Selasa, 12 April 2016

BAHAN AJAR SEJARAH INDONESIA KELAS X SMA SANTU PETRUS PONTIANAK SEMESTER GENAP



Penyusun

IMAM SYAMSUL HUDA S.Pd

SMA SANTU PETRUS
PONTIANAK
KALIMANTAN BARAT
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
KD.I ISLAMISASI DI INDONESIA
A.    Teori Masuknya Islam
1.      Islam datang dari Gujarat ( Teori Gujarat )
Pendapat ini dikemukakakan oleh Soetjipto Wirjosoeparto dan Christian Snouck Hurgronje dari Belanda WF Stutterheim dan Bernard H.M Vlekke. Ia berpendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara bukan dari Arab. Melainkan dari Gujarat/India pada abad ke 13. Dasar teori ini adalah:
a.       Hubungan dagang Indonesia dengan India telah terjalin lama melalui jalur Indonesia-Cambay-Timur Tengah- Eropa
b.      Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
c.       Adanya batu nisan Raja Samudera Pasai, Sultan Malik Al Saleh 1297 yang bercorak khas Gujarat
Pendapat tersebut didasarkan pula kepada unsur-unsur Islam di Nusantara yang menunjukkan persamaannya dengan India.
2. Islam datang dari Arab ( Teori Mekah )
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Dasar teori ini adalah :
a.       Pada abad ke-7 yaitu tahun 674 M dipantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab) dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.
b.      Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
c.       Raja-raja samudra Pasai menggunakan gelar Al-Malik yaitu gelar tersebut berasal dari Mekah dan Mesir. Pendukung teori Mekah ini adalah Buya Hamka, Alwi Shihab, Ahmad Mansur Suryanegara, Fazlur Rahman, Crawford, Niemann, De Holander. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad ke-13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya Agama Islam ke Nusantara terjadi sebelumnya yaitu abad ke-7 M dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.
3. Islam datang dari Persia (Teori Persia)
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara abad ke-13 M dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Teori ini mengungkapkan adanya kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam Nusantara dengan penduduk Persia. Dasar teori ini antara lain:
a.       peringatan hari Asyura (10 Muharam) atas meninggalnya Hasan dan Husen cucu Nabi Muhammad, yang sangat dijunjung oleh orang Syi’ah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di Pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
b.      penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda-tanda bunyi harakat. Baris atas disebut Jabar, bawah disebut Ajer, dan depan disebut Pes, sedang dalam bahasa Arab ejaan itu disebut Fathah, Kasrah dan Dhommah. Didalam tulisan Arab, Sin bergigi sedangkan dalam tulisan Persia tidak bergigi
c.       adanya perkampungan Islam Leran/Leren di Giri, Gresik. Oemar Amir Hoesin mengatakan bahwa di Persia terdapat suku bangsa ”Leren”. Beliau inilah yang dahulu datang ke tanah Jawa sebab di Giri terdapat Kampung Leran, dan nisan Maulana Malik Ibrahim (1419) di Gresik

B.     Proses penyebaran Islam di Nusantara

Proses persebaran pengaruh Islam di Nusantara berjalan dengan lancar. Hal itu terbukti dari wilayah persebaran yang luas, mencakup hampir seluruh kepulauan Nusantara.
Penyebabnya antara lain sebagai tersebut :
a.       Agama Islam yang menyebar di Nusantara disesuaikan dengan adat dan tradisi bangsa Indonesia
b.      penyebarannya dilakukan dengan damai tanpa kekerasan.
c.       Agama Islam tidak mengenal sistem kasta dan menganggap semua manusia mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah.
d.      Upacara-upacara dalam Agama Islam sangat sederhana.
e.       Faktor politik ikut memperlancar penyebaran Agama Islam di Nusantara, yaitu keruntuhan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai kerajaan besar Budha dan Hindu di Nusantara.
f.       Syarat-syarat masuk agama Islam sangat mudah. Seseorang telah dianggap telah masuk Islam bila ia telah mengucapkan dua kalimat syahadat
g.      Islam mengajarkan kesejahteraan
Dari faktor penyebab tersebut diatas agama Islam dapat diterima oleh bangsa Indonesia tidak terlepas dari:
1. Peranan para pedagang.
2. Peranan para ulama/Wali
1. Peranan Pedagang
Awal penyebaran Agama Islam di Nusantara tidak lepas dari peran para pedagang. Para pedagang yang berdatangan di Nusantara berperan sebagai pedagang dan ulama (orang yang memahami ajaran Islam) Oleh karena itu, selain menjalankan profesi berdagang mereka juga  menyebarkan Agama Islam. Mereka amat giat memperkenalkan nilai-nilai Islam ke seluruh penduduk. Para pedagang Gujarat, Arab, dan Persia yang datang ke Nusantara berupaya mencari simpati dari masyarakat setempat. Melalui hubungan yang saling terbuka diantara raja, bangsawan, pedagang dan masyarakat setempat maka terjadilah perubahan sosial baik secara vertikal maupun horizontal.
Perubahan sosial secara vertikal ditandai dengan banyaknya pedagang Islam yang memperoleh keuntungan dari kegiatan dagangnya. Para pedagang tersebut memiliki kekayaan yang cukup banyak sehingga mampu meningkatkan status sosialnya. Menurut perjalanan Tome Pires yang mengunjungi pelabuhan Tuban dan Gresik pada tahun 1514 terdapat pedagang Islam yang kaya dan penguasa-penguasa di pelabuhan. Oleh karena itu para pedagang di pelabuhan Tuban dan Gresik memiliki otonomi yang kuat dan disegani oleh penguasa Majapahit. Islam dan dagang merupakan dua hal yang tidak dipisahkan pada zaman ramainya perdagangan di perairan Nusantara abad ke-12 – ke-17.
2. Peranan Ulama/Wali
Selain para pedagang peran ulama dan Wali sangat besar dalam percepatan proses penyebaran Islam. Mereka menyebarkan agama Islam melalui langgar, surau/madrasah. Madrasah yang tersohor pada waktu itu seperti di Ampel, Giri, Tuban, Kudus dan Demak. Para ulama yang sangat berjasa dalam penyebaran agama Islam di Jawa adalah Wali Sanga atau Wali Sembilan. Wali adalah seorang Islam yang tinggi budi pekertinya dan tinggi dalam ilmu agamanya. Disamping mempunyai peranan yang sangat besar dalam penyebaran agama Islam di Jawa. Wali Sanga juga berperan sebagai penasihat raja dan pendukung raja-raja Islam yang berkuasa, bahkan ada yang menjadi raja, seperti Sunan Gunung Jati.
Para wali / ulama yang dikenal dengan sebutan walisongo di Pulau Jawa terdiri dari :
a.       Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim, dikenal dengan nama Syeikh Maghribi menyebarkan Islam di Jawa Timur.
b.      Sunan Ampel, dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel Surabaya.
c.       Sunan Bonang, adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana Makdum Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).
d.      Sunan Drajat, juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin, menyebarkan Islam di daerah Lamongan.
e.       Sunan Giri, nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit Giri (Gresik).
f.       Sunan Kudus, nama aslinya Syeikh Ja’far Shodiq menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus.
g.      Sunan Kalijaga, nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak.
h.      Sunan Muria, adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid menyebarkan Islam di daerah Gunung Muria.
i.        Sunan Gunung Jati, nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di Jawa Barat (Cirebon).
Sembilan wali yang sangat terkenal di pulau Jawa, Masyarakat Jawa sebagian memandang para wali memiliki kesempurnaan hidup dan selalu dekat dengan Allah, sehingga dikenal dengan sebutan Waliullah yang artinya orang yang dikasihi Allah.
 Islam selain berkembang pesat di Pulau Jawa juga berkembang di pulau lainnya di Indonesia. Dakwah Islam itu juga dilakukan oleh beberapa ulama besar, seperti; Datori Bandang (Gowa, Makassar), Dato Sulaiman (Sulawesi Tengah dan Utara), Tuan Tunggang ri Parangan (Kalimantan Timur) dan Penghulu Demak (Banjarmasin dan Kalimantan Selatan).

 

C.    Saluran penyebaran agama Islam di Nusantara

1.      Perdagangan

Dalam hal ini penyebaran ajaran agama Islam dilakukan oleh pedagang Islam kepada pedagang-pedagang lain. Pada waktu berdagang saudagar-saudagar dari Gujarat, Persia dan Arab berhubungan atau bergaul dengan penduduk setempat (Indonesia). Mereka berhasil mmpengaruhi penduduk setempat hingga tertarik untuk mengant agama Islam.
2.      Perkawinan
Seorang penganut Islam menikah dengan sorang penganut agama lain, sehingga pasangannya masuk Islam. Contoh: pedagang Islam dari Gujarat, Persia dan Arab menetap di Indonesia dan menikahi wanita Indonesia. Di antara wanita yang mereka nikahi adalah putri raja dan bangsawan. Berkat perkawinan itu, agama Islam menjadi cepat berkembang. Keturunan-keturunan mereka pasti memeluk agama Islam. Sesudah raja-rajanya memeluk Islam, sudah tentu rakyatnya dengan dapat terpengaruh, sehingga mereka memeluk agama Islam.
3.      Pendidikan
Pendidikan agama Islam dilakukan melalui lembaga pesantren (pondok pesantren), perguruan khusus agama Islam. Penybaran agama Islam melalui pondok pesantren berarti penyebaran melalui perguruan Islam. Perguruan ini mendidik para santri dari berbagai daerah , setelah tamat mereka mendirikan lembaga atau pondok pesantren didaerah asal mereka. Dengan demikian, agama Islam berkembang dan menyebar keseluruh Indonesia.
Sebelum menjadi lembaga pendidikan resmi pada tahun 1800-an, pesantren berawal dari kegiatan guru agama di masjid atau istana, yang mngajarkan tasawuf di pertapaan atau dekat makam keramat, pada abad XVI dan XVII, sebuah sumber sejarah tradisional yaitu Srat Centhini menyebutkan bahwa cikal bakal pesantren terdapat di Karang, Banten. Pesantren Karang ini berdiri sekitar tahu 1520-an.

4.      Dakwah

Penyebaran agama Islam juga banyak dilakukan oleh para guru dakwah (mubalig). Contoh : penyebaran agama islam di Pulau Jawa dilakukan oleh para wali, yang kemudian terkenal dengan sebutan Wali Sanga atau Wali Songo.
5.      Tasawuf
Tasawuf adalah ajaran ketuhanan yang telah bercampur dengan mistik atau hal-hal yang bersifat magis. Ahli-ahli Tasawuf biasanya memiliki kekuatan magis dan keahlian dalam bidang pengobatan. Kata "tasawuf" sendiri biasanya berasal di kata  "sufi" yang berarti Kain Wol yang terbuat dari bulu Domba. Ajaran Tasawuf ini masuk ke indonesia sekitar Abad ke-13, tetapi baru berkembang Pesat sekitar Abad ke-17.
6.      Kesenian
Agama Islam juga di sebarkan melalui Kesenian. Beberapa bentuknya telah di sebutkan, seperti wayang (oleh Sunan Kalijaga), Gamelan (oleh sunan Drajad) serta Ganding (lagu-lagu) yang berisi Syair-sayair nasehat dan Dasar - dasar Islam. Kesenian yang telah berkembang sebelumnya tidak musnah, tetapi diperkaya oleh seni Islam Lagu-Lagu (disebut Akulturasi). Seni Sastra juga berkembang pesat: Banyak buku tentang Tasawuf, Hikayat dan babat disadur kedalam bahasa Melayu.

KD.2 KERAJAAN ISLAM DI NUSANTARA

1.       SAMUDERA PASAI
Samudera Pasai didirikan oleh Nizamudin Al-Kamil pada tahun 1267. Nizamudin Al-Kamil adalah seorang laksamana angkatan laut dari Mesir sewaktu dinasti Fatimiyah berkuasa. Ia ditugaskan untuk merebut pelabuhan Kambayat di Gujarat pada tahun 1238 M. Setelah itu, ia mendirikan Kerajaan Pasai untuk menguasai perdagangan Lada. Raja pertama Samudera Pasai adalah Marah Silu (Sultan Malik Al Saleh). Ia meninggal lalu digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Malik ath-Thahir/ Malik az-Zahir.
Letak geografis kerajaan samudera pasai terletak di Pantai Timur Pulau Sumatera bagian utara berdekatan dengan jalur pelayaran internasional (Selat Malaka). Letak Kerajaan Samudera Pasai yang strategis, mendukung kreativitas mayarakat untuk terjun langsung ke dunia maritim. Samudera pasai juga mempersiapkan bandar - bandar yang digunakan untuk:
1. Menambah perbekalan untuk pelayaran selanjutnya
2. Mengurus masalah – masalah perkapalan
3. Mengumpulkan barang – barang dagangan yang akan dikirim ke luar negeri
4. Menyimpan barang – barang dagangan sebelum diantar ke beberapa daerah di Indonesia
Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Samudera Pasai diatur menurut aturan – aturan dan hukum – hukum Islam. Dalam pelaksanaannya banyak terdapat persamaan dengan kehidupan sosial masyarakat di negeri Mesir maupun di Arab. Karena persamaan inilah sehingga daerah Aceh mendapat julukan Daerah Serambi Mekkah.
Kerajaan Samudera Pasai berkembang sebagai penghasil karya tulis yang baik. Beberapa orang berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu, yang kemudian disebut dengan bahasa Jawi dan hurufnya disebut Arab Jawi. Selain itu juga berkembang ilmu tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Kehidupan Kerajaan Samudera Pasai pada masa itu sangat makmur. Karena Samudra Pasai dapat menerbitkan mata uang emas sendiri, hal ini menandakan bahwa kerajaan itu cukup makmur. Mata uang emas Kerajaan Samudera Pasai ini telah diperkenalkan pula oleh orang-orang kerajaan itu ke beberapa bandar perdagangan di Nusantara, diantaranya ke bandar Malaka.
Kerajaan Samudera Pasai mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Malik Ath Thahir, sistem pemerintahan Samudera Pasai sudah teratur baik, Samudera Pasai menjadi pusat perdagangan internasional. Pedagang-pedagang dari Asia, Afrika, China, dan Eropa berdatangan ke Samudera Pasai. Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin erat. Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada.
Kemunduran kerajaan Samudera Pasai disebabkan oleh beberapa faktor penyebab, yaitu:
1.Kerajaan Majapahit berambisi menyatukan Nusantara,
2.Berdirinya Bandar Malaka yang letaknya lebih strategis,
3.Setelah Sultan Malik at-Thahir meninggal, tidak ada yang menggantikan sehingga penyebaran agama Islam diambil kerajaan Aceh.
Sumber sejarah adanya kerajaan Samudera Pasai  yaitu berdasarkan berita Marcopolo (th 1292) dan Ibnu Batutah (abad 13). Pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan Islam di Indonesia, yaitu kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya Batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (th 1297) Raja pertama Samudra Pasai.
Silsilah Raja-raja Kerajaan Samudera Pasai
1.      Sultan Malikul Saleh (1267-1297 M)
2. Sultan Muhammad Malikul Zahir (1297-1326 M)
3. Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1326 ± 1345
4. Sultan Malik Az-Zahir (?- 1346)
5. Sultan Ahmad Malik Az-Zahir (1346-1383)
6. Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir (1383-1405)
7. Sultanah Nahrasiyah, (1405-1412)
8. Sultan Sallah Ad-Din (1402-?)
9. Sultan yang kesembilan yaitu Abu Zaid Malik Az-Zahir (?-1455)
10. Sultan Mahmud Malik Az-Zahir, (1455-1477)
11. Sultan Zain Al-‘Abidin, (1477- 1500)
12. Sultan Abdullah Malik Az-Zahir, (1501-1513)
13. Sultan Zain Al’Abidin, (1513-1524)

2.  MALAKA
Kerajaan Malaka secara geografis berada dijalur pelayaran dan perdagangan internasional, yaitu Selat Malaka (Semenanjung Malaya), Pada masa kejayaannya, Kerajaan Malaka merupakan pusat perdagangan dan penyebaran Islam di Asia Tenggara.
Raja-Raja yang Memerintah
1. Iskandar Syah (1396-1414 M)
Pada abad ke-15 M, di Majapahit terjadi perang paregreg yang mengakibatkan Paramisora (Parameswara) melarikan diri bersama pengikutnya dari daerah Blambangan ke Tumasik (Singapura), kemudian melanjutkan perjalanannya sampai ke Semenanjung Malaya dan mendirikan Kp. Malaka
Secara geografis, posisi Kp. Malaka sangat strategis, yaitu di Selat Malaka, sehingga banyak dikunjungi para pedagang dari berbagai Negara terutama para pedagang Islam, sehigga kehidupan perekonomian Kp. Malaka berkembang pesat,
Untuk meningkatkan aktivitas perdagangan di Malaka, maka Paramisora menganut agama Islam dan merubah namanya menjadi Iskandar Syah, kemudian menjadikan Kp. Malaka menjadi Kerajaan Islam.
Untuk menjaga keamanan Kerajaan Malaka, Iskandar Syah meminta bantuan kepada Kaisar China dengan menyatakan takluk kepadanya (1405 M).
2. Muhammad Iskandar Syah (1414-1424 M)
Merupakan putra dari Iskandar Syah, pada masa pemerintahannya wilayah kekuasaan Kerajaan Malaka diperluas lagi hingga mencapai seluruh Semenanjung Malaya.
Untuk menjadi Kerajaan Malaka sebagai penguasa tunggal jalur pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka, maka harus berhadapan dengan Kerajaan Samudera Pasai yang kekuatannya lebih besar dan tidak mungkin untuk bisa dikalahkan, maka dipilih melalui jalur politik perkawinan dengan cara menikahi putri Kerajaan Samudera Pasai, sehingga cita-citanya dapat tercapai.
3. Mudzafat Syah (1424-1458 M)
Setelah berhasil menyingkirkan Muhammad Iskandar Syah, ia kemudian naik tahta dengan gelar sultan (Mudzafat Syah merupakan raja Kerajaan Malaka yang pertama bergelar Sultan).
Pada masa pemerintahannya, terjadi serangan dari Kerajaan Siam (serangan dari darat dan laut), namun dapat digagalkan.
Mengadakan perluasan wilayah ke  daerah-daerah yang berada di sekitar Kerajaan Malaka seperti Pahang, Indragiri dan Kampar.
4. Sultan Mansyur Syah (1458-1477 M)
Merupakan putra dari Sultan Mudzafat Syah. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Malaka mencapai puncak kejayaan sebagai pusat perdagangan dan pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara.
Puncak kejayaan dicapai berkat Sultan Mansyur Syah meneruskan politik ayahnya dengan memperluas wilayah kekuasaanya, baik di Semananjung Malaya maupun di wilayah Sumatera Tengah (Kerajaan Siam berhasil ditaklukan). Raja Siam tewas dalam pertempuran, tetapi putra mahkotanya ditawan dan dikawinkan dengan putri sultan sendiri kemudian diangkat menjadi raja dengan gelar Ibrahim. Indragiri mengakui kekuasaan Malaka.
Kerajaan Samudera Pasai, Jambi dan Palembang tidak serang karena menghormati Majapahit yang berkuasa pada waktu itu, selain itu Kerajaan Aru juga tetap sebagai kerajaan merdeka.
Kejayaan Kerajaan Malaka tidak lepas dari jasa Laksamana Hang Tuah yang kebesarannya disamakan dengan kebesaran Patih Gajah Mada dari Kerajaan Mahapahit. Cerita Hang Tuah ditulis dalam sebuah Hikayat, Hikayat Hang Tuah.
5. Sultan Alaudin Syah (1477-188 M)
Merupakan putra dari Sultan Mansyur Syah. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Malaka mulai mengalami kemunduran, satu persatu wilayah kekuasaan Kerajaan Malaka mulai melepaskan diri. Hal ini disebabkan oleh karena Sultan Alaudin Syah bukan merupakan raja yang cakap.
6. Sultan Mahmud Syah (1488-1511 M)
Merupakan putra dari Sultan Alaudin Syah. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Malaka merupakan kerajaan yang sangat lemah, wilayah kekuasaannya meliputi sebagian kecil Semenanjung Malaya, hal ini menambah suram kondisi Kerajaan Malaka.
Pada tahun 1511 M, terjadi serangan dari bangsa Portugis di bawah pimpinan Alfonso d’Alberquerque dan berhasil Merebut Kerajaan Malaka. Akhirnya Malaka pun jatuh ke tangan Portugis.
Kehidupan Budaya
Perkembangan Seni sastra Melayu mengalami perkembangan yang pesat seperti munculnya karya-karya sastra yang menggambarkan tokoh-tokoh kepahlawanan dari Kerajaan Malaka seperti Hikayat Hang Tuah, Hikayat Hang Lekir dan Hikayat Hang Jebat.

3. ACEH
Secara Geografis, Kerajaan Aceh terletak di Pulau Sumatera bagian utara dan dekat jalur pelayaran dan perdagangan internasional, yaitu Selat Malaka.
Raja-Raja yang Memerintah
Mengenai berdirinya Kerajaan Aceh, tidak dapat diketahui dengan pasti. Berdasarkan Bustanusslatin (1637 M) karangan Nuruddin Ar Raniri yang berisi silsilah sultan-sultan Aceh, dan berdasarkan berita-berita Eropa, diketahui bahwa Kerajaan Aceh telah berhasil membebaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir.
Adapun raja-raja yang memerintah :
1. Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528 M)
Merupakan raja pertama di Kerajaan Aceh. Pada masa pemerintahannya, diadakan perluasan wilayah kebeberapa daerah di wilayah Sumatera Utara seperti daerah Daya,dan Pasai, bahkan melalukan serangan terhadap Portugis yang berkedudukan di Malaka dan menyerang Kerajaan Aru.
2. Sultan Salahuddin (1528-1537 M)
Merupakan putera dari Sultan Ali Mughayat Syah. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Aceh mengalami kemerosotan yang sangat tajam, karena Sultan Salahuddin tidak memperdulikan pemerintahannya. Akhirnya Sultan Salhuddin digantikan saudaranya yang bernama Alauddin Riayat Syah-al-Kahar untuk menyelematkan Kerajaan Aceh.
3. Sultan Alauddin Riayat Syah-al-Kahar (1537-1568 M)
Pada masa pemerintahannya, diadakan berbagai perubahan dan perbaikan dalam segala bentuk pemerintahan Kerajaan Aceh. Diadakan perluasan wilayah dengan menyerang Kerajaan Malaka (tapi gagal). Kerajaan Aru berhasil di taklukan.
Setelah Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar wafat, Kerajaan Aceh mengalami kemunduran yang sangat tajam. Pemberontakan dan perebutan kekuasaan sering terjadi. Baru setelah Sultan Iskandar Syah naik tahta, Kerajaan Aceh mengalami perkembangan yang pesat.
4. Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M)
Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaan sebagai kerajaan besar dan berkuasa atas perdagangan Islam dan menjadi bandar transito yang dapat menghubungkan dengan pedagang Islam di dunia Barat.
Untuk mencapai kebesaran Kerajaan Aceh, Sultan Iskandar Muda melakukan serangan terhadap portugis di Malaka dan Kerajaan Johor di Semenanjung Malaya dengan tujuan menguasai jalur pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka dan menguasai daerah-daerah penghasil lada.
Sultan Iskandar Muda menolak permintaan Inggris dan Belanda untuk membeli lada di pesisir Sumatera bagian barat.
Kerajaan Aceh melakukan pendudukan terhadap daerah-daerah seperti Aru, Pahang, Kedah, Perlak dan Indragiri. (sehingga wilayah kekuasaannya sangat luas).
Pada masa pemerintahannya, hidup dua ahli tasawuf yang terkenal di Aceh, yaitu Syekh Syamsuddin bin Abdullah as-Samatrani dan Syekh Ibrahim as-Syamsi.
5. Sultan Iskandar Thani (1636-1641 M)
Merupakan menantu dari Sultan Iskandar Muda. Ia memerintah dengan meneruskan tradisi kekuasaan Sultan Iskandar Muda.
Pada masa pemerintahannya, hidup seorang ulama besar yang bernama Nuruddin ar-Raniri yang menulis sejarah Aceh berjudul Bustanu’ssalatin. Sebagai ulama besar, ia sangat dihormati oleh Sultan dan keluarganya serta rakyat Aceh
Setelah Sultan Iskandar Thani wafat, tahta kerajaan diteruskan oleh permaisurinya (putri Sultan Iskandar Syah) dengan gelar Putri Sri Alam Permaisuri (1641-1675 M).

4. DEMAK
Kerajaan Dernak secara geografis terletak di Jawa Tengah. Kerajaan Demak merupakan kerajaan lslam pertama di Pulau Jawa, yang pada awal munculnya Kerajaan Demak mendapat bantuan dari para bupati daerah pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur yang telah menganut agama lslam. Sebelumnya Demak bernama Bintoro yang merupakan daerah vassal atau bawahan Kerajaan Majapahit. Kemudian kekuasaannya diberikan kepada Raden Patah, salah seorang keturunan Raja Brawijaya V (Raja Majapahit) dan ibunya menganut lslam serta berasal dari Jeumpa.
Adapun faktor-faktor yang mendorong berdirinya Kerajaan Demak adalah sebagai berikut.
  1. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis yang menyebabkan para pedagang Islam mencari persingggahan dan perdagangan baru, misalnya di Demak.
  2. Raden Patah, pendiri Demak masih keturunan Raja Majapahit Brawijaya V.
  3. Raden Patah mendapat dukungan dari para wali yang sangat dihormati.
  4. Banyak adipati pesisir yang tidak puas dengan majapahit dan mendukung Raden Patah.
  5. Mundur dan runtuhnya Majapahit.
  6. Pusaka Kerajaan Majapahit sebagai lambang pemegang kekuasaan diberikan kepada Raden Patah. Dengan demikian, kerajaan Demak merupakan kelanjutan dari Kerajaan Majapahit dalam bentuk yang baru. 
Adapun rala-raja yang pernah memerintah Kerajaan Demak adalah sebagai berikut.
1.      Raden Patah (1500-1518M)
Raden patah adalah raja pertama Kerajaan Demak yang bergelar Sultan Alam Akbar al-Fatah. Kerajaan Demak berkembang dengan pesat sebagai pusat perdagangan dan pusat penyebaran agama lslam.
2.      Adipati Unus (1518-1521 M)
Masa pemerintahan Adipati Unus tidak begitu lama, karena ia meninggal dalam usia yang masih sangat muda. Walaupun demikian, Adipati Unus dikenal sebagai panglima perang yang gagah berani melakukan blokade terhadap Portugis di Malaka. Oleh karena Adipati Unus meninggal tidak meninggalkan putra mahkota, maka Adipati Unus digantikan oleh salah seorang adiknya yang bernama Raden Trenggana.
3.      Sultan Trenggana (1521-1546 M)
Sultan Trenggana dilantik menjadi raja Demak oleh Sunan Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Pada masa pemerintahan Sultan Trenggana, Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaannya dan agama lslam berkembang lebih luas. Pada tahun 1522M Demak mengirimkan pasukan ke Jawa Barat yang dipimpin oleh Fatahillah. Tujuan pengirirnan tersebut untuk menggagalkan terjadinya hubungan antara Kerajaan Pajajaran dan Portugis. Fatahillah berhasil mengusir Portugis dan menduduki Banten dan Cirebon, kernudian Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta (yang artinya kemenangan penuh). Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 M, kemudian diperingati sebagai hari jadi Kota Jakarta.
Dalam perluasan pengaruh Demak di Jawa Timur dipimpin langsung oleh Sultan Trenggana. Satu per satu daerah di Jatim, seperti Madiun, Gresik, Tuban, Singasari, dan Blambangan berhasil dikuasai. Namun, ketika menyerang Pasuruan pada tahun 1546 M, Sultan Trenggana gugur.
Kehidupan Sosial Ekonomi
Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Demak telah diatur sesuai dengan ajaran lslam, tetapi ada pula masyarakat yang masih menjalankan tradisi lama. Sehingga, muncullah kehidupan sosial masyarakat yang merupakan perpaduan antara agama lslam dan tradisi lama (Hindu-Buddha).
Kehidupan perekonomian Kerajaan Demak menitikberatkan pada sektor perdagangan dan pertanian. Perekonomian Kerajaan Demak berkembang dengan pesat dalam dunia maritim, hal tersebut didukung oleh sektor pertanian yang cukup besar. Keiajaan Demak juga mengusahakan kerja sama dengan daerah di pantai utara Jawa yang telah menganut agama lslam sehingga tercipta persekutuan di bawah pimpinan Demak.
Kehidupan Budaya
Salah satu hasil peninggalan budaya Kerajaan Demak adalah Masjid Agung Demak yang terkenal dengan salah satu tiangnya yang terbuat dari pecahan kayu (tatal), Oleh karena terbuat dari pecahan kayu, maka tiang tersebut diberi nama “saka tatal”. Pembangunan masjid ini dipimpin oleh Sunan Kalijaga. Di pendopo masjid inilah Sunan Kalijaga meletakkln dasar-dasar perayaan sekaten yang tujuannya untuk menyebarkan tradisi lslam. Tradisi tersebut sampai sekarang masih berlangsung di Jogjakarta dan di Surakarta.



5.  MATARAM ISLAM
Kerajaan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.
Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang

Kehidupan Politik
Sesudah runtuhnya Kerajaan Demak, pusat pemerintahan dipindahkan ke Pajang oleh Joko Tingkir ( menantu Sultan Trenggono). Joko Tingkir menaiki takhta Kerajaan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo. Usia pemerintahannya tidak begitu lama yakni 1568–1586. Hal ini disebabkan kota-kota pesisir terus memperkuat diri dan berusaha melepaskan dari kekuasaan Pajang. Setelah Sultan Hadiwijoyo meninggal (1586) takhta Pajang digantikan oleh putranya, yakni Pangeran Benowo. Ternyata, Pangeran Benowo tidak dapat mengatasi kekacauan-kekacauan sehingga kekuasaan diserahkan kepada Sutowijoyo. Puncaknya, Sutawijoyo memindahkan pusat pemerintahan ke Kotagede dan berdirilah Kerajaan Mataram Islam.
Sutowijoyo mengangkat dirinya sebagai Raja Mataram pertama dengan gelar Panembahan Senopati (1586–1601) dengan Kotagede sebagai ibukotnya. Tindakan-tindakannya yang penting, antara lain sebagai berikut:
1) meletakkan dasar-dasar Kerajaan Mataram;
2) memperluas wilayah kekuasaan dengan menundukkan Surabaya, Madiun, dan  Ponorogo ke timur dan ke barat berhasil menundukkan Cirebon dan Galuh.
Pengganti Panembahan Senopati ialah Mas Jolang gugur di daerah Krapyak sehingga disebut Panembahan Seda Krapyak. Raja terbesar Kerajaan Mataram ialah Mas Rangsang dengan gelar Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613–1645).Sultan Agung bercita-cita mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaan Mataram dan mengusir Kompeni (VOC) dari Batavia.
Masa pemerintahan Sultan Agung yang selama 32 tahun dibedakan atas dua periode, yaitu masa Penyatuan Kerajaan dan masa Pembangunan. Masa Penyatuan Kerajaan (1613–1629) merupakan masa peperangan untuk mewujudkan cita-cita menyatukan seluruh Jawa. Sultan Agung menundukkan Gresik, Surabaya, Kediri, Pasuruan, dan Tuban. Selanjutnya, menundukkan Lasem, Pamekasan, dan Sumenep, bahkan juga Sukadana di Kalimantan. Dengan demikian, seluruh Jawa telah takluk di bawah Mataram bahkan sampai ke luar Jawa, yakni Palembang, Sukadana, dan Goa.
Setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Cirebon berhasil dikuasai, Sultan Agung merencanakan untuk menyerang Batavia. Serangan pertama dilancarkan pada bulan Agustus 1628 di bawah pimpinan Bupati Baurekso dari Kendal dan Bupati Ukur dari Sumedang. Batavia dikepung dari darat dan laut selama dua bulan, namun tidak mau menyera,h bahkan sebaliknya tentara Mataram dipukul mundur.
Dipersiapkan serangan yang kedua lebih matang dengan membuat pusat-pusat perbekalan makanan di Tegal, Cirebon, dan Krawang. Serangan kedua dilancarkan bulan September 1629 di bawah pimpinan Bupati Sura Agul-Agul, Mandurarejo, dan Uposonto. Namun, VOC telah mengetahui lebih dahulu rencana tersebut. Hal itu dibuktikan dengan tindakan VOC membakar dan memusnahkan gudang-gudang perbekalan. Serangan kedua Mataram ke Batavia mengalami kegagalan karena kurangnya perbekalan makanan, kalah persenjataan, jarak Mataram–Jakarta sangat jauh, dan tentara Mataram terjangkit wabah penyakit.
Setelah Sultan Agung meninggal, takhta kerajaan digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Amangkurat I (1645–1677). Berbeda dengan ayahnya, raja ini tidak bijaksana dan cenderung kejam dan kurang memperhatikan kepentingan rakyat. Banyak rakyat dan kaum bangsawan tidak menyukainya.
Hal yang sangat tidak disenangi ialah persahabatannya dengan VOC yang dahulu sangat dibenci oleh ayahnya. Akibat muncullah pemberontakan Trunojoyo (1674–1680). Trunojoyo adalah pangeran dari Madura yang tidak senang terhadap tindakan Amangkurat I sehingga menghimpun kekuatan untuk menyerang Mataram. Pada tahun 1677 pasukan Trunojoyo berhasil menduduki Plered, ibu kota Mataram. Amangkuat I bermaksud minta bantuan VOC ke Batavia, namun baru sampai di Tegalarum meninggal sehingga dimakamkan di tempat itu juga. Oleh karena itu, Amangkurat I dikenal juga sebagai Sultan Tegalarum. Pengganti Amangkurat I adalah putra mahkota yang bergelar Sultan Amangkurat II (1677–1703).
Untuk menghadapi Trunojoyo, Amangkurat II meminta bantuan VOC di Semarang. Pimpinan VOC, Speelman menyetujui permintan Amangkurat II dengan suatu perjanjian (1670) yang isinya sebagai berikut.
a.       VOC mengakui Amangkurat II sebagai Raja Mataram.
b.      VOC mendapatkan monopoli di Mataram.
c.       Seluruh biaya perang harus diganti oleh Amangkurat II.
d.      Sebelum hutangnya lunas seluruh pantai utara Jawa digadaikan kepada VOC.
e.       Mataram harus menyerahkan daerah Krawang, Priangan, Semarang dan sekitarnya  kepada VOC.
Pada saat itu Tronojoyo telah berhasil mendirikan istana di Kediri dengan gelar Prabu Maduretno. Tentara VOC di bantu oleh tentara Aru Palaka dari Makasar dan Kapten Jonker dari Ambon bersama tentara Mataram akhirnya menyerang Kediri. Tronojoyo tidak mampu menghadapi gempuran tentara Mataram dan VOC, terus terdesak ke daerah pegunungan dan bertahan di Gunung Wilis. Trunojoyo menyerah pada tanggal 25 Desember 1679 dan akhirnya gugur ditikam keris oleh Amangkurat II pada tanggal 2 Januari 1680. Sultan Amangkurat II kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Plered ke Kartasura.
Perlawanan Untung Suropati (1686–1706)
Untung Suropati, demikianlah nama pejuang pada masa Mataram di bawah pemerintahan Amangkurat II. Sikap benci Untung kepada VOC telah muncul sejak di Batavia. Untung kemudian melarikan diri ke Cirebon dan terjadi perkelahian dengan Suropati maka namanya menjadi Untung Suropati. Dari Cirebon Untung terus melanjutkan perjalanan ke Kartasura.
Amangkurat II setelah menjadi raja merasakan betapa beratnya perjanjian yang telah ditandatangani dan berusaha untuk melepaskan diri. Ketika Untung Suropati tiba di Kartasura disambut dengan baik. Pada tahun 1686 datang utusan dari Batavia di bawah pimpinan Kapten Tack dengan maksud merundingkan soal hutang Amangkurat II dan menangkap Untung Suropati.
Amangkurat II menghindari pertemuan ini dan terjadilah pertempuran. Kapten Tack beserta pengikutnya berhasil dihancurkan oleh pasukan Untung Suropati. Untung Suropati kemudian melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur dan sampailah ke Pasuruan Di sinilah akhirnya Untung mendirikan istana dan mengangkat dirinya sebagai bupati dengan gelar Adipati Wironagoro. Di Bangil didirikan perbentengan. Bupati-bupati seluruh Jawa Timur mendukungnya, dengan demikian kedudukannya makin kuat.
Pada tahun 1703, Amangkurat II wafat, digantikan oleh putranya Sunan Mas dengan gelar Sultan Amangkurat III yang anti kepada Belanda. Pamannya Pangeran Puger (adik Amangkurat II) berambisi ingin menjadi raja di Mataram dan pergi ke Semarang untuk mendapatkan dukungan dari VOC. Selanjutnya, VOC berserta Pangeran Puger menyerang Kartasuradan berhasil diduduki. Amangkurat III melarikan diri ke Jawa Timur bergabung dengan Untung Suropati. Pada tahun 1704 Pangeran Puger dinobatkan sebagai Raja Mataram dengan gelar Sunan Paku Buwono I.
Pihak Belanda menyiapkan pasukan secara besar-besaran untuk menggempur pasukan Untung di Pasuruan. Di bawah pimpinan Herman de Wilde, pasukan kompeni berhasil mendesak perlawanan Untung. Dalam pertempuran di Bangil, Untung terluka dan akhirnya gugur pada tanggal 12 Oktober 1706. Sunan Mas bisa tertangkap dan kemudian dibuang ke Sailan/Sri Langka (1708).
Pada tahun 1719 Sunan Paku Buwono I wafat dan digantikan oleh Amangkurat IV (Sunan Prabu) di bawah mandat VOC. Makin eratnya hubungan denganVOC membuat para bangsawan benci kepada kompeni. Mereka mengadakan perlawanan, antara lain Pangeran Purboyo (adik Sunan) dan Pangeran Mangkunegoro (putra Sunan sendiri). Perlawanan terhadap Kompeni dapat dipadamkan dan para pemimpinya ditangkap dan dibuang ke Sailan dan Afrika Selatan, kecuali Pangeran Mangkunegoro yang diampuni ayahnya.
Pada masa pemerintahan Paku Buwono II (1727–1749) Mataram diguncang lagi perlawanan yang dipimpin oleh Mas Garendi (cucu Sunan Mas). Perlawanan ini di dukung oleh orang-orang Tionghoa yang gagal mengadakan pemberontakan terhadap VOC di Batavia. Mas Garendi berhasil menduduki ibu kota Kartasura.
Paku Buwono II melarikan diri ke Ponorogo. VOC meminta bantuan kepada Bupati Madura, Cakraningrat untuk merebut kembali Kartasura dengan imbalan keinginan Cakraningrat untuk melepaskan diri dari Mataram akan dikabulkan. Cakraningrat berhasil merebut kembali Kartasura dan Paku Buwono II berhasil kembali ke Kartasura sebagai raja. Namun, antara VOC dan Cakraningrat terjadi perselisihan karena Cakraningrat keberatan meninggalkan Kartasura. Perselisihan berakhir dengan ditangkapnya dan di buang ke Afrika Selatan (1745).
Setelah beberapa kali terjadi perlawanan di Kartasura, Kartasura dianggap tidak layak sebagai ibu kota kerajaan sehingga pusat pemerintahan dipindahkan ke Surakarta. Makin bercokolnya VOC di Mataram menyebabkan pada masa Paku Buwono II ini juga terjadi perlawanan lagi di bawah pimpinan Raden Mas Said (putra Pangeran Mangkunegoro) dan menduduki Sukowati. Oleh Paku Buwono II dikeluarkan semacam sayembara, siapa yang dapat merebut daerah Sukowati akan mendapat daerah itu sebagai imbalannya. Pangeran Mangkubumi, adik Paku Buwono II berhasil merebut Sukowati, tetapi ternyata daerah itu tidak diberikan. Pangeran Mangkubumi meninggalkan kota dan bergabung dengan Raden Mas Said melakukan perlawanan.
Mataram Terpecah Belah
Setelah Mangkubumi bergabung dengan Mas Said, terjadilah persekutuan antara Mangkubumi dan Mas Said melawan Paku Buwono II dan III. Pada waktu Paku Buwono II sakit keras, utusan VOC dari Batavia datang ke  Surakarta. Dalam keadaan lemah dan tidak sadar, Paku Buwono II menyerahkan Mataram kepada VOC. Hasl yang demikian mungkin saja terjadi. Menurut tradisi Timur orang yang akan meninggal biasanya menyerahkan keluarganya kepada orang yang menjadi kepercayaannya. Hal ini diartikan oleh Belanda bahwa sejak itu VOC berkuasa penuh atas Mataram.
Pada tahun 1749 Paku Buwono II wafat dan digantikan oleh putranya yang bergelar Paku Buwono III. Awalnya, Belanda mengakuinya sebagai Sultan Mataram yang baru, tetapi setelah itu VOC berusaha untuk memecah belah Mataram sehingga dapat dikuasainya.
Perlawanan Mangkubumi dan Mas Said cukup tangguh. Raden Mas Said mendapat julukan Pangeran Samber Nyowo (pangeran perenggut jiwa). Namun, karena di antara keduanya kterjadi perselisihan sehingga dimanfaatkan oleh Belanda untuk memecah belah Mataram. Perseteruan antara Paku Buwono II yang dibantu Kompeni dan Pangeran Mangkubumi dapat diakhiri dengan Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 Isi Perjanjian Giyanti pada intinya Mataram dipecah menjadi dua.
a.       Mataram barat yakni Kasultanan Yogakarta diberikan kepada Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I.
b.      Mataram timur ,yakni Kasunanan Surakarta diberikan kepada Paku Buwono III.
Selanjutnya ,untuk memadamkan perlawanan Raden Mas Said diadakan Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757. Isi Perjanjian Salatiga pada intinya Surakarta dibagi menjadi dua.
a.       Surakarta utara diberikan kepada Mas Said dengan gelar Mangkunegoro I, kerajaannya dinamakan Mangkunegaran.
b.      Surakarta selatan diberikan kepada Paku Buwono III kerajaannya dinamakan Kasunanan Surakarta.
c.       sebagian daerah Kasultanan Yogyakarta diberikan kepada Paku Alam selaku bupati.
Dengan demikian, Kerajaan Mataram yang dahulinya satu, kuat, dan kokoh pada masa pemerintahan Sultan Agung akhirnya terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajan kecil berikt ini:
a.       Kerajaan Yogyakarta;
b.      Kasunanan Surakarta;
c.       Pakualaman;
d.      Mangkunegaran.
Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Mataram yang terletak di pedalaman merupakan sebuah kerajaan agraris dengan hasil utamanya beras. Pada masa Sultan Agung, kehidupan masyarakat Mataram mengalami perkembangan pesat. Pada masa ini hasil bumi Mataram cukup melimpah.
Kehidupan Sosial-Budaya
Pada masa Pembangunan, maka Sultan Agung melakukan usaha-usaha antara lain untuk meningkatkan daerah-daerah persawahan maka memprogramkan pemindahan para petani ke daerah Krawang yang subur.
Atas dasar kehidupan agraris itulah disusun suatu masyarakat yang bersifat feodal. Para pejabat pemerintahan memperoleh imbalan berupa tanah garapan (lungguh), sehingga sistem kehidupan ini menjadi dasar munculnya tuan-tuan tanah di Jawa.
Pada masa kebesaran Mataram, kebudayaan juga berkembang, antara lain seni tari, seni pahat, seni sastra, dan sebagainya. Di samping itu juga muncul kebudayaan kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayan jawa, Hindu, Buddha dengan Islam.
Upacara Garebeg yang bersumber pada pemujaan roh nenek moyang berupa kenduri gunungan yang merupakan tradisi sejak zaman Majapahit dijatuhkan pada waktu perayaan hari besar Islam sehingga muncul Garebeg Syawal pada hari raya Idul Fitri dan Garebeg Maulud pada bulan Rabiulawal. Hitungan tahun yang sebelumnya merupakan tarikh Hindu yang didasarkan pada peredaran matahari (tarikh samsiah) maka sejak tahun 1633 diubah menjadi tarikh Islam yang berdasarkan pada peredaran bulan (tarikh komariah). Tahun Hindu 1555 diteruskan dengan perhitungan baru dan dikenal dengan tahun Jawa.
Adanya suasana yang aman, damai dan tenteram menyebabkan berkembangnyaa kesusastraan Jawa. Sultan Agung mengarang kitab Sastra Gending yang berupa filsafat. Demikian juga muncul kitab Nitisruti, Nitisastra, dan Astabrata yang berisi ajaran tabiat baik yang bersumber pada kitab Ramayana.



6. BANTEN
Kerajaan Banten didirikan oleh Fatahillah (1527). Semula, Banten merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Hindu Pajajaran. Kemudian, Banten direbut dan diperintah oleh Fatahillah dari Demak. Pada tahun 1552, Fatahillah menyerahkan Banten kepada putranya, Hasanuddin. 
Fatahillah sendiri pergi ke Cirebon dan berdakwah di sana sampai wafat (1570). Ia dimakamkan di desa Gunung Jati. Oleh karena itu, ia disebut Sunan Gunung Jati. Di bawah pemerintahan Hasanuddin (1552 – 1570), Banten mengalami kemajuan di bidang perdagangan dan wilayah kekuasaannya meluas sampai ke Lampung dan Sumatra Selatan. Setelah wafat, Hasanuddin digantikan oleh putranya, Panembahan Yusuf (1570 –1580). Pada masa pemerintahannya, Pajajaran berhasil ditaklukkan (1579).
Panembahan Yusuf wafat pada tahun 1580 dan digantikan putranya, Maulana Muhammad (1580 – 1597). Pada masa pemerintahannya, datanglah Belanda. Ia menyambut kedatangan Belanda dan oleh Belanda ia diberi gelar Ratu Banten. Sepeninggal Ratu Banten, pemerintahan dipegang oleh Abdulmufakir yang masih kanak-kanak (1597 – 1640). Ia didampingi oleh walinya, Pangeran Ranamenggala. Pada tahun 1640, Abdulmufakir diganti oleh Abu Mali Ahmad (1640 – 1651).
Pemerintahan selanjutnya dipegang oleh Abdul Fatah yang bergelar Sultan Ageng Tirtayasa (1651 – 1682). Pada masa pemerintahannya, Banten mencapai kejayaan. Sultan Ageng mengadakan pembangunan, seperti jalan, pelabuhan, pasar, masjid yang pada dasarnya untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Banten. Namun sejak VOC turut campur tangan dalam pemerintahan Banten, kehidupan sosial masyarakatnya mengalami kemerosotan.
Usaha-usaha yang dilakukan Sultan Ageng terhadap Kerajaan Banten:
1. memajukan perdagangan Banten dengan meluaskan daerah kekuasaan,
2. menjadikan Banten sebagai bandar internasional,
3. memodernisasi bangunan istana dengan arsitektur Lukas Cardeel,
4. memajukan Islam,
5. menentang monopoli VOC dan mengusir VOC dari Banten, dan
6. membangun armada laut.
Keadaan semakin memburuk ketika terjadi pertentangan antara Sultan Ageng dan Sultan Haji, putranya dari selir. Pertentangan ini berawal ketika Sultan Ageng mengangkat Pangeran Purbaya (putra kedua) sebagai putra mahkota. Pengangkatan ini membuat iri Sultan Haji. Berbeda dengan ayahnya, Sultan Haji memihak VOC. Bahkan, dia meminta bantuan VOC untuk menyingkirkan Sultan Ageng dan Pangeran Purbaya. 
Sebagai imbalannya, VOC meminta Sultan Haji untuk menandatangani perjanjian pada tahun 1682 yang isinya, antara lain, Belanda mengakui Sultan Haji sebagai sultan di Banten; Banten harus melepaskan tuntutannya atas Cirebon, Banten tidak boleh berdagang lagi di daerah Maluku, hanya Belanda yang boleh mengekspor lada dan memasukkan kain ke wilayah kekuasaan Banten; Cisadane merupakan batas antara Banten dan Belanda. Perjanjian tersebut mengakibatkan Banten berada pada posisi yang sulit karena ia kehilangan peranannya sebagai pelabuhan bebas sejak adanya monopoli dari Belanda.
Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap oleh VOC sedangkan Pangeran Purbaya dapat meloloskan diri. Setelah menjadi tawanan Belanda selama delapan tahun, Sultan Ageng wafat (1692). Adapun Pangeran Purbaya tertangkap oleh Untung Suropati, utusan Belanda, dan wafat pada tahun 1689.

7.      MAKASSAR (GOWA-TALLO)
Kerajaan Makassar sebenarnya terdiri atas 2 kerajaan yakni kerajaan Gowa dan Tallo. Kemudian, kerajaan itu bersatu dibawah pimpinan raja Gowa yaitu Daeng Manrabba. Setelah menganut agama Islam, Ia bergelar Sultan Alauddin. Raja Tallo, yaitu Karaeng Mattoaya yang bergelar Sultan Abdullah, menjadi mangku bumi. Bersatunya kedua kerajaan tersebut bersamaan dengan tersebarnya agama Islam ke Sulawesi Selatan. Pusat pemerintahan dari Kerajaan Makassar terletak di Sombaopu. Letak kerajaan Makassar sangat strategis karena berada di jalur lalu lintas pelayaran antara Malak dan Maluku. Letaknya yang sangat strategis itu menarik minat para pedagang untuk singgah di pelabuhan Sombaopu. Dalam waktu singkat, Makassar berkembang menjadi salah satu Bandar penting di wilayah timur Indonesia.

Kehidupan Politik
Perkembangan pesat kerajaan Makassar tidak terlepas dari raja-raja yang pernah memerintahnya, yaitu seperti berikut ini:
a.      Raja Alauddin
Dalam abad ke-17 M agama Islam berkembang cukup pesat di Sulawesi Selatan. Raja Makassar yang pertama memluk Islam bernama Raja Alauddin yang memerintah Makassar dari tahun 1561-1638 M. dibawah pemerintahannya, Kerajaan Makassar mulai terjun dalam dunia perdagangan (dunia maritim) perkembangan ini menyebabkan meningkatnya kesejahteraan kerajaan Makassar. Tetapi sewafatnya raja Alauddin, keadaan pemerintahan kerajaan tidak dapat diketahui dengan pasti.
b.      Sultan Hasanuddin
Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, kerajaan Makassar mencapai masa kejayaannya. Dalam waktu yang cukup singkat Kerajaan Makassra telah berhasil menguasai seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Cita-cita Sultan Hasanuddin untuk menguasai sepenuhnya jalur perdagangan nusantara mendorong perlyasan kekuasaanya ke kepulauan Nusa Tenggara seperti Sumbawa dan sebagaian Flores. Dengan demikian seluruh aktifitas kerajaan Makassar. Keadaan seperti itu ditentang oleh Belanda yang memilikidaerah terhalang oleh kekuasaan kerajaan Makassar. Pertentangan antara Makassar dan Belanda sering minumbulkan peperangan. Keberanaian Sultan Hasanudin untuk memporak porandakan pasukan Belanda di Maluku, mengakibatkan Belanda semakin terdesak. Atas keberaniannya, Belanda memberi julukan kepada sultan Hassanudin dengan sebutan ”Ayam Jantan dari Timur”.
Dalam upaya menguasai Kerajaan Makassar, Belanda menjalin hubungan dengan Raja Bone, yaitu Arung Palaka. Dengan bantuan Arung Palaka, pasukan Belanda berhasil mendesak Kerajaan Makassar dan menguasai ibukota kerajaan.
c.       Mapasomba
Setelah Sultan Hasanuddin turun tahta, ia digantikan oleh putranya yang bernama Mapasomba. Sultan Hasanuddin sangat berharap agara Mapasomba dapat bekerja sama dengan Belanda. Tujuannya agar kerajaan Makassar dapat bertahan. Ternya Mapasomba jauh lebih keras daripada Ayahnyasehingga Belanda mengerahkan pasukan besar-besaran untuk menghadapi Mapasomba. Pasukan Mapasomba berhasil dihancurkan dan ia tidak diketahui nasibnya. Dengan kemenangan itu, Belanda berkuasa sepenuhnya atas Kerajaan Makassar.
Kehidupan Sosial
Kehidupan Sosial masyarakat kerajaan Makassar diwarnai oleh ajaran agama Islam. Mayoritas masyarakat Makassar beragama Islam sampai sekarang. Dwi tunggal Sultan Alauddin dan Sultan Abdullah sangat giat mengislamkan rakyatnya. Mereka memperluas daerah kekuasaannya tidak hanya pada pulau sekitarnya, tetapi juga sampai bagian Timur kepulauan Nusa Tenggara. Mereka juga berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan berpegang teguh pada keyakinan bahwa Tuhan menciptakan lautan untuk semua hamba Nya.
Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Makassar yang terletak di barat daya Sulawesi itu sangat strategis. Karena terletak ditengah jalur perdagangan antara Maluku dan Malaka. Kerajaan itu kemudian berkembang pesat menjadi pusat perdagangan. Kegiatan perekonomian masyarakat Makassar bertumpu pada perdagangan dan pelayaran. Terlebih lagi masyarakat Sulawesi terkenal sebagai pelaut ulung dan pemberani dalam mengarungi samudera.
Berkembangnya Makassar sebagai pusat perdagangan di wilayah timur Indonesia mengakibatkan banyak pedagang asing seperti portugis, Inggris, dan Denmark berdagang di Makassar. Dengan kapal jenis pinisi dan lambo, pedagang Makassar memegang peranan penting dalam perdagangan di Indonesia.
Guna mengatur pelayaran dan perdagangan dalam wilayahnya, kerajaan Makassar menyusun hukum perniagaan yang disebut Ade Allopiloping Bicaranna Pabbahi’e.
Kehidupan Budaya
Karena kerajaan Makassar bersifat maritime maka kebudayaannya dipengaruhi oleh keadaan tersebut, seperti pembuat alat penangkap ikan dan kapal pinisi. Sampai sekarang kapal pinisi dari Sulawesi Selatan masih menjadi salah satu kebanggan bangsa Indonesia. Disamping itu, masyarakat kerajaan Makassar juga mengembangkan seni sastra, yaitu kitab Lontara.
Mereka juga mengembangkan kebudayaan lainnya, seperti seni bangunan dan seni suara. Namun, sayang karya itu tidak banyak diketahui karena kurangnya peninggalan yang sampai kepada kita.

8.      TERNATE-TIDORE
Kerajaan Ternate dan Tidore terletak di sebelah barat Pulau Halmahera, Maluku Utara. Berdiri 1521 M. Wilayah kekuasaan kedua kerajaan ini meliputi Kepulauan Maluku dan sebagian Papua. Tanah Maluku yang kaya akan rempah-rempah menjadikannya terkenal di dunia Internasional dengan sebutan Spice Island. Di Maluku terdapat dua kerajaan yang berpangaruh, yakni Ternate dan Tidore. Kerajaan Ternate terdiri dari persekutuan lima daerah, yaitu Ternate, Obi, Bacan, Seram, Ambon, (disebut Uli Lima) sebagai pimpinannya adalah Ternate. Adapun Tidore terdiri dari sembilan satuan negara disebut Uli Siwa yang terdiri dari Makyan, Jailolo, dan daerah antara Halmahera-Irian.
Kedatangan Islam ke Maluku tidak dapat dipisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang antara pusat lalu lintas internasional di Malaka, Jawa, dan Maluku. Menurut tradisi setempat, sejak abad ke-14, Islam sudah masuk daerah Maluku. Raja Ternate kedua belas, Molomateya (1350-1357) bersahabat karib dengan orang Arab yang memberi petunjuk mengenai cara membuat kapal. 
Raja yang benar-benar memeluk Islam adalah Zainal Abidin (1486-1500). Ia mendapat ajaran Islam dari Sunan Giri. Kekuasaan Ternate dan Tidore mencakup pulau-pulau yang ada di sekitarnya. Penghasilan utamanya adalah cengkih, pala, rempah-rempah, dan ramuan obat-obatan yang sangat diperlukan oleh masyarakat Eropa.
Ketika bangsa Portugis datang ke Ternate, mereka bersekutu dengan bangsa itu (1512). Demikian juga ketika bangsa Spanyol datang ke Tidore, mereka juga bersekutu dengan bangsa itu (1512). Portugis akhirnya dapat mendirikan benteng Sao Paulo di Ternate dan banyak melakukan monopoli perdagangan. Tindakan ini menimbulkan perlawanan yang dipimpin oleh Sultan Hairun (1550-1570). Tindakan Musquita menangkap Sultan Hairun dilepas setelah kembali, tetapi kemudian dibunuh setelah paginya disuruh berkunjung ke benteng Portugis.
Sultan Baabullah (1570-1583) memimpin perlawanan untuk mengenyahkan Portugis dari Maluku sebagai balasan terhadap kematian ayahnya. Benteng Portugis dikepung selama 5 tahun, tetapi tidak berhasil. Sultan Tidore yang berselisih dengan Ternate kemudian membantu melawan Portugis. Akhirnya, benteng Portugis dapat dikuasai setelah Portugis menyerah karena dikepung dan kekurangan makanan. Tokoh dari Tidore yang anti-Portugis adalah Sultan Nuku. 
Pada tanggal 17 Juli 1780, Pata Alam dinobatkan sebagai vasal dari VOC dengan kewajiban menjaga keamanan di wilayahnya, yaitu Maba, Weda, Patani, Gebe, Salawatti, Missol, Waiguna, Waigen,negeri-negeri di daratan Irian, Pulau Bo, Popa, Pulau Pisang, Matora, dan sebagainya. Di sisi lain, Nuku terus mengadakan perlawanan terhadap Belanda di Ternate dan Tidore.
Pada tahun 1783, Pata Alam menjalankan strategi untuk meraih loyalitas raja-raja Irian. Akan tetapi, usaha tersebut menemui kegagalan, karena para utusan dengan pasukan mereka berbalik memihak Nuku. Akhirnya, Pata Alam dituduh oleh Kompeni bersekongkol dengan Nuku. Pata Alam ditangkap dan rakyat pendukungnya dihukum. Peristiwa ini sering disebut Revolusi Tidore (1783).
Untuk mengatur kembali Tidore, pada tanggal 18 Oktober 1783, VOC mengangkat Kamaludin untuk menduduki takhta Tidore sebagai vasal VOC. Di sisi lain, perjuangan Nuku mengalami pasang surut. Pada tahun 1794, gerakan tersebut mendapat dukungan dari Inggris. Sekembalinya dari Sailan, Pangeran Jamaludin beserta angkatannya menggabungkan diri dengan Nuku. Pada tanggal 12 April 1797 Angkatan Laut Nuku muncul di Tidore. Hampir seluruh pembesar Tidore menyerah, kecuali Sultan Kamaludin berserta pengawalnya. Mereka menyerahkan diri ke Ternate. Tidore diduduki oleh Nuku hingga meninggal tanggal 14 November 1805 dan digantikan oleh Zaenal Abidin.
Bangsa Portugis bergerak ke Selatan dan Menaklukan Timor pada tahun 1578. Sultan Baabullah kemudian memperluas kekuasaannya hingga Maluku, Sulawesi, Papua, Mindano dan Bima. Keberhasilan pemerintahannya membuat Sultan Baabullah mendapat julukan Tuan dari Tujuh Puluh Dua Pulau.
Kehidupan Politik
Di kepulauan maluku terdapat kerajaan kecil, diantaranya kerajaan ternate sebagai pemimpin Uli Lima yaitu persekutuan lima bersaudara. Uli Siwa yang berarti persekutuan sembilan bersaudara. Ketika bangsa portugis masuk, portugis langsung memihak dan membantu ternate, hal ini dikarenakan portugis mengira ternate lebih kuat. Begitu pula bangsa spanyol memihak tidore akhirnya terjadilah peperangan antara dua bangsa kulit, untuk menyelesaikan, Paus turun tangan dan menciptakan perjanjian saragosa. Dalam perjanjian tersebut bangsa spanyol harus meninggalkan maluku dan pindah ke Filipina, sedangkan Portugis tetap berada di maluku.
a.      Sultan Hairun (1570-1570)
Untuk dapat memperkuat kedudukannya, portugis mendirikan sebuah benteng yang di beri nama Benteng Santo Paulo. Namun tindakan portugis semakin lama di benci oleh rakyat dan para penjabat kerajaan ternate. Oleh karena itu sultan hairun secara terang-terangan menentang politik monopoli dari bangsa portugis.
b.      Sultan Baabullah (1570-1583)
Sultan baabullah (Putra Sultan Hairun) bangkit menentang portugis. Tahun 1575 M Portugis dapat dikalahkan dan meninggalkan benteng.
Kehidupan Ekonomi
Tanah di Kepulauan maluku itu subur dan diliputi hutan rimba yang banyak memberikan hasil diantaranya cengkeh, bumbu masak, beras, kacang, dan rempah-rempah. dan di kepulauan Banda banyak menghasilkan pala. Pada abad ke 12 M permintaan rempah-rempah meningkat, sehingga cengkeh merupakan komoditi yang penting. Pesatnya perkembangan perdagangan keluar dari maluku mengakibatkan terbentuknya persekutuan. Selain itu mata pencaharian perikanan turut mendukung perekonomian masyarakat.
Kehidupan Sosial
Kedatangan bangsa portugis di kepulauan Maluku bertujuan untuk menjalin perdagangan dan mendapatkan rempah-rempah. Bangsa Portugis juga ingin mengembangkan agama katholik. Dalam 1534 M, agama Katholik telah mempunyai pijakan yang kuat di Halmahera, Ternate, dan Ambon, berkat kegiatan Fransiskus Xaverius.
Seperti sudah diketahui, bahwa sebagian dari daerah maluku terutama Ternate sebagai pusatnya, sudah masuk agama islam. Oleh karena itu, tidak jarang perbedaan agama ini dimanfaatkan oleh orang-orang Portugis untuk memancing pertentangan antara para pemeluk agama itu. Dan bila pertentangan sudah terjadi maka pertentangan akan diperuncing lagi dengan campur tangannya orang-orang Portugis dalam bidang pemerintahan, sehingga seakan-akan merekalah yang berkuasa.
Setelah masuknya kompeni Belanda di Maluku, semua orang yang sudah memeluk agama Katholik harus berganti agama menjadi Protestan. Hal ini menimbulkan masalah-masalah sosial yang sangat besar dalam kehidupan rakyat dan semakin tertekannya kehidupan rakyat.
Keadaan ini menimbulkan amarah yang luar biasa dari rakyat Maluku kepada kompeni Belanda. Di Bawah pimpinan Sultan Ternate, perang umum berkobar, namun perlawanan tersebut dapat dipadamkan oleh kompeni Belanda. Kehidupan rakyat Maluku pada zaman kompeni Belanda sangat memprihatinkan sehingga muncul gerakan menentang Kompeni Belanda.
Kehidupan Budaya
Rakyat Maluku, yang didominasi oleh aktivitas perekonomian tampaknya tidak begitu banyak mempunyai kesempatan untuk menghasilkan karya-karya dalam bentuk kebudayaan. Jenis-jenis kebudayaan rakyat Maluku tidak begitu banyak kita ketahui sejak dari zaman berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam seperti Ternate dan Tidore.

9.      Pontianak
Pendiri kerajaan Pontianak itu ialah Syarif Abdur Rahman bin al-Habib Husein al-Qadri. Habib Husein al-Qadri, ayah beliau seorang ulama besar, bahkan ramai orang meriwayatkan Habib Husein al-Qadri adalah seorang ‘Wali Allah’ yang dibuktikan banyak ‘karamah’. Oleh itu, anak beliau Syarif Abdur Rahman al-Qadri adalah seorang ‘sultan’ dan sekali gus beliau adalah seorang ‘ulama’. Riwayat di bawah ini adalah berasal dari sebuah manuskrip yang diperoleh di Pontianak yang saya ringkaskan dan di beberapa tempat disesuaikan dengan bahasa sekarang.
Pengembaraan
Apabila sampai umur Syarif Abdur Rahman 16 tahun, beliau dibawa oleh ayahnya berpindah dari negeri Matan ke negeri Mempawah. Setelah berumur 18 tahun, beliau dikahwinkan oleh ayahnya dengan Utin Cenderamidi, anak Upu Daeng Menambon.
Tatkala umurnya 22 tahun, Syarif Abdur Rahman pergi ke Pulau Tambelan selanjutnya ke Siantan dan terus ke pusat pemerintahan Riau di Pulau Penyengat. Beliau tinggal di sana selama kira-kira dua bulan. Kemudian, ke negeri Palembang dan tinggal di situ sebelas bulan. Sewaktu hendak kembali ke negeri Mempawah dihadiahkan oleh Sultan Palembang, Sultan Pelakit sebuah perahu selaf dan seratus pikul timah.
Dan pada ketika itu juga bermuafakat Tuan Saiyid dan sekelian bangsa Arab di negeri Palembang dan bersetuju memberi hadiah kepada Syarif Abdur Rahman, dua ribu ringgit. Kemudian Syarif Abdur Rahman belayar pulang ke negerinya, Mempawah.Setelah dua bulan Syarif Abdur Rahman al-Qadri di Mempawah, beliau belayar pula ke negeri Banjar dan tinggal di sana selama empat bulan. Kemudian, belayar pula ke negeri Pasir dan berhenti di situ selama tiga bulan.
Setelah itu, kembali lagi ke negeri Banjar. Setelah dua bulan di Banjar, Syarif Abdur Rahman dikahwinkan dengan puteri Sultan Sepuh, saudara pada Penembahan Batu yang bernama Ratu Syahbanun. Sebelum berkahwin, Syarif Abdur Rahman al-Qadri telah dilantik oleh Panembahan Batu menjadi Pangeran dengan nama Pangeran Syarif Abdur Rahman Nur Allam.
Dua tahun kemudian, Syarif Abdur Rahman al-Qadri kembali ke negeri Mempawah. Setahun kemudian, kembali lagi ke negeri Banjar. Selama empat tahun di Banjar, beliau memperoleh dua orang putera, seorang laki-laki diberi nama Syarif Alwi diberi gelar Pangeran Kecil dan yang seorang perempuan bernama Syarifah Salmah diberi gelar Syarifah Puteri.
Tarikh 11 Rabiulakhir 1185 H/24 Jun 1771 M Syarif Abdur Rahman keluar dari negeri Banjar kembali ke negeri Mempawah. Ketika sampai di Mempawah didapatinya Tuan Besar Mempawah, Habib Husein al-Qadri ayahnya, telah kembali ke rahmatullah. Syarif Abdur Rahman al-Qadri berhenti di Mempawah selama tiga bulan bermesyuarat dengan adik- beradiknya, ialah Syarif Ahmad, Syarif Abu Bakar, Syarif Alwi bin Habib Husein al-Qadri dan seorang kerabat mereka, Syarif Ahmad Ba’abud. Keputusan mesyuarat bahawa Syarif Abdur Rahman akan keluar dari negeri Mempawah hendak membuat kedudukan di mana-mana yang patut.
Mengasaskan kerajaan Pontianak
Tarikh 14 Rejab 1185 H/23 Oktober 1771 M, Syarif Abdur Rahman berangkat dari negeri Mempawah de-ngan 14 buah perahu kecil bernama kakab. Kemudian, sampailah ia di Sungai Pontianak yang kebetulan tempat itu dengan masjid yang ada sekarang ini. Syarif Abdur Rahman dan rombongan berhenti di tempat itu pada waktu malam.
Keesokan harinya, Syarif Abdur Rahman pun masuk ke Selat Pontianak dan berhenti di situ selama lima malam. Pada hari Rabu kira-kira pukul 4.00 pagi, Syarif Abdur Rahman memberi perintah menyerang Pulau Pontianak. Masing-masing mereka mengisi meriamnya dan menembak pulau itu. Kata Syarif Abdur Rahman, “Berhenti perang kerana sekalian hantu dan syaitan yang berbuai pada malam hari di pulau itu telah habis lari, janganlah tuan-tuan takut, marilah kita turun menebas pulau itu”.
Semua anak buah perahu pun turun bersama-sama Syarif Abdur Rahman menebas pulau itu. Setelah habis ditebas, lalu didirikan sebuah rumah dan sebuah balai. Kira-kira lapan hari dikerjakan, di dalam antara itu Syarif Abdur Rahman kembalilah ke Mempawah mengambil sebuah kapal dan sebuah tiang sambung. Tarikh 4 Ramadhan 1185 H/11 Disember 1771 M Syarif Abdur Rahman pindah ke pulau itu.
Perang Pontianak Sanggau
Tiada berapa lama negeri itu berdiri, pada bulan Jumadilakhir 1191 H/ 10 Jun 1777 M, Syarif Abdur Rahman berangkat, mudik ke negeri Sanggau dengan 40 buah perahu kecil hendak terus ke negeri Sekadau. Setelah sampai di Sanggau, maka ditahanlah oleh Penembahan Sanggau tiada diberikannya mudik ke hulu, jauh dari negeri Sanggau. Tetapi Syarif Abdur Rahman, berkeras hendak mudik.
Oleh sebab itu, Penembahan Sanggau sangat marah, lalu menembak perahu itu, hingga terjadi peperangan antara kedua-dua pihak. Setelah tujuh hari berperang, Syarif Abdur Rahman mengundurkan diri kembali ke negeri Pontianak, untuk persiapan membuat perahu besar. Kira-kira lapan belas bulan sesudah itu bersamaan, 2 Muharram 1192 H/31 Januari 1778 M berangkat lagi ke negeri Sanggau dengan sebuah sekuci, dua buah kapal dan 28 buah penjajab. Ketika sampai di Tayan, bertemulah dengan angkatan Sanggau yang menanti kedatangan angkatan Pontianak di situ.
Angkatan Sanggau kalah, dan lari ke Sanggau. Tetapi ada lagi angkatan Sanggau di Kayu Tunu, angkatan Sanggau sudah siap berperang di tempat. Tarikh 26 Muharram 1192 H/24 Februari 1778 M bermulalah perang di Kayu Tunu. Sanggau kalah pada 11 Safar 1192 H/11 Mac 1778 M. Syarif Abdur Rahman pun mudik ke Sanggau dan berhenti di situ selama 12 hari. Syarif Abdur Rahman bersama Raja Haji, Yang Dipertuan Muda Riau membuat benteng pertahanan di Pulau Simpang Labi, menempatkan enam pucuk meriam di pintunya.
Pulau itu ditukar nama dengan Jambu-Jambu Taberah. Setelah selesai pekerjaan di Pulau Jambu-Jambu Taberah itu, Sultan Syarif Abdur Rahman pulang ke Pontianak bersama-sama dengan Yang Dipertuan Muda Raja Haji.
Pengangkatan Sultan
Setelah sampai di Pontianak, Raja Haji, Yang Dipertuan Muda Riau memanggil semua orang di dalam negeri Pontianak untuk memeriksa hal Pa-duka Pangeran Syarif Abdur Rahman Nur Allam akan dijadikan sultan. Semua isi negeri Pontianak, bersetuju. Raja Haji mengirim utusan ke negeri Mempawah, Matan, Landak dan Kubu.
Raja-raja itu pun mengaku di hadapan Yang Dipertuan Muda Raja Haji mengatakan bahawa mereka menerima dengan gembira. Pada ketika dan tarikh yang baik, hari Isnin, 8 Syaban 1192 H/1 September 1778 M, sekalian tuan-tuan sayid, raja-raja dan rakyat negeri Pontianak berkumpul di Pontianak.
Yang Dipertuan Muda Raja Haji dengan suara yang keras, bertitah, “Adapun kami memberitahu kepada sekalian tuan-tuan sayid, raja-raja, dan sekalian isi negeri Pontianak ini, pada hari ini, Paduka Pangeran Syarif Abdur Rahman Nur Allam kita sahkan berpangkat dengan nama Paduka Sultan Syarif Abdur Rahman al-Qadri, iaitu raja di atas takhta kerajaan Negeri Pontianak.
Pada tahun 1194 H/1780 M utusan Kompeni Belanda datang dari Betawi dengan satu sekuci dan dua buah pencalang. Utusan Belanda itu bernama Ardi William Palam Petter dari Rembang serta berbicara meminta kepada Sultan Syarif Abdur Rahman untuk mendiami negeri Pontianak. Bersamanya ada lagi utusan Sultan Banten hendak menyerahkan pemerintahan negeri Landak kepada Sultan Syarif Abdur Rahman. Maka Kompeni Belanda pun tetaplah duduk bersetia bersama-sama di dalam negeri Pontianak.
Pada tahun 1198 H/1784 M Kompeni Belanda bermusuh dengan Yang Dipertuan Muda Raja Ali Riau. Kom-peni Belanda menyerang Yang Dipertuan Muda Raja Ali Riau di negeri Sukadana. Negeri Sukadana kalah dalam perang itu. Pada tahun 1200 H/1785 M, Sultan Syarif Abdur Rahman bersengketa de-ngan saudara iparnya Raja Mempawah, Penembahan Adi Wijaya, kerana perkara Sultan Sambas. Akhirnya Sultan Syarif Abdur Rahman terpaksa memerangi negeri Mempawah. Setelah berperang selama lapan bulan, negeri Mempawah kalah dalam peperangan itu. Setelah selesai perang, Sultan Syarif Abdur Rahman mengangkat puteranya yang bernama Pangeran Syarif Qasim berpangkat Penembahan Memerintah Diatas Takhta Kerajaan Negeri Mempawah.
Selanjutnya, terjadi perselisihan Pontianak dengan Sambas mulai 3 Rabiulakhir 1206 H/30 November 1791 M. Sultan Syarif Abdur Rahman bersama Yang Dipertuan Sayid Ali bin Utsman, Raja Siak memerangi negeri Sambas. Perang yang terjadi selama lapan bulan itu, berakhir dengan seri iaitu tiada yang kalah atau pun menang.
Wafat
Demikianlah kisah Sultan Syarif Abdur Rahman al-Qadri yang dilahirkan pada 15 Rabiulawal 1151 H/3 Julai 1738 M dan wafat pada malam Sabtu, pukul 11.00, tarikh 1 Muharram 1223 H/28 Februari 1808 M. Pada hari itu juga, Penembahan Syarif Qasim yang berkedudukan di Mempawah, ditabalkan menjadi Sultan Pontianak dengan menggunakan nama Paduka Sultan Syarif Qasim Raja Duduk Diatas Takhta Kerajaan Negeri Pontianak.
Pada tarikh 19 Safar 1223 H/16 April 1808 M, Pangeran Mangku Negara Syarif Husein bin al-Marhum Sultan Syarif Abdur Rahman dilantik menggantikan Syarif Qasim menjadi raja kerajaan negeri Mempawah.
Pada hari Khamis, pukul 9.00, tarikh 11 Muharram 1228 H/14 Januari 1813 M, Pangeran Syarif Husein kembali ke rahmatullah. Beliau diganti oleh Penembahan Anom, puteranya Penembahan Adi Wijaya, menjadi wakil memegang kuasa di dalam negeri Mempawah. Pada tahun 1241 H/ 1825 M, Penembahan Anom kembali ke rahmatullah. Pada tahun 1243 H/1828 M, Pangeran Adi Pati Geram menjadi wakil menggantikan memegang kuasanya di dalam negeri Mempawah berpangkat nama Penembahan.

KD.3  Akulturasi Kebudayaan Lokal, Hindu-Budha dan Islam
1.      Perpaduan Tradisi Lokal dengan Hindu-Budha
Telah diketahui bahwa sebelum masuknya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha, masyarakat Indonesia telah memiliki kebudayaan yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Kebudayaan asli masyarakat Indonesia tersebut sudah cukup maju. Masuknya budaya Hindu-Budha membawa perubahan dalam kehidupan budaya masyarakat Indonesia. Unsur kebudayaan Hindu-Budha yang masuk ke Indonesia lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan Indonesia, tetapi tanpa menghilangkan sifat kebudayaan asli Indonesia. Dengan demikian, lahirlah kebudayaan baru yang merupakan akulturasi kebudayaan Indonesia dan Hindu-Budha.
Wujud akulturasi antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan Hindu-Budha tersebut, antara lai sebagai berikut:
·         Sistem Kepercayaan. Sejak zaman prasejarah bangsa Indonesia telah memiliki kepercayaan berupa pemujaan terhadap roh nenek moyang dan juga kepercayaan terhadap benda-benda tertentu. Kepercayaan itu disebut animism dan dinamisme. Dengan masuknya kebudayaan Hindu-Budha ke Indonesia, terjadilah akulturasi. Sebagai contoh, dalam upacara keagamaan atau pemujaan terhadap para dewa di candi, terlihat pula adanya unsur pemujaan terhadap roh nenek moyang. Dalam bangunan candi terdapat pripih yang di dalamnya terdapat benda-benda lambang jasmaniah raja yang membangun candi. Sehingga candi berfungsi sebagai makam. Di atas pripih terdapat arca dewa yang merupakan perwujudan raja dan pada puncak candi terdapat lambang para dewa (biasanya berupa gambar teratai pada batu persegi empat). Jadi, upacara keagamaan atau pemujaan terhadap dewa yang ada pada candi tersebut pada hakekatnya juga merupakan pemujaan terhadap roh nenek moyang, dan di situlah letak akulturasinya. Dengan nama yang lain tetapi esensinya adalah pemujaan terhadap roh nenek moyang.
·         Filsafat (maknanya secara sederhana alam pikiran, berpikir secara mendalam). Wujud akulturasi Indonesia dan Hindu—Budha di bidang filsafat dapat ditemukan dalam cerita wayang. Isi cerita tersebut mengandung nilai filosofis, yaitu bahwa kebenaran dan kejujuran akan berakhir dengan kebahagiaan dan kemenangan. Sebaliknya, keserakahan dan kecurangan akan berakhir dengan kehancuran.
·         Seni Wayang. Wayang yang sudah popular dalam kehidupan masyarakat Indonesia (khususnya masyarakat Jawa) bersumber dari cerita Ramayana dan mahabrata yang berasal dari India. Namun, penampilan wujud tokoh dalam wayang tersebut adalah budaya Indonesia yang antara daerah satu dan lainnya berbeda. Baik dalam agama Hindu maupun Budha, keduanya mempercayai adanya hukum karma dan reinkarnasi. Kedua hukum tersebut mengandung makna filosofis, yaitu bahwa manusia harus berbuat kebaikan, kebenaran, dan kejujuran agar lepas dari samsara atau penderitaan. Sedangkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak dulu telah berkembang suatu konsep berupa petuah-petuah, nasehat atau pesan yang mengandung makna filosofis tentang kebenaran, kejujuran dan kebaikan.
·         Pemerintahan. Sebelum masuknya pengaruh budaya Hindu-Budha, pemerintahan di Indonesia berlangsung secara demokratis, yaitu untuk menentukan seorang pemimpin (kepala suku) dilakukan melalui pemilihan. Setelah masuknya budaya Hindu-Budha dikenal sistem pemerintahan kerajaan yang tidak lagi dipilih secara demokratis, tetapi secara turun temurun. Namun, dalam perkembangannya sifat pemerintahan demokratis tetap menampakkan kembali ciri khasnya. Pemerintah kerajaan tetap menerapkan musyawarah dalam mengambil keputusan. Kekuasaan raja tidak bersifat mutlak seperti di India. Dalam pergantian raja tidak selalu dilakukan secara turun-temurun. Unsur musyawarah sangat menentukan, terutama bila raja tidak mempunyai putra mahkota.
·         Seni Bangunan. Masuknya pengaruh Hindu-Budha ke Indonesia membawa pengaruh terhadap seni bangunan, terutama bangunan candi. Jika dilihat dari bentuknya, bangunan candi selalu bertingkat-tingkat yang terdiri atas kaki candi, tubuh candi, dan puncak candi. Pada candi Hindu ditemukan pripih yang berisikan lambang jasmaniah raja (yang membuat candi), kemudian di atasnya terdapat patung dewa dan pada puncaknya terdapat lambang para dewa. Dengan demikian, jika dilihat dari bentuk bangunannya candi akan mengingatkan kita pada bangunan punden berundak. Oleh karena itu, pada candi ditemukan unsur Indonesia dan unsur Hindu-Budha.
·         Fungsi candi di India adalah sebagai tempat untuk memuja dewa. Di Indonesia, candi berfungsi sebagai makam dan pemujaan terhadap roh nenek moyang. Hal itu dapat dilihat dengan lambang jasmaniah raja di dalam pripih, sedangkan arca di atasnya adalah perwujudan raja yang telah meninggal tersebut.
·         Seni Rupa. Masuknya kebudayan Hindu-Budha berpengaruh terhadap perkembangan seni rupa di Indonseia. Contoh, seni hias yang berupa relief pada dinding candi di Indonesia menunjukkan adanya akulturasi antara budaya Indonesia dan Hindu-Budha. Hiasan relief pada candi biasanya merupakan suatu cerita yang berhubungan dengan agama.
·         Relief pada dinding Candi Borobudur seharusnya adalah cerita tentang riwayat Sang Budha Gautama. Namun, yang digambarkan adalah suasana kehidupan masyarakat Indonesia karena ditemukannya hiasan gambar perahu bercadik, rumah panggung, dan burung merpati. Pada Candi Jago di Jawa Timur dijumpai tokoh Punakawan, yaitu orang yang menjadi pengawal seorang ksatria. Cerita itu hanya ditemukan di Indonesia.
·         Seni Sastra. Pengaruh seni sastra India juga turut memberi corak dalam seni sastra Indonesia. Bahasa Sansekerta besar pengaruhnya terhadab sastra Indonesia. Prasasti di Indonesia, seperti Kutai, Tarumanegara, dan prasasti di Jawa tengah pada umumnya ditulis dalam bahasa sansekerta dan huruf pallawa. Dalam perkembangan bahasa Indonesia dewasa ini, pengaruh bahasa sansekerta cukup dominan, terutama dalam istilah pemerintahan. Seperti kata-kata patih lebet (sebuah jabatan yang mengkordinasi pemerintahan dalam istana). Pada masa Sultan Agung Titayasa di Banten, patih lebet dijabat oleh Adipati Mandaraka.
·         Sistem Kalender. Sistem penanggalan (kalender) Hindu-Budha turut berpengaruh dalam kebudayaan Indonesia, yaitu digunakannya kalender Saka di Indonesia, juga ditemukan candrasangkala dalam usaha memperingati suatu peristiwa dengan tahun atau kalender Saka. Tahun Saka dimulai tahun 78 M. Kalender Saka merupakan kalender dari India yang digunakan di Indonesia. Penggunaan kalender Saka ditemukan dalam prasasti Talang Tuo (adalah prasasti yang menjelaskan mengenai keberadaan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra) yang berangka tahun 606 Saka (686 M). Prasasti tersebut menggunakan huruf pallawa dan bahasa melayu kuno. Dua contoh prasasti tersebut merupakan wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan Hindu-Budha.
  • Candrasangkala adalah angka huruf yang berupa susunan kalimat atau gambar. Setiap kata dalam kalimat tersebut dapat diartikan dengan angka, kemudian dibaca dari belakang maka akan terbaca tahun Saka. Beberapa gambar harus dapat diartikan ke dalam kalimat.
Contoh tahun candrasangkala adalah sirna ilang kertaning bumi yang artinya:
Sirna : berarti angka 0
Ilang : berarti angka 0
Kertaning : berarti 4
Bumi : berarti 1
Jadi, sirna ilang kertaning bumi dalam tahun Saka adalah 1400 dan sama dengan tahun 1478 M.

2.      Perpaduan Tradisi Lokal, Hindu-Budha, dan Islam di Indonesia
Bersamaan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam, berkembang pula kebudayaan Islam di Indonesia. Unsur kebudayaan Islam itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan Indonesia tanpa menghilangkan kepribadian Indonesia, sehingga lahirlah kebudayaan baru yang merupakan akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam. Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam itu juga mencakup unsur kebudayaan Hindu-Budha. Perpaduan kebudayaan Indonesia dan Islam, antara lain dapat dilihat sebagai berikut:
A.    Seni Bangunan. Misalnya bangunan makam. Makam sebagai hasil kebudayaan zaman Islam mempunyai ciri-ciri perpaduan antara unsur budaya Islam dan unsur budaya sebelumnya, seperti berikut ini;
1)      Fisik Bangunan. Pada makam Islam sering kita jumpai bangunan kijing atau jirat (bangunan makam yang terbuat dari tembok batu bata) yang kadang-kadang disertai bangunan rumah (cungkup) di atasnya. Dalam ajaran Islam tidak ada aturan tentang adanya kijing atau cungkup. Adanya bangunan tersebut merupakan ciri bangunan candi dalam ajaran Hindu-Budha. Tidak berbeda dengan candi, makam Islam, terutama makam para raja, biasanya dibuat dengan megah dan lengkap dengan keluarga dan para pengiringnya. Setiap keluarga dipisahkan oleh tembok dengan gapura (pintu gerbang) sebagai penghubungnya. Gapura itu belanggam seni zaman pra-Islam, misalnya ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi.
2)      Tata Upacara Pemakaman. Pada tata cara upacara pemakaman terlihat jelas dalam bentuk upacara dan selamatan sesudah acara pemakaman. Tradisi memasukkan jenazah dalam peti merupakan unsur tradisi zaman purba (kebudayaan megalithikum yang mengenal kubur batu) yang hidup terus menerus sampai sekarang. Demikian pula, tradisi penaburan bunga di makam dan upacara selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dan seribu hari untuk memperingati orang yang telah meninggal merupakan unsur Islam dan juga unsur agama Hindu-Budha. Dan hingga saat ini tetap dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Islam.
3)      Penempatan Makam. Dalam penempatan makampun terjadi akulturasi antara kebudayaan lokal, Hindu-Budha dan Islam. Misalnya, makam terletak di tempat yang lebih tinggi dan dekat dengan masjid. Contohnya, makam raja-raja Mataram yang terletak di bukit Imogiri dan makam para wali yang berdekatan dengan masjid. Dalam agama Hindu-Budha makam dalam candi.
B.     Bangunan Masjid. Bangunan masjid merupakan salah satu wujud budaya Islam yang berfungsi sebagai tempat ibadah. Dalam sejarah Islam, masjid memiliki perkembangan yang beragam sesuai dengan daerah tempat berkembangnya. Di Indonesia, masjid mempunyai bentuk khusus yang merupakan perpaduan budaya Islam dengan budaya setempat. Perpaduan budaya pada bangunan masjid terlihat pada;
1)      Bentuk Bangunan. Bentuk masjid di Indonesia, terutama di pulau Jawa, bentuknya seperti pendopo (balai atau ruang besar tempat rapat) dengan komposisi ruang yang berbentuk persegi dan beratap tumpang. Cirri khusus bangunan masjid di Timur Tengah biasanya bagian atapnya berbentuk kubah, tetapi di Jawa diganti dengan atap tumpang dengan jumlah susunan bertingkat dua, tiga, dan lima.
2)      Menara. Menara merupakan bangunan kelengkapan masjid yang dibangun menjulang tinggi dan berfungsi sebagai tempat menyerukan azan, yaitu tanda datangnya waktu shalat. Di Jawa terdapat bentuk menara yang dibuat seperti candi dengan susunan bata merah dan beratap tumpang, seperti menara masjid Kudus (Jawa Tengah).
3)      Letak Bangunan. Dalam ajaran Islam, letak bangunanmasjid tidak diatur secara khusus. Namun, di Indonesia, penempatan masjid khususnya masjid agung, diatur sedemikian rupa sesuai dengan komposisi mocopat (yaitu masjid ditempatkan di sebelah barat alun-alun), dan dekat dengan istana (keraton) yang merupakan symbol tempat bersatunya rakyat dengan raja di bawah pimpinan imam. Selain itu, adanya kentongan atau bedug yang dibunyikan di masjid Indonesia sebagai pertanda masuknya waktu shalat. Hal itu juga menunjukkan adanya unsur Indonesia asli. Bedug atau kentongan tidak ditemukan pada masjid di Timur Tengah.
C.     Seni Rupa. Wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan islam pada seni rupa dapat dilihat pada ukiran bangunan makam. Hiasan pada jirat (batu kubur) yang berupa susunan bingkai meniru bingkai candi. Pada dinding rumah, makam dan gapura terdapat corak dan hiasan yang mirip dengan corak dan hiasan yang terdapat pada Pura Ulu Watu dan Pura Sakenan Duwur di Tuban (Jawa Timur). Salah satu cabang seni rupa yang berkembang pada awal penyebaran agama Islam di Indonesia adalah seni kaligrafi. Kaligrafi tersebut biasanya digunakan untuk menghias bangunan makam atau masjid.
D.    Aksara. Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam dalam hal aksara diwujudkan dengan berkembangnya tulisan Arab Melayu di Indonesia, yaitu tulisan Arab yang dipakai untuk menulis dalam bahasa Melayu. Tulisan Arab Melayu tidak menggunakan tanda a, i, u seperti lazimnya tulisan Arab. Tulisan Arab Melayu disebut dengan istilah Arab gundul.
E.     Pertunjukkan 
Peninggalan sejarah yang bercorak Islam dalam bentuk seni pertunjukkan adalah :
1)      Permaianan Debus : permainan ini merupakan satu jenis tarian yang agak mengerikan, dimana pada puncak acara penari memasukan benda tajam ke badannya, tetapi tidak tembus. Tarian ini diawali dengan nyanyian atau pembacaan ayat-ayat tertentu dalam al-Qur’an atau Salawat Nabi.
2)      Seudati : jenis tarian ini terdapat di Aceh. Seudati berasal dari kata syaidati, yang artinya permainan orang-orang besar. Seudati sering disebut saman (delapan), karena permainan itu mula-mula dilakukan oleh delapan pemain. Dalam seudati, para penari menyanyikan lagu tertentu yang isinnya berupa Salawat Nabi.
F.      Seni Sastra. Kesusastraan pada zaman Islam banyak berkembang di daerah sekitar selat Malaka (daerah Melayu) dan Jawa. Kesusatraan yang berkembang adalah:
1)      Hikayat yaitu cerita atau dongeng yang berpangkal dari peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Contoh hikayat yang terkenal yaitu Hikayat 1001 Malam, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Pandawa Lima (Hindu), Hikayat Sri Rama (Hindu).
2)      Babad adalah kisah rekaan pujangga keraton sering dianggap sebagai peristiwa sejarah contohnya Babad Tanah Jawi (Jawa Kuno), Babad Cirebon.
3)      Suluk adalah kitab yang membentangkan soal-soal tasawwuf contohnya Suluk Sukarsa, Suluk Wijil, Suluk Malang Sumirang dan sebagainya.
4)      Primbon adalah hasil sastra yang sangat dekat dengan Suluk karena berbentuk kitab yang berisi ramalan-ramalan, keajaiban dan penentuan hari baik/buruk.
Bentuk seni sastra tersebut di atas, banyak berkembang di Melayu dan Pulau Jawa.
Cara penulisan karya sastra pada zaman Islam dilakukan dalam bentuk gancaran dan tembang. Di Jawa, tembang merupakan suatu bentuk yang lazim, tetapi di daerah Melayu, tembang dan gancaran ada semua. Cerita yang ditulis dalam bentuk gancaran disebut hikayat, sedangkan cerita yang ditulis dalam bentuk tembang disebut syair. Di daerah Melayu, karya sastra itu ditulis dengan menggunakan huruf Arab, sedangkan di Jawa, naskah itu ditulis dengan menggunakan huruf Jawa dan Arab (terutama yang membahas soal keagamaan).
G.    Sistem Pemerintahan. Pengaruh agama Islam di Indonesia juga terjadi dalam bidang pemerintahan sehingga terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam dan kebudyaan pra-Islam. Sebelum masuknya agama Islam, di Indonesia telah berkembang sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan. Raja mempunyai kekuasaan besar dan bersifat turun-temurun. Masuknya pengaruh Islam mengakibatkan perubahan struktur pemerintahan dalam penyebutan raja. Raja tidak lagi dipanggil maharaja, tetapi diganti dengan julukan sultan atau sunan (susuhunan), panembahan, dan maulana. Pada umumnya nama raja pun disesuaikan dengan nama Islam (Arab).
Akulturasi dalam penyebutan nama raja di Jawa lebih kelihatan karena raja tetap memakai nama Jawa dibelakang gelar sultan, sunan, atau panembahan, seperti Sultan Trenggono. Di samping itu, juga muncul tradisi baru di Jawa, yaitu pemakaian gelar raja secara turun-temurun, sedangkan untuk membedakan raja yang satu dengan yang lainnya ditentukan dengan menambah angka urutan di belakang gelar, seperti Hamengkubuwono I, II, III, dan seterusnya.
Begitu pula, dengan sistem pengangkatan raja pada masa berdirinya kerajaan Islam di Nusantara tetap tidak mengabaikan cara-cara pengangkatan raja pada masa sebelumnya. Di Kerajaan Aceh, tata cara pengangkatan raja diatur dalam permufakatan hukum adat.
Catatan tambahan
Di Kerajaan Aceh, tata cara pengangkatan raja diatur dalam permufakatan hukum adat. Tata cara pengangkatan raja di Kerajaan Aceh adalah raja berdiri di atas tabal (tabuh/beduk yang dipalu pada ketika meresmikan penobatan raja, mengumumkan penobatan raja), kemudian disertai ulama sambil membawa al-Qur’an berdiri di sebelah kanan dan perdana menteri memegang pedang di sebelah kiri. Di Jawa, pengangkatan raja dilakukan oleh para wali. Raden Fatah menjadi Sultan Demak dengan permufakatan para wali dan dilakukan di masjid Demak. Pengangkatan Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang dan Penembahan Senopati dari Mataram juga tidak terlepas dari peran Wali Sanga. Perbedaan tata cara pengangkatan raja di setiap daerah menunjukkan bahwa tradisi lokal tetap digunakan.
H.    Sistem Kalender. Wujud akulturasi budaya Indonesia dan Islam dalam sistem kalender dapat dilihat dengan berkembagnnya sistem kalender Jawa atau Tarikh Jawa. Sistem kalender tersebut diciptakan oleh Sultan Agung dari Mataram pada tahun 1043 H atau 1643 M. Sebelum masuknya budaya Islam, masyarakat Jawa telah menggunakan kalender Saka yang dimulai tahun 78 M. Dalam kalender Jawa, nama bulan adalah Sura, Safar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Ruwah, Pasa, Syawal, Zulkaidah, dan Besar. Nama harinya adalah Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Ahad yang dilengkapi hari pasaran, seperti Legi, Pahing, Pon, Wege, dan Kliwon.
I.       Filsafat. Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha menjawab masalah-masalah yang tidak terjawab oleh disiplin ilmu yang lain. Filsafat akan mencari suatu kebenaran yang hakiki. Dalam mencari kebenaran, umat Islam menggunakan pendekatan tasawuf. Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari tentang orang-orang yang langsung mencari Tuhan karena terdorong oleh cinta dan rindu terhadap Tuhan. Mereka meninggalkan masyarakat ramai dan kemewahan dunia serta mendekatkan diri kepada Tuhan dengan seluruh jiwa dan raga mereka. Para pencari Tuhan itu mengembara ke mana-mana. Mereka dinamakan sufi dan alirannya dinamakan tasawuf. Bersamaan dengan perkembangan tasawuf, muncul tarekat di Indonesia, seperti tarekat qadariyah. Tarekat adalah jalan atau cara yang ditempuh oleh kaum sufi untuk mendekatkan dirinya kepada Allah.
Bentuk akulturasi ilmu tasawuf dengan budaya pra-Islam tampak dalam hal-hal sebagai berikut:
  • Aliran Kebatinan
Dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan, muncul usaha mencari Tuhan dari kalangan sufi. Seperti ajaran manunggaling kawulo gusti yang diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar. Ajaran Syeikh Siti Jenar banyak dipengaruhi oleh unsur budaya pra-Islam. Akibatnya, ia dihukum oleh para wali, karena dianggap menyesatkan.
  • Filsafat Jawa
Filsafat Jawa sangat erat sekali hubungannya dengan dunia pewayangan. Oleh karena itu, dalam penyebaran Islam di pulau Jawa para walimenggunakan wayang sebagai medianya. Tokoh yang terkenal adalah Sunan Kalijaga.

Perbandingan Konsep Kekuasaan di Kerajaan Hindu-Budha dengan Kerajaan yang bercorak Islam.
Dalam ajaran Hinduisme dan Budhisme terdapat suatu pandangan yang dikenal sebagai kosmogoni (asal-usul alam semesta). Dalam konsepsi tersebut manusia mengaggap bahwa antara dunia manusia dan jagat raya terdapat kesejajaran. Pandangan tersebut memengaruhi alam pikiran manusia sehingga melahirkan konsepsi tentang hubungan antara manusia dan jagat raya. Selanjutnya, hal Itu dihubungkan dengan kegiatan politik dan kekuasaan yang berwujud dalam susunan pemerintahan. Hal itu terjadi juga pada kerajaan yang bercorak Hindu-Budha yang menganggap raja dan kerajaannya (mikro kosmos) merupakan gambaran nyata dari jagat raya (makro kosmos).
Menurut pandangan masyarakat pada zaman Hindu-Budha, raja dianggap sebagai orang tokoh yang diidentikkan dengan dewa. Kekuasaan raja dianggap tidak terbatas. Ia tidak dapat diatur dengan cara duniawi karena dalam dirinya terdapat kekuatan yang mencerminkan roh dewa yang mengendalikan kehendak pribadinya. Negara dianggap sebagai citra kerajaan para dewa, baik dalam aspek material maupun aspek spiritualnya. Raja dan para pegawainya memiliki kekuasaan dan kekuatan yang sepadan dengan yang dimiliki oleh para dewa. Oleh sebab itu, apa yang dilakukan raja tidak boleh dibantah oleh siapa pun.
Dalam konsep kekuasaan kerajaan yang bercorak Islam, mengkultuskan raja tidak berlaku karena dalam ajaran agama Islam kedudukan antara manusia dengan Tuhan sangat berbeda. Tuhan berada di atas segala-galanya. Ajaran Islam menempatkan raja dalam kedudukan yang tidak semulia dan seagung pada zaman Hindu-Budha, tetapi sebagai khalifatullah, yaitu sebagai wakil penguasa di dunia dan akan dimintai pertanggungjawabannya nanti. Manusia yang akan diangkat sebagai khalifatullah akan mendapat tanda-tanda khusus dari Tuhan dalam bentuk perlambang tertentu.
Berdasarkan hal tersebut, seorang raja harus memiliki legitimasi (pengesahan) dari Tuhan. Bentuk legitimasi itu oleh orang Jawa disebut wahyu atau cahaya nubuwat atau pulung. Seseorang yang mendapat wahyu dari Tuhan berupa pulung keraton atau kekuatan suci, ia akan menjadi penguasa tanah Jawa. Selain itu, seorang raja harus memiliki perlambang yang mempunyai kekuatan magis.
Dalam kitab Babad Tanah Jawi, dikisahkan bahwa takhta Kerajaan Majapahit sebelum diserahkan kepada Raden Patah harus terlebih dahulu diduduki (dilungguhi) oleh Sunan Giri selama empat puluh hari sebagai syarat untuk menolak bala. Perlambang lainnya yang menunjukkan kekuatan magis adalah alat gamelan berupa gong. Di Kerajaan Banjar, tanda yang berkekuatan magis berupa payung, keris, umbul-umbul, mahkota dan gamelan. Di Ternate, benda yang dianggap mempunyai kekuatan magis, antara lain mahkota kereta keranjang, paying, bendera, keris dan pedang.
Penghapusan konsep dewa raja pada zaman islam tidak mengurangi tuntutan pokok, yaitu kekuasaan raja yang menyeluruh dan mutlak atas seluruh rakyat. Sultan sebagai seorang raja yang berkuasa atas rakyatnya dianggap dapat menghubungkan mereka dengan alam gaib. Hal itu dapat dilihat dalam tradisi pemberian gelar pangeran (susuhunan, panembahan) kepada seorang sultan atau raja. Karena raja menduduki posisi sentral, seluruh aparat pemerintahan merupakan perpanjangan kekuasaan raja. Kekuatan apapun yang mungkin dimiliki oleh para pejabat diyakini diperoleh dari raja.
Jadi, baik dalam kerajaan-kerajaan Hindu-Budha maupun Islam, konsepsi magis-religius memainkan peran yang menentukan, tidak hanya dalam melegitimasi kekuasaan raja, tetai juga dalam menjelaskan peranan orang yang memerintah dan yang diperintah serta hubungan antara raja dan rakyatnya.
Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha seperti yang pernah Anda pelajari pada modul sebelumnya. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami proses akulturasi (proses bercampurnya dua (lebih) kebudayaan karena percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang melahirkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya Islam tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang. Bentuk budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat kebendaan/material tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia.

Salam SPARTAN !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar