begitu pula bangsa spanyol memihak tidore
akhirnya terjadilah peperangan antara dua bangsa kulit, untuk menyelesaikan,
Paus turun tangan dan menciptakan perjanjian saragosa. Dalam perjanjian
tersebut bangsa spanyol harus meninggalkan maluku dan pindah ke Filipina, sedangkan Portugis tetap berada di
maluku.
a.
Sultan
Hairun
(1570-1570)
Untuk
dapat memperkuat kedudukannya, portugis mendirikan sebuah benteng yang di beri
nama Benteng Santo Paulo. Namun tindakan portugis semakin lama di benci oleh
rakyat dan para penjabat kerajaan ternate. Oleh karena itu sultan hairun secara
terang-terangan menentang politik monopoli dari bangsa portugis.
b.
Sultan Baabullah (1570-1583)
Sultan baabullah (Putra Sultan Hairun) bangkit menentang
portugis. Tahun 1575 M Portugis dapat dikalahkan dan meninggalkan benteng.
Kehidupan Ekonomi
Tanah di Kepulauan maluku itu subur dan diliputi hutan rimba
yang banyak memberikan hasil diantaranya cengkeh, bumbu masak, beras, kacang, dan
rempah-rempah. dan
di kepulauan Banda banyak menghasilkan pala. Pada abad ke 12 M permintaan
rempah-rempah meningkat, sehingga cengkeh merupakan komoditi yang penting.
Pesatnya perkembangan perdagangan keluar dari maluku mengakibatkan terbentuknya
persekutuan. Selain itu mata pencaharian perikanan turut mendukung perekonomian
masyarakat.
Kehidupan Sosial
Kedatangan bangsa portugis di kepulauan Maluku bertujuan
untuk menjalin perdagangan dan mendapatkan rempah-rempah. Bangsa Portugis juga
ingin mengembangkan agama katholik. Dalam 1534 M, agama Katholik telah
mempunyai pijakan yang kuat di Halmahera, Ternate, dan Ambon, berkat kegiatan
Fransiskus Xaverius.
Seperti sudah diketahui, bahwa sebagian dari daerah maluku
terutama Ternate sebagai pusatnya, sudah masuk agama islam. Oleh karena itu,
tidak jarang perbedaan agama ini dimanfaatkan oleh orang-orang Portugis untuk
memancing pertentangan antara para pemeluk agama itu. Dan bila pertentangan
sudah terjadi maka pertentangan akan diperuncing lagi dengan campur tangannya
orang-orang Portugis dalam bidang pemerintahan, sehingga seakan-akan merekalah
yang berkuasa.
Setelah masuknya kompeni Belanda di Maluku, semua orang yang
sudah memeluk agama Katholik harus berganti agama menjadi Protestan. Hal ini
menimbulkan masalah-masalah sosial yang sangat besar dalam kehidupan rakyat dan
semakin tertekannya kehidupan rakyat.
Keadaan ini menimbulkan amarah yang luar biasa dari rakyat
Maluku kepada kompeni Belanda. Di Bawah pimpinan Sultan Ternate, perang umum
berkobar, namun perlawanan tersebut dapat dipadamkan oleh kompeni Belanda.
Kehidupan rakyat Maluku pada zaman kompeni Belanda sangat memprihatinkan
sehingga muncul gerakan menentang Kompeni Belanda.
Kehidupan Budaya
Rakyat Maluku, yang didominasi oleh aktivitas perekonomian
tampaknya tidak begitu banyak mempunyai kesempatan untuk menghasilkan
karya-karya dalam bentuk kebudayaan. Jenis-jenis kebudayaan rakyat Maluku tidak
begitu banyak kita ketahui sejak dari zaman berkembangnya kerajaan-kerajaan
Islam seperti Ternate dan Tidore.
9.
Pontianak
Pendiri kerajaan Pontianak itu ialah Syarif
Abdur Rahman bin al-Habib Husein al-Qadri. Habib Husein al-Qadri, ayah beliau
seorang ulama besar, bahkan ramai orang meriwayatkan Habib Husein al-Qadri
adalah seorang ‘Wali Allah’ yang dibuktikan banyak ‘karamah’. Oleh itu, anak
beliau Syarif Abdur Rahman al-Qadri adalah seorang ‘sultan’ dan sekali gus
beliau adalah seorang ‘ulama’. Riwayat di bawah ini adalah berasal dari sebuah
manuskrip yang diperoleh di Pontianak yang saya ringkaskan dan di beberapa
tempat disesuaikan dengan bahasa sekarang.
Pengembaraan
Apabila sampai umur Syarif Abdur Rahman 16
tahun, beliau dibawa oleh ayahnya berpindah dari negeri Matan ke negeri
Mempawah. Setelah berumur 18 tahun, beliau dikahwinkan oleh ayahnya dengan Utin
Cenderamidi, anak Upu Daeng Menambon.
Tatkala umurnya 22 tahun, Syarif Abdur
Rahman pergi ke Pulau Tambelan selanjutnya ke Siantan dan terus ke pusat
pemerintahan Riau di Pulau Penyengat. Beliau tinggal di sana selama kira-kira
dua bulan. Kemudian, ke negeri Palembang dan tinggal di situ sebelas bulan.
Sewaktu hendak kembali ke negeri Mempawah dihadiahkan oleh Sultan Palembang,
Sultan Pelakit sebuah perahu selaf dan seratus pikul timah.
Dan pada ketika itu juga bermuafakat Tuan
Saiyid dan sekelian bangsa Arab di negeri Palembang dan bersetuju memberi
hadiah kepada Syarif Abdur Rahman, dua ribu ringgit. Kemudian Syarif Abdur
Rahman belayar pulang ke negerinya, Mempawah.Setelah dua bulan Syarif Abdur
Rahman al-Qadri di Mempawah, beliau belayar pula ke negeri Banjar dan tinggal
di sana selama empat bulan. Kemudian, belayar pula ke negeri Pasir dan berhenti
di situ selama tiga bulan.
Setelah itu, kembali lagi ke negeri Banjar.
Setelah dua bulan di Banjar, Syarif Abdur Rahman dikahwinkan dengan puteri
Sultan Sepuh, saudara pada Penembahan Batu yang bernama Ratu Syahbanun. Sebelum
berkahwin, Syarif Abdur Rahman al-Qadri telah dilantik oleh Panembahan Batu
menjadi Pangeran dengan nama Pangeran Syarif Abdur Rahman Nur Allam.
Dua tahun kemudian, Syarif Abdur Rahman
al-Qadri kembali ke negeri Mempawah. Setahun kemudian, kembali lagi ke negeri
Banjar. Selama empat tahun di Banjar, beliau memperoleh dua orang putera,
seorang laki-laki diberi nama Syarif Alwi diberi gelar Pangeran Kecil dan yang
seorang perempuan bernama Syarifah Salmah diberi gelar Syarifah Puteri.
Tarikh 11 Rabiulakhir 1185 H/24 Jun 1771 M
Syarif Abdur Rahman keluar dari negeri Banjar kembali ke negeri Mempawah. Ketika
sampai di Mempawah didapatinya Tuan Besar Mempawah, Habib Husein al-Qadri
ayahnya, telah kembali ke rahmatullah. Syarif Abdur Rahman al-Qadri berhenti di
Mempawah selama tiga bulan bermesyuarat dengan adik- beradiknya, ialah Syarif
Ahmad, Syarif Abu Bakar, Syarif Alwi bin Habib Husein al-Qadri dan seorang
kerabat mereka, Syarif Ahmad Ba’abud. Keputusan mesyuarat bahawa Syarif Abdur
Rahman akan keluar dari negeri Mempawah hendak membuat kedudukan di mana-mana
yang patut.
Mengasaskan kerajaan Pontianak
Tarikh 14 Rejab 1185 H/23 Oktober 1771 M,
Syarif Abdur Rahman berangkat dari negeri Mempawah de-ngan 14 buah perahu kecil
bernama kakab. Kemudian, sampailah ia di Sungai Pontianak yang kebetulan tempat
itu dengan masjid yang ada sekarang ini. Syarif Abdur Rahman dan rombongan
berhenti di tempat itu pada waktu malam.
Keesokan harinya, Syarif Abdur Rahman pun
masuk ke Selat Pontianak dan berhenti di situ selama lima malam. Pada hari Rabu
kira-kira pukul 4.00 pagi, Syarif Abdur Rahman memberi perintah menyerang Pulau
Pontianak. Masing-masing mereka mengisi meriamnya dan menembak pulau itu. Kata
Syarif Abdur Rahman, “Berhenti perang kerana sekalian hantu dan syaitan yang
berbuai pada malam hari di pulau itu telah habis lari, janganlah tuan-tuan
takut, marilah kita turun menebas pulau itu”.
Semua anak buah perahu pun turun
bersama-sama Syarif Abdur Rahman menebas pulau itu. Setelah habis ditebas, lalu
didirikan sebuah rumah dan sebuah balai. Kira-kira lapan hari dikerjakan, di
dalam antara itu Syarif Abdur Rahman kembalilah ke Mempawah mengambil sebuah
kapal dan sebuah tiang sambung. Tarikh 4 Ramadhan 1185 H/11 Disember 1771 M
Syarif Abdur Rahman pindah ke pulau itu.
Perang Pontianak Sanggau
Tiada berapa lama negeri itu berdiri, pada
bulan Jumadilakhir 1191 H/ 10 Jun 1777 M, Syarif Abdur Rahman berangkat, mudik
ke negeri Sanggau dengan 40 buah perahu kecil hendak terus ke negeri Sekadau.
Setelah sampai di Sanggau, maka ditahanlah oleh Penembahan Sanggau tiada
diberikannya mudik ke hulu, jauh dari negeri Sanggau. Tetapi Syarif Abdur
Rahman, berkeras hendak mudik.
Oleh sebab itu, Penembahan Sanggau sangat
marah, lalu menembak perahu itu, hingga terjadi peperangan antara kedua-dua
pihak. Setelah tujuh hari berperang, Syarif Abdur Rahman mengundurkan diri
kembali ke negeri Pontianak, untuk persiapan membuat perahu besar. Kira-kira
lapan belas bulan sesudah itu bersamaan, 2 Muharram 1192 H/31 Januari 1778 M
berangkat lagi ke negeri Sanggau dengan sebuah sekuci, dua buah kapal dan 28
buah penjajab. Ketika sampai di Tayan, bertemulah dengan angkatan Sanggau yang
menanti kedatangan angkatan Pontianak di situ.
Angkatan Sanggau kalah, dan lari ke Sanggau.
Tetapi ada lagi angkatan Sanggau di Kayu Tunu, angkatan Sanggau sudah siap
berperang di tempat. Tarikh 26 Muharram 1192 H/24 Februari 1778 M bermulalah
perang di Kayu Tunu. Sanggau kalah pada 11 Safar 1192 H/11 Mac 1778 M. Syarif Abdur
Rahman pun mudik ke Sanggau dan berhenti di situ selama 12 hari. Syarif Abdur
Rahman bersama Raja Haji, Yang Dipertuan Muda Riau membuat benteng pertahanan
di Pulau Simpang Labi, menempatkan enam pucuk meriam di pintunya.
Pulau itu ditukar nama dengan Jambu-Jambu
Taberah. Setelah selesai pekerjaan di Pulau Jambu-Jambu Taberah itu, Sultan
Syarif Abdur Rahman pulang ke Pontianak bersama-sama dengan Yang Dipertuan Muda
Raja Haji.
Pengangkatan Sultan
Setelah sampai di Pontianak, Raja Haji, Yang
Dipertuan Muda Riau memanggil semua orang di dalam negeri Pontianak untuk
memeriksa hal Pa-duka Pangeran Syarif Abdur Rahman Nur Allam akan dijadikan
sultan. Semua isi negeri Pontianak, bersetuju. Raja Haji mengirim utusan ke
negeri Mempawah, Matan, Landak dan Kubu.
Raja-raja itu pun mengaku di hadapan Yang
Dipertuan Muda Raja Haji mengatakan bahawa mereka menerima dengan gembira. Pada
ketika dan tarikh yang baik, hari Isnin, 8 Syaban 1192 H/1 September 1778 M,
sekalian tuan-tuan sayid, raja-raja dan rakyat negeri Pontianak berkumpul di
Pontianak.
Yang Dipertuan Muda Raja Haji dengan suara
yang keras, bertitah, “Adapun kami memberitahu kepada sekalian tuan-tuan sayid,
raja-raja, dan sekalian isi negeri Pontianak ini, pada hari ini, Paduka
Pangeran Syarif Abdur Rahman Nur Allam kita sahkan berpangkat dengan nama
Paduka Sultan Syarif Abdur Rahman al-Qadri, iaitu raja di atas takhta kerajaan
Negeri Pontianak.
Pada
tahun 1194 H/1780 M utusan Kompeni Belanda datang dari Betawi dengan satu
sekuci dan dua buah pencalang. Utusan Belanda itu bernama Ardi William Palam
Petter dari Rembang serta berbicara meminta kepada Sultan Syarif Abdur Rahman untuk
mendiami negeri Pontianak. Bersamanya ada lagi utusan Sultan Banten hendak
menyerahkan pemerintahan negeri Landak kepada Sultan Syarif Abdur Rahman. Maka
Kompeni Belanda pun tetaplah duduk bersetia bersama-sama di dalam negeri
Pontianak.
Pada tahun 1198 H/1784 M Kompeni Belanda bermusuh
dengan Yang Dipertuan Muda Raja Ali Riau. Kom-peni Belanda menyerang Yang
Dipertuan Muda Raja Ali Riau di negeri Sukadana. Negeri Sukadana kalah dalam
perang itu. Pada tahun 1200 H/1785 M, Sultan Syarif Abdur Rahman bersengketa
de-ngan saudara iparnya Raja Mempawah, Penembahan Adi Wijaya, kerana perkara
Sultan Sambas. Akhirnya Sultan Syarif Abdur Rahman terpaksa memerangi negeri
Mempawah. Setelah berperang selama lapan bulan, negeri Mempawah kalah dalam
peperangan itu. Setelah selesai perang, Sultan Syarif Abdur Rahman mengangkat
puteranya yang bernama Pangeran Syarif Qasim berpangkat Penembahan Memerintah
Diatas Takhta Kerajaan Negeri Mempawah.
Selanjutnya, terjadi perselisihan Pontianak
dengan Sambas mulai 3 Rabiulakhir 1206 H/30 November 1791 M. Sultan Syarif
Abdur Rahman bersama Yang Dipertuan Sayid Ali bin Utsman, Raja Siak memerangi
negeri Sambas. Perang yang terjadi selama lapan bulan itu, berakhir dengan seri
iaitu tiada yang kalah atau pun menang.
Wafat
Demikianlah kisah Sultan Syarif Abdur Rahman
al-Qadri yang dilahirkan pada 15 Rabiulawal 1151 H/3 Julai 1738 M dan wafat
pada malam Sabtu, pukul 11.00, tarikh 1 Muharram 1223 H/28 Februari 1808 M. Pada hari itu
juga, Penembahan Syarif Qasim yang berkedudukan di Mempawah, ditabalkan menjadi
Sultan Pontianak dengan menggunakan nama Paduka Sultan Syarif Qasim Raja Duduk
Diatas Takhta Kerajaan Negeri Pontianak.
Pada tarikh 19 Safar 1223 H/16 April 1808 M,
Pangeran Mangku Negara Syarif Husein bin al-Marhum Sultan Syarif Abdur Rahman
dilantik menggantikan Syarif Qasim menjadi raja kerajaan negeri Mempawah.
Pada hari Khamis, pukul 9.00, tarikh 11
Muharram 1228 H/14 Januari 1813 M, Pangeran Syarif Husein kembali ke
rahmatullah. Beliau diganti oleh Penembahan Anom, puteranya Penembahan Adi
Wijaya, menjadi wakil memegang kuasa di dalam negeri Mempawah. Pada tahun 1241
H/ 1825 M, Penembahan Anom kembali ke rahmatullah. Pada tahun 1243 H/1828 M,
Pangeran Adi Pati Geram menjadi wakil menggantikan memegang kuasanya di dalam
negeri Mempawah berpangkat nama Penembahan.
KD.3 Akulturasi Kebudayaan Lokal, Hindu-Budha dan
Islam
1. Perpaduan Tradisi Lokal dengan Hindu-Budha
Telah diketahui bahwa sebelum masuknya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha,
masyarakat Indonesia telah memiliki kebudayaan yang telah tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat. Kebudayaan asli masyarakat Indonesia tersebut sudah cukup
maju. Masuknya budaya Hindu-Budha membawa perubahan dalam kehidupan budaya
masyarakat Indonesia. Unsur kebudayaan Hindu-Budha yang masuk ke Indonesia
lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan Indonesia, tetapi tanpa
menghilangkan sifat kebudayaan asli Indonesia. Dengan demikian, lahirlah
kebudayaan baru yang merupakan akulturasi kebudayaan Indonesia dan Hindu-Budha.
Wujud akulturasi antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan Hindu-Budha
tersebut, antara lai sebagai berikut:
·
Sistem Kepercayaan. Sejak zaman
prasejarah bangsa Indonesia telah memiliki kepercayaan berupa pemujaan terhadap
roh nenek moyang dan juga kepercayaan terhadap benda-benda tertentu.
Kepercayaan itu disebut animism dan dinamisme. Dengan masuknya kebudayaan
Hindu-Budha ke Indonesia, terjadilah akulturasi. Sebagai contoh, dalam upacara
keagamaan atau pemujaan terhadap para dewa di candi, terlihat pula adanya unsur
pemujaan terhadap roh nenek moyang. Dalam bangunan candi terdapat pripih yang
di dalamnya terdapat benda-benda lambang jasmaniah raja yang membangun candi.
Sehingga candi berfungsi sebagai makam. Di atas pripih terdapat arca dewa yang
merupakan perwujudan raja dan pada puncak candi terdapat lambang para dewa
(biasanya berupa gambar teratai pada batu persegi empat). Jadi, upacara
keagamaan atau pemujaan terhadap dewa yang ada pada candi tersebut pada
hakekatnya juga merupakan pemujaan terhadap roh nenek moyang, dan di situlah
letak akulturasinya. Dengan nama yang lain tetapi esensinya adalah pemujaan
terhadap roh nenek moyang.
·
Filsafat (maknanya secara
sederhana alam pikiran, berpikir secara mendalam). Wujud akulturasi Indonesia
dan Hindu—Budha di bidang filsafat dapat ditemukan dalam cerita wayang. Isi
cerita tersebut mengandung nilai filosofis, yaitu bahwa kebenaran dan kejujuran
akan berakhir dengan kebahagiaan dan kemenangan. Sebaliknya, keserakahan dan
kecurangan akan berakhir dengan kehancuran.
·
Seni Wayang. Wayang yang sudah
popular dalam kehidupan masyarakat Indonesia (khususnya masyarakat Jawa)
bersumber dari cerita Ramayana dan mahabrata yang berasal dari India. Namun,
penampilan wujud tokoh dalam wayang tersebut adalah budaya Indonesia yang
antara daerah satu dan lainnya berbeda. Baik dalam agama Hindu maupun Budha,
keduanya mempercayai adanya hukum karma dan reinkarnasi. Kedua hukum tersebut mengandung
makna filosofis, yaitu bahwa manusia harus berbuat kebaikan, kebenaran, dan
kejujuran agar lepas dari samsara atau penderitaan. Sedangkan dalam kehidupan
masyarakat Indonesia sejak dulu telah berkembang suatu konsep berupa
petuah-petuah, nasehat atau pesan yang mengandung makna filosofis tentang
kebenaran, kejujuran dan kebaikan.
·
Pemerintahan. Sebelum masuknya
pengaruh budaya Hindu-Budha, pemerintahan di Indonesia berlangsung secara
demokratis, yaitu untuk menentukan seorang pemimpin (kepala suku) dilakukan
melalui pemilihan. Setelah masuknya budaya Hindu-Budha dikenal sistem
pemerintahan kerajaan yang tidak lagi dipilih secara demokratis, tetapi secara
turun temurun. Namun, dalam perkembangannya sifat pemerintahan demokratis tetap
menampakkan kembali ciri khasnya. Pemerintah kerajaan tetap menerapkan
musyawarah dalam mengambil keputusan. Kekuasaan raja tidak bersifat mutlak
seperti di India. Dalam pergantian raja tidak selalu dilakukan secara
turun-temurun. Unsur musyawarah sangat menentukan, terutama bila raja tidak
mempunyai putra mahkota.
·
Seni Bangunan. Masuknya pengaruh
Hindu-Budha ke Indonesia membawa pengaruh terhadap seni bangunan, terutama
bangunan candi. Jika dilihat dari bentuknya, bangunan candi selalu
bertingkat-tingkat yang terdiri atas kaki candi, tubuh candi, dan puncak candi.
Pada candi Hindu ditemukan pripih yang berisikan lambang jasmaniah raja (yang
membuat candi), kemudian di atasnya terdapat patung dewa dan pada puncaknya
terdapat lambang para dewa. Dengan demikian, jika dilihat dari bentuk
bangunannya candi akan mengingatkan kita pada bangunan punden berundak. Oleh
karena itu, pada candi ditemukan unsur Indonesia dan unsur Hindu-Budha.
·
Fungsi candi di India adalah
sebagai tempat untuk memuja dewa. Di Indonesia, candi berfungsi sebagai makam
dan pemujaan terhadap roh nenek moyang. Hal itu dapat dilihat dengan lambang
jasmaniah raja di dalam pripih, sedangkan arca di atasnya adalah perwujudan
raja yang telah meninggal tersebut.
·
Seni Rupa. Masuknya kebudayan
Hindu-Budha berpengaruh terhadap perkembangan seni rupa di Indonseia. Contoh,
seni hias yang berupa relief pada dinding candi di Indonesia menunjukkan adanya
akulturasi antara budaya Indonesia dan Hindu-Budha. Hiasan relief pada candi
biasanya merupakan suatu cerita yang berhubungan dengan agama.
·
Relief pada dinding Candi
Borobudur seharusnya adalah cerita tentang riwayat Sang Budha Gautama. Namun,
yang digambarkan adalah suasana kehidupan masyarakat Indonesia karena
ditemukannya hiasan gambar perahu bercadik, rumah panggung, dan burung merpati.
Pada Candi Jago di Jawa Timur dijumpai tokoh Punakawan, yaitu orang yang
menjadi pengawal seorang ksatria. Cerita itu hanya ditemukan di Indonesia.
·
Seni Sastra. Pengaruh seni sastra
India juga turut memberi corak dalam seni sastra Indonesia. Bahasa Sansekerta
besar pengaruhnya terhadab sastra Indonesia. Prasasti di Indonesia, seperti
Kutai, Tarumanegara, dan prasasti di Jawa tengah pada umumnya ditulis dalam
bahasa sansekerta dan huruf pallawa. Dalam perkembangan bahasa Indonesia dewasa
ini, pengaruh bahasa sansekerta cukup dominan, terutama dalam istilah
pemerintahan. Seperti kata-kata patih lebet (sebuah jabatan yang mengkordinasi
pemerintahan dalam istana). Pada masa Sultan Agung Titayasa di Banten, patih
lebet dijabat oleh Adipati Mandaraka.
·
Sistem Kalender. Sistem
penanggalan (kalender) Hindu-Budha turut berpengaruh dalam kebudayaan
Indonesia, yaitu digunakannya kalender Saka di Indonesia, juga ditemukan
candrasangkala dalam usaha memperingati suatu peristiwa dengan tahun atau
kalender Saka. Tahun Saka dimulai tahun 78 M. Kalender Saka merupakan kalender
dari India yang digunakan di Indonesia. Penggunaan kalender Saka ditemukan
dalam prasasti Talang Tuo (adalah prasasti yang menjelaskan mengenai keberadaan
Kerajaan Sriwijaya di Sumatra) yang berangka tahun 606 Saka (686 M). Prasasti
tersebut menggunakan huruf pallawa dan bahasa melayu kuno. Dua contoh prasasti
tersebut merupakan wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan Hindu-Budha.
- Candrasangkala adalah angka huruf yang berupa susunan kalimat atau gambar. Setiap kata dalam kalimat tersebut dapat diartikan dengan angka, kemudian dibaca dari belakang maka akan terbaca tahun Saka. Beberapa gambar harus dapat diartikan ke dalam kalimat.
Contoh tahun candrasangkala adalah sirna ilang kertaning bumi yang artinya:
Sirna : berarti angka 0
Ilang : berarti angka 0
Kertaning : berarti 4
Bumi : berarti 1
Jadi, sirna ilang kertaning bumi dalam tahun Saka adalah 1400 dan sama
dengan tahun 1478 M.
2. Perpaduan Tradisi Lokal, Hindu-Budha, dan Islam di Indonesia
Bersamaan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam, berkembang pula
kebudayaan Islam di Indonesia. Unsur kebudayaan Islam itu lambat laun diterima
dan diolah ke dalam kebudayaan Indonesia tanpa menghilangkan kepribadian
Indonesia, sehingga lahirlah kebudayaan baru yang merupakan akulturasi
kebudayaan Indonesia dan Islam. Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam itu
juga mencakup unsur kebudayaan Hindu-Budha. Perpaduan kebudayaan Indonesia dan
Islam, antara lain dapat dilihat sebagai berikut:
A. Seni Bangunan. Misalnya bangunan makam. Makam sebagai hasil kebudayaan
zaman Islam mempunyai ciri-ciri perpaduan antara unsur budaya Islam dan unsur
budaya sebelumnya, seperti berikut ini;
1)
Fisik Bangunan. Pada makam Islam
sering kita jumpai bangunan kijing atau jirat (bangunan makam yang terbuat dari
tembok batu bata) yang kadang-kadang disertai bangunan rumah (cungkup) di
atasnya. Dalam ajaran Islam tidak ada aturan tentang adanya kijing atau
cungkup. Adanya bangunan tersebut merupakan ciri bangunan candi dalam ajaran
Hindu-Budha. Tidak berbeda dengan candi, makam Islam, terutama makam para raja,
biasanya dibuat dengan megah dan lengkap dengan keluarga dan para pengiringnya.
Setiap keluarga dipisahkan oleh tembok dengan gapura (pintu gerbang) sebagai
penghubungnya. Gapura itu belanggam seni zaman pra-Islam, misalnya ada yang
berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi.
2)
Tata Upacara Pemakaman. Pada tata
cara upacara pemakaman terlihat jelas dalam bentuk upacara dan selamatan
sesudah acara pemakaman. Tradisi memasukkan jenazah dalam peti merupakan unsur
tradisi zaman purba (kebudayaan megalithikum yang mengenal kubur batu) yang
hidup terus menerus sampai sekarang. Demikian pula, tradisi penaburan bunga di
makam dan upacara selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus
hari, dan seribu hari untuk memperingati orang yang telah meninggal merupakan
unsur Islam dan juga unsur agama Hindu-Budha. Dan hingga saat ini tetap
dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Islam.
3)
Penempatan Makam. Dalam
penempatan makampun terjadi akulturasi antara kebudayaan lokal, Hindu-Budha dan
Islam. Misalnya, makam terletak di tempat yang lebih tinggi dan dekat dengan
masjid. Contohnya, makam raja-raja Mataram yang terletak di bukit Imogiri dan
makam para wali yang berdekatan dengan masjid. Dalam agama Hindu-Budha makam
dalam candi.
B. Bangunan Masjid. Bangunan masjid merupakan salah satu wujud budaya Islam
yang berfungsi sebagai tempat ibadah. Dalam sejarah Islam, masjid memiliki
perkembangan yang beragam sesuai dengan daerah tempat berkembangnya. Di
Indonesia, masjid mempunyai bentuk khusus yang merupakan perpaduan budaya Islam
dengan budaya setempat. Perpaduan budaya pada bangunan masjid terlihat pada;
1)
Bentuk Bangunan. Bentuk masjid di
Indonesia, terutama di pulau Jawa, bentuknya seperti pendopo (balai atau ruang
besar tempat rapat) dengan komposisi ruang yang berbentuk persegi dan beratap
tumpang. Cirri khusus bangunan masjid di Timur Tengah biasanya bagian atapnya
berbentuk kubah, tetapi di Jawa diganti dengan atap tumpang dengan jumlah
susunan bertingkat dua, tiga, dan lima.
2)
Menara. Menara merupakan bangunan
kelengkapan masjid yang dibangun menjulang tinggi dan berfungsi sebagai tempat
menyerukan azan, yaitu tanda datangnya waktu shalat. Di Jawa terdapat bentuk
menara yang dibuat seperti candi dengan susunan bata merah dan beratap tumpang,
seperti menara masjid Kudus (Jawa Tengah).
3)
Letak Bangunan. Dalam ajaran
Islam, letak bangunanmasjid tidak diatur secara khusus. Namun, di Indonesia,
penempatan masjid khususnya masjid agung, diatur sedemikian rupa sesuai dengan
komposisi mocopat (yaitu masjid ditempatkan di sebelah barat alun-alun), dan
dekat dengan istana (keraton) yang merupakan symbol tempat bersatunya rakyat
dengan raja di bawah pimpinan imam. Selain itu, adanya kentongan atau bedug
yang dibunyikan di masjid Indonesia sebagai pertanda masuknya waktu shalat. Hal
itu juga menunjukkan adanya unsur Indonesia asli. Bedug atau kentongan tidak
ditemukan pada masjid di Timur Tengah.
C. Seni Rupa. Wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan islam pada seni rupa
dapat dilihat pada ukiran bangunan makam. Hiasan pada jirat (batu kubur) yang
berupa susunan bingkai meniru bingkai candi. Pada dinding rumah, makam dan
gapura terdapat corak dan hiasan yang mirip dengan corak dan hiasan yang
terdapat pada Pura Ulu Watu dan Pura Sakenan Duwur di Tuban (Jawa Timur). Salah
satu cabang seni rupa yang berkembang pada awal penyebaran agama Islam di
Indonesia adalah seni kaligrafi. Kaligrafi tersebut biasanya digunakan untuk
menghias bangunan makam atau masjid.
D. Aksara. Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam dalam hal aksara
diwujudkan dengan berkembangnya tulisan Arab Melayu di Indonesia, yaitu tulisan
Arab yang dipakai untuk menulis dalam bahasa Melayu. Tulisan Arab Melayu tidak
menggunakan tanda a, i, u seperti lazimnya tulisan Arab. Tulisan Arab Melayu
disebut dengan istilah Arab gundul.
E.
Pertunjukkan
Peninggalan sejarah yang bercorak Islam dalam bentuk seni pertunjukkan
adalah
:
1) Permaianan
Debus : permainan ini merupakan satu jenis tarian yang agak mengerikan, dimana
pada puncak acara penari memasukan benda tajam ke badannya, tetapi tidak
tembus. Tarian ini diawali dengan nyanyian atau pembacaan ayat-ayat tertentu
dalam al-Qur’an atau Salawat Nabi.
2) Seudati : jenis tarian ini terdapat di Aceh. Seudati
berasal dari kata syaidati, yang artinya permainan orang-orang besar. Seudati sering
disebut saman (delapan), karena permainan itu mula-mula dilakukan oleh
delapan pemain. Dalam seudati, para penari menyanyikan lagu tertentu
yang isinnya berupa Salawat Nabi.
F.
Seni Sastra. Kesusastraan pada
zaman Islam banyak berkembang di daerah sekitar selat Malaka (daerah Melayu)
dan Jawa. Kesusatraan yang berkembang adalah:
1)
Hikayat yaitu cerita atau dongeng yang
berpangkal dari peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk
peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan
bebas atau prosa). Contoh hikayat yang terkenal yaitu Hikayat 1001 Malam,
Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Pandawa Lima (Hindu), Hikayat Sri Rama (Hindu).
2)
Babad adalah kisah rekaan pujangga
keraton sering dianggap sebagai peristiwa sejarah contohnya Babad Tanah Jawi
(Jawa Kuno), Babad Cirebon.
3)
Suluk adalah kitab yang membentangkan
soal-soal tasawwuf contohnya Suluk Sukarsa, Suluk Wijil, Suluk Malang Sumirang
dan sebagainya.
4)
Primbon adalah hasil sastra yang sangat
dekat dengan Suluk karena berbentuk kitab yang berisi ramalan-ramalan,
keajaiban dan penentuan hari baik/buruk.
Bentuk seni sastra tersebut di atas, banyak berkembang di
Melayu dan Pulau Jawa.
Cara penulisan karya sastra pada zaman Islam dilakukan dalam bentuk
gancaran dan tembang. Di Jawa, tembang merupakan suatu bentuk yang lazim,
tetapi di daerah Melayu, tembang dan gancaran ada semua. Cerita yang ditulis
dalam bentuk gancaran disebut hikayat, sedangkan cerita yang ditulis dalam
bentuk tembang disebut syair. Di daerah Melayu, karya sastra itu ditulis dengan
menggunakan huruf Arab, sedangkan di Jawa, naskah itu ditulis dengan menggunakan
huruf Jawa dan Arab (terutama yang membahas soal keagamaan).
G.
Sistem Pemerintahan. Pengaruh
agama Islam di Indonesia juga terjadi dalam bidang pemerintahan sehingga
terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam dan kebudyaan pra-Islam. Sebelum
masuknya agama Islam, di Indonesia telah berkembang sistem pemerintahan dalam
bentuk kerajaan. Raja mempunyai kekuasaan besar dan bersifat turun-temurun.
Masuknya pengaruh Islam mengakibatkan perubahan struktur pemerintahan dalam
penyebutan raja. Raja tidak lagi dipanggil maharaja, tetapi diganti dengan
julukan sultan atau sunan (susuhunan), panembahan, dan maulana. Pada umumnya
nama raja pun disesuaikan dengan nama Islam (Arab).
Akulturasi dalam penyebutan nama raja di Jawa lebih kelihatan karena raja
tetap memakai nama Jawa dibelakang gelar sultan, sunan, atau panembahan,
seperti Sultan Trenggono. Di samping itu, juga muncul tradisi baru di Jawa,
yaitu pemakaian gelar raja secara turun-temurun, sedangkan untuk membedakan
raja yang satu dengan yang lainnya ditentukan dengan menambah angka urutan di
belakang gelar, seperti Hamengkubuwono I, II, III, dan seterusnya.
Begitu pula, dengan sistem pengangkatan raja pada masa berdirinya kerajaan
Islam di Nusantara tetap tidak mengabaikan cara-cara pengangkatan raja pada
masa sebelumnya. Di Kerajaan Aceh, tata cara pengangkatan raja diatur dalam
permufakatan hukum adat.
Catatan
tambahan
Di Kerajaan Aceh, tata cara pengangkatan raja diatur dalam permufakatan
hukum adat. Tata cara pengangkatan raja di Kerajaan Aceh adalah raja berdiri di
atas tabal (tabuh/beduk yang dipalu pada ketika meresmikan penobatan raja,
mengumumkan penobatan raja), kemudian disertai ulama sambil membawa al-Qur’an
berdiri di sebelah kanan dan perdana menteri memegang pedang di sebelah kiri.
Di Jawa, pengangkatan raja dilakukan oleh para wali. Raden Fatah menjadi Sultan
Demak dengan permufakatan para wali dan dilakukan di masjid Demak. Pengangkatan
Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang dan Penembahan Senopati dari Mataram
juga tidak terlepas dari peran Wali Sanga. Perbedaan tata cara pengangkatan
raja di setiap daerah menunjukkan bahwa tradisi lokal tetap digunakan.
H. Sistem Kalender. Wujud akulturasi budaya Indonesia dan Islam dalam sistem
kalender dapat dilihat dengan berkembagnnya sistem kalender Jawa atau Tarikh
Jawa. Sistem kalender tersebut diciptakan oleh Sultan Agung dari Mataram pada
tahun 1043 H atau 1643 M. Sebelum masuknya budaya Islam, masyarakat Jawa telah
menggunakan kalender Saka yang dimulai tahun 78 M. Dalam kalender Jawa, nama
bulan adalah Sura, Safar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir,
Rajab, Ruwah, Pasa, Syawal, Zulkaidah, dan Besar. Nama harinya adalah Senin,
Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Ahad yang dilengkapi hari pasaran,
seperti Legi, Pahing, Pon, Wege, dan Kliwon.
I. Filsafat. Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha menjawab
masalah-masalah yang tidak terjawab oleh disiplin ilmu yang lain. Filsafat akan
mencari suatu kebenaran yang hakiki. Dalam mencari kebenaran, umat Islam
menggunakan pendekatan tasawuf. Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari tentang
orang-orang yang langsung mencari Tuhan karena terdorong oleh cinta dan rindu
terhadap Tuhan. Mereka meninggalkan masyarakat ramai dan kemewahan dunia serta
mendekatkan diri kepada Tuhan dengan seluruh jiwa dan raga mereka. Para pencari
Tuhan itu mengembara ke mana-mana. Mereka dinamakan sufi dan alirannya
dinamakan tasawuf. Bersamaan dengan perkembangan tasawuf, muncul tarekat di
Indonesia, seperti tarekat qadariyah. Tarekat adalah jalan atau cara yang
ditempuh oleh kaum sufi untuk mendekatkan dirinya kepada Allah.
Bentuk akulturasi ilmu tasawuf dengan budaya pra-Islam tampak dalam hal-hal
sebagai berikut:
- Aliran Kebatinan
Dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan, muncul usaha mencari Tuhan dari
kalangan sufi. Seperti ajaran manunggaling kawulo gusti yang diajarkan oleh
Syeikh Siti Jenar. Ajaran Syeikh Siti Jenar banyak dipengaruhi oleh unsur
budaya pra-Islam. Akibatnya, ia dihukum oleh para wali, karena dianggap
menyesatkan.
- Filsafat Jawa
Filsafat Jawa sangat erat sekali hubungannya dengan dunia pewayangan. Oleh
karena itu, dalam penyebaran Islam di pulau Jawa para walimenggunakan wayang
sebagai medianya. Tokoh yang terkenal adalah Sunan Kalijaga.
Perbandingan Konsep Kekuasaan di Kerajaan Hindu-Budha dengan Kerajaan yang
bercorak Islam.
Dalam ajaran Hinduisme dan Budhisme terdapat suatu pandangan yang dikenal
sebagai kosmogoni (asal-usul alam semesta). Dalam konsepsi tersebut manusia
mengaggap bahwa antara dunia manusia dan jagat raya terdapat kesejajaran.
Pandangan tersebut memengaruhi alam pikiran manusia sehingga melahirkan
konsepsi tentang hubungan antara manusia dan jagat raya. Selanjutnya, hal Itu
dihubungkan dengan kegiatan politik dan kekuasaan yang berwujud dalam susunan
pemerintahan. Hal itu terjadi juga pada kerajaan yang bercorak Hindu-Budha yang
menganggap raja dan kerajaannya (mikro kosmos) merupakan gambaran nyata dari
jagat raya (makro kosmos).
Menurut pandangan masyarakat pada zaman Hindu-Budha, raja dianggap sebagai
orang tokoh yang diidentikkan dengan dewa. Kekuasaan raja dianggap tidak
terbatas. Ia tidak dapat diatur dengan cara duniawi karena dalam dirinya
terdapat kekuatan yang mencerminkan roh dewa yang mengendalikan kehendak
pribadinya. Negara dianggap sebagai citra kerajaan para dewa, baik dalam aspek
material maupun aspek spiritualnya. Raja dan para pegawainya memiliki kekuasaan
dan kekuatan yang sepadan dengan yang dimiliki oleh para dewa. Oleh sebab itu,
apa yang dilakukan raja tidak boleh dibantah oleh siapa pun.
Dalam konsep kekuasaan kerajaan yang bercorak Islam, mengkultuskan raja
tidak berlaku karena dalam ajaran agama Islam kedudukan antara manusia dengan
Tuhan sangat berbeda. Tuhan berada di atas segala-galanya. Ajaran Islam
menempatkan raja dalam kedudukan yang tidak semulia dan seagung pada zaman
Hindu-Budha, tetapi sebagai khalifatullah, yaitu sebagai wakil penguasa di
dunia dan akan dimintai pertanggungjawabannya nanti. Manusia yang akan diangkat
sebagai khalifatullah akan mendapat tanda-tanda khusus dari Tuhan dalam bentuk
perlambang tertentu.
Berdasarkan hal tersebut, seorang raja harus memiliki legitimasi
(pengesahan) dari Tuhan. Bentuk legitimasi itu oleh orang Jawa disebut wahyu
atau cahaya nubuwat atau pulung. Seseorang yang mendapat wahyu dari Tuhan
berupa pulung keraton atau kekuatan suci, ia akan menjadi penguasa tanah Jawa.
Selain itu, seorang raja harus memiliki perlambang yang mempunyai kekuatan
magis.
Dalam kitab Babad Tanah Jawi, dikisahkan bahwa takhta Kerajaan Majapahit
sebelum diserahkan kepada Raden Patah harus terlebih dahulu diduduki
(dilungguhi) oleh Sunan Giri selama empat puluh hari sebagai syarat untuk
menolak bala. Perlambang lainnya yang menunjukkan kekuatan magis adalah alat
gamelan berupa gong. Di Kerajaan Banjar, tanda yang berkekuatan magis berupa
payung, keris, umbul-umbul, mahkota dan gamelan. Di Ternate, benda yang
dianggap mempunyai kekuatan magis, antara lain mahkota kereta keranjang,
paying, bendera, keris dan pedang.
Penghapusan konsep dewa raja pada zaman islam tidak mengurangi tuntutan
pokok, yaitu kekuasaan raja yang menyeluruh dan mutlak atas seluruh rakyat.
Sultan sebagai seorang raja yang berkuasa atas rakyatnya dianggap dapat
menghubungkan mereka dengan alam gaib. Hal itu dapat dilihat dalam tradisi
pemberian gelar pangeran (susuhunan, panembahan) kepada seorang sultan atau
raja. Karena raja menduduki posisi sentral, seluruh aparat pemerintahan
merupakan perpanjangan kekuasaan raja. Kekuatan apapun yang mungkin dimiliki
oleh para pejabat diyakini diperoleh dari raja.
Jadi, baik dalam kerajaan-kerajaan Hindu-Budha maupun Islam, konsepsi
magis-religius memainkan peran yang menentukan, tidak hanya dalam melegitimasi
kekuasaan raja, tetai juga dalam menjelaskan peranan orang yang memerintah dan
yang diperintah serta hubungan antara raja dan rakyatnya.
Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki
corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha seperti yang
pernah Anda pelajari pada modul sebelumnya. Dengan masuknya Islam, Indonesia
kembali mengalami proses akulturasi (proses bercampurnya dua (lebih) kebudayaan
karena percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang melahirkan
kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya Islam tersebut tidak
berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang. Bentuk budaya sebagai hasil dari
proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat kebendaan/material tetapi juga
menyangkut perilaku masyarakat Indonesia.
Salam
SPARTAN !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar