MODUL SEJARAH INDONESIA KELAS XI
SMA SANTU PETRUS PONTIANAK
2016/2017
Oleh: Imam Syamsul Huda
*dari berbagai sumber
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lahirnya
Kolonialisme dan Imperialisme Barat
1.
Penjelajahan Samudra
Ramainya perdagangan
di Laut Tengah, terganggu selama dan setelah berlangsungnya Perang Salib (1096
- 1291). Dengan
jatuhnya kota Konstantinopel (Byzantium) pada tahun 1453 ke tangan Turki
Usmani, aktivitas perdagangan antara orang Eropa dan Asia terputus. Sultan
Mahmud II, penguasa Turki menjalankan politik yang mempersulit pedagang Eropa
beroperasi di daerah kekuasannya. Bangsa Barat menghadapi kendala krisis
perdagangan rempah-rempah. Oleh karena itu bangsa Barat berusaha keras mencari
sumbernya dengan melakukan penjelajahan samudra.
Selain itu, jatuhnya
Konstantinopel pada tahun 1453 ke Turki Utsmani mengakibatkan pasokan
rempah-rempah ke wilayah Eropa terputus. Hal ini dikarenakan boikot yang
dilakukan oleh Turki Utsmani. Situasi ini mendorong orang-orang Eropa
menjelajahi jalur pelayaran ke wilayah yang banyak memiliki bahan
rempah-rempah, Dalam perkembangannya, mereka tidak saja berdagang, tetapi juga
menguasai sumber rempah-rempah di negara penghasil.
a.
Faktor Utama
Adanya semboyan
imperalisme kuno Yang diirigi dengan semangat kekalahan perang salib juga
menimbulkan semboyan 3G yaitu Gold (mencari kekayaan), Glory (mencari
kejayaan), Gospel (menyebarkan agama kristen). Semboyan tersebut menjadi tujuan
penjelajahan samudera.
b.
Faktor Pendukung
1)
Ditemukan kompas
2)
Dikemukakannya bahwa bumi itu
bulat
3)
Ditemukannya
kartografi
4)
Dikembangkannya teknik
pembuatan kapal
5)
Ditemukan mesin untuk
persenjataan
6)
Diilhami dari kisah
perjalanan Marcopolo pada 1254-1324
2.
Masuknya
Bangsa Barat ke Indonesia
a. Portugis
Diawali oleh Bartholomeus Diaz dengan menyusuri pantai
barat Afrika, kemudian mengitari Tanjung Harapan pada tahun 1487. Dia harus
kembali ke Portugis karena dihadang topan. 10 tahun kemudian dilanjutkan oleh
Vasco da Gama dan dianggap berhasil kembali ke Lisbon dengan membawa contoh
barang dari India. Raja Manuel (1495-1521)
mengirim 13 kapal untuk menyiapkan pos perdagangan di India. Armada itu
dipimpin oleh Pedro Alvares Cabral dan
dibantu oleh Bartholomeus Diaz.
Bangsa Portugis
merupakan bangsa Eropa pertama yang mencapai Kepulauan
Nusantara. Pencarian
mereka untuk mendominasi sumber perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan
pada awal abad ke 16dan usaha
penyebaran Katolik Roma mereka yang berbarengan menyaksikan pendirikan pos dan
benteng perdagangan, serta unsur budaya Portugis yang kuat yang masih tetap
penting di Indonesia. Keahlian
baru bangsa Portugis dalam navigasi, pembuatan kapal, dan persenjataan memungkinkan mereka berani mengadakan ekspedisi
penjelajahan dan ekspansi. Bermula dengan ekspedisi penjelajahan pertama yang
dikirim dari Malaka yang baru
ditaklukkan pada tahun 1512, bangsa
Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang tiba di Nusantara, dan mencoba
mendominasi sumber-sumber rempah-rempah berharga dan berusaha menyebarkan Katolik Roma. Percobaan awal bangsa Portugis mendirikan koalisi
dan perjanjian damai pada tahun 1512 dengan Kerajaan Sunda di Parahyangan, gagal akibat sikap permusuhan yang ditunjukkan oleh
sejumlah pemerintahan Islam di Jawa, seperti Demak dan Banten. Bangsa Portugis mengalihkan arah ke Kepulauan Maluku, yang terdiri atas berbagai
kumpulan negara yang
awalnya berperang satu sama lain namun memelihara perdagangan antarpulau dan
internasional. Melalui penaklukan militer dan persekutuan dengan penguasa
setempat, mereka mendirikan pos, benteng, dan misi perdagangan di Indonesia Timur, termasuk Pulau Ternate, Ambon, dan Solor. Namun,
puncak kegiatan misi Portugis dimulai pada paruh terakhir abad ke-16.
b. Spanyol
Pelopor bangsa
Spanyol yang mencari jalan langsung ke Indonesia adalah Christopher Columbus, ia berjalan kearah barat. Setelah dua
bulan, ia sampai di sebuah pulau yang kemudian dinamakan San Salvador. Columbus
gagal mencapai India. Setelah
Columbus gagal menemukan India, ekspedisi Spanyol selanjutnya ke daerah rempah
– rempah dipelopori oleh Ferinand Magellan. Berbeda dengan armada Portugis,
pada tahun 1519 Magellan berangkat melalui Samudera Atlantik. Setelah melewati
ujung Amerika Selatan, ia masuk ke Samudera Pasifik. Ia tiba di Filipina pada
tahun 1521. sewaktu mencoba mengatasi perang antarsuku di Cebu, Magellan
terbunuh. Ia digantikan oleh Del Cano. Dalam perjalanan kembali ke Spanyol,
mereka singgah di Tidore. Sejak saat itu, terjalin kerja sama
antara Spanyol dan Tidore. Kerja sama itu tidak hanya dalam hal perdagangan,
tetapi juga diperkuat dengan dibangunnya benteng Spanyol di Tidore. Kondisi
tersebut tentu saja menyebabkan antara Portugis dan Spanyol saat itu, Portugis
membuka kantor dagangnya di Ternate. Portugis merasa terancam dengan hadirnya
Spanyol di Tidore dan menganggap Spanyol telah melanggar perjanjian
Tordesillas. Hal ini diperkuat lagi dengan kenyataan bahwa Tidore dan Ternate
telah lama bermusuhan. Dengan alasan tersebut, Portugis yang didukung pasukan
Tidore. Benteng Spanyol di Tidore dapat direbut Portugis. Namun, berkat
perantara Paus di Roma, Portugis dan Spanyol akhirnya mengadakan perjanjian
yang disebut Perjanjian Zaragosa. Berdasarkan perjanjian itu, Maluku dikuasai
Portugis sedangkan Filipina dikuasai Sepanyol.
c. Belanda
Mendengar keberhasilan orang-orang Spanyol
dan juga Portugis dalam menemukan daerah baru, apalagi daerah penghasil
rempah-rempah, para pelaut dan pedagang Belanda tidak mau ketinggalan. Tahun
1594 Barents mencoba berlayar untuk mencari dunia Timur atau Tanah Hindia
melalui daerah kutub utara. Karena keyakinannya bahwa bumi bulat maka sekalipun
dan utara atau barat akan sampai pula di timur. Ternyata Barents tidak begitu
mengenal medan. la gagal melanjutkan penjelajahannya karena kapalnya terjepit
es mengingat air di kutub utara sedang membeku. Barents terhenti di sebuah
pulau yang disebut Novaya Zemlya. la berusaha kembali ke negerinya, tetapi ia
meninggal di perjalanan.
Pada tahun 1595 pelaut Belanda yang lain
yakni Cornelis de Houtman dan Piter de Keyser memulai pelayaran. Kedua pelaut
ini bersama armadanya dengan kekuatan empat kapal dan 249 awak kapal beserta 64
pucuk meriam melakukan pelayaran dan penjelajahan samudra untuk mencari tanah
Hindia yang dikenal sebagai penghasil rempah-rempah. Cornelis de Houtman
mengambil jalur laut yang sudah biasa dilalui orang-orang Portugis. Tahun 1596
Cornelis de Houtman beserta armadanya berhasil mencapai Kepulauan Nusantara. la
dan rombongan mendarat di Banten. Sesuai dengan niatnya untuk berdagang maka
kehadiran Cornelis de Houtman diterima baik oleh rakyat. Waktu itu di Kerajaan
Banten bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Abdul Mufakir Mahmud
Abdulkadir. Dengan melihat pelabuhan Banten yang begitu strategis dan adanya
hasil tanaman rempah-rempah di wilayah itu Cornelis de Houtman berambisi untuk
memonopoli perdagangan di Banten. Dengan kesombongan dan kadang-kadang berlaku
kasar, orang orang Belanda memaksakan kehendaknya. Hal ini tidak dapat diterima
oleh rakyat dan penguasa Banten. Oleh karena itu, rakyat mulai membenci bahkan
kemudian mengusir orang-orang Belanda itu. Cornelis de Houtman dan armadanya
segera meninggalkan Banten dan akhirnya kembali ke Belanda. Ekspedisi
penjelajahan berikutnya segera dipersiapkan untuk kembali menuju Kepulauan
Nusantara. Rombongan kali ¡ni dipimpin antara lain oleh van Heemskerck. Tahun
1598 van Heemskerck dengan armadanya sampai di Nusantara dan juga mendarat di
Banten. Heemskerck dan anggotanya bersikap hati-hati dan Iebih bersahabat.
Rakyat Banten pun kembali menerima kedatangan orang-orang Belanda. Belanda
mulai melakukan aktivitas perdagangan. Kapal-kapal mereka mulai berlayar ke
timur dan singgah di Tuban. Dan Tuban pelayaran dilanjutkan ke timur menuju
Maluku. Untuk kedua kalinya, di bawah pimpinan Jacob van Neck mereka sampai di
Maluku pada tahun 1599. Kedatangan orang-orang Belanda ini juga diterima baik
oleh rakyat Maluku. Kebetulan waktu itu Maluku sedang konflik dengan
orang-orang Portugis. Pelayaran dan perdagangan orang-orang Belanda di Maluku
ini mendapatkan keuntungan yang berlipat. Dengan demikian semakin banyak
kapal-kapal dagang yang berlayar menuju Maluku
d. Inggris
Setelah Portugis berhasil menemukan
kepulauan Maluku, perdagangan rempah-rempah semakin meluas. Dalam waktu singkat
Lisabon berkembang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah di Eropa Barat.
Dalam kaitan ini Inggris dapat mengambil keuntungan besar dalam perdagangan
rempah-rempah karena lnggris mendapatkan rempah rempah secara bebas dan relatif
murah di Lisabon. Rempah-rempah itu kemudian diperdagangkan di daerah-daerah
Eropa Barat bahkan sampai di Eropa Utara. Tetapi karena lnggris terlibat
konflik dengan Portugis sebagai bagian dari Perang 80 Tahun, maka lnggris mulai
mengalami kesulitan untuk mendapatkan rempah-rempah dan pasar Lisabon. Oleh
karena itu, Inggris kemudian berusaha mencari sendiri negeri penghasil
rempah-rempah. Banyak anggota masyarakat, para pelaut dan pedagang yang tidak
melibatkan diri dalam perang justru mengadakan peayaran dan penjelajahan
samudra untuk menemukan daerah penghasil rempah-rempah. Dalam pelayarannya ke
dunia Timur untuk mencari daerah penghasil rempah-rempah, Inggris sampai ke India. Para pelaut dan pedagang Inggris ini masuk ke India pada tahun 1600. Inggris justru memperkuat
kedudukannya di India. Inggris membentuk kongsi dagang yang diberi nama East
India Company (EIC). Dan India inilah para pelaut dan pedagang Inggris berlayar
ke Kepulauan Nusantara untuk meramaikan perdagangan rempah rempah. Bahkan pada
tahun 1811 pernah memegang kendali kekuasaan di Tanah Hindia. Di samping ekspedisi tersebut, ada
beberapa rombongan pelaut Inggris yang melewati jalur yang
pernah ditempuh para pelaut Spanyol. Misalnya kelompok Pelgrim Father yang
merupakan kelompok pelaut Inggris yang menggunakan Kapal Mayflower. Tahun 1607
kelompok Pilgrim Father berhasil mendarat di Amerika bagian Utara. Mereka
kemudian membangun koloni di Amerika Utara di Massachusetts.
Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC)
1.
Lahirnya VOC
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC),
yaitu sebuah persekutuan dagang
Hindia Belanda yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602. Di sebut VOC karena
perusahaan ini memiliki monopoli untuk aktivitas dagang di Hindia Timur. Ada
pula VWC yang juga merupakan persekutuan dagang sejenis yang menguasai kawasan
Hindia Barat. Tujuan utama VOC adalah memonopoli dan menguasai perdagangan
rempah-rempah di Nusantara seperti cengkeh, pala, lada, dan lain sebagainya.
VOC merupakan perusahaan
multinasional pertama di dunia yang memiliki sistem pembagian saham.
VOC bukanlah sebuah negara ataupun mewakili sebuah negara seperti anggapan kita
selama ini. Tetapi sebuah perusahaan dagang yang kepentingan utamanya adalah
mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Pada 20 Maret 1602, Pemerintahan Belanda
mendirikan VOC (Perkumpulan Dagang India Timur). Di masa itu, terjadi
persaingan sengit di antara negara-negara Eropa, yaitu Portugis, Spanyol
kemudian juga Inggris, Perancis dan Belanda, untuk memperebutkan hegemoni
perdagangan di Asia Timur. Untuk menghadapai masalah ini, oleh Staaten
Generaal di Belanda, VOC diberi wewenang memiliki tentara yang harus mereka
biayai sendiri. Selain itu, VOC juga mempunyai hak, atas nama Pemerintah
Belanda untuk membuat perjanjian kenegaraan. Wewenang ini yang mengakibatkan,
bahwa suatu perkumpulan dagang seperti VOC, dapat bertindak seperti layaknya
satu negara.
Perusahaan ini mendirikan markasnya di
Batavia di pulau Jawa. Pos
kolonial lainnya juga didirikan di tempat lainnya di Hindia
Timur yang kemudian menjadi Indonesia, seperti di kepulauan rempah-rempah (Maluku), yang
termasuk Kepulauan Banda
di mana VOC manjalankan monopoli atas rempah-rempah. Metode yang digunakan
untuk mempertahankan monopoli termasuk kekerasan terhadap populasi lokal, dan
juga pemerasan dan pembunuhan massal.
Tahun 1603 VOC memperoleh izin di Banten untuk mendirikan kantor perwakilan,
dan pada 1610 Pieter Both diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama
(1610-1614), namun ia memilih Jayakarta sebagai basis administrasi VOC.
Sementara itu, Frederik de Houtman menjadi Gubernur VOC di Ambon (1605 - 1611) dan setelah itu
menjadi Gubernur untuk Maluku (1621 - 1623). VOC adalah badan yang bersifat
partikelir dimana mana para pedangang Belanda bergabung di dalamnya VOC
singkatan dari Vereenidge Oost Indische Compagnie VOC berdiri pada tanggal 20
Maret 1602.
Tujuan VOC Berdiri antara lain :
- Menghindari terjadinya persaingan yang tidak sehat di antara pedagang-pedagang Belanda
- Memperkuat posisi Belanda dalam menghadapi persaingan dengan bangsa-bangsa Eropa seperti East Indische Company (EIC)
- Membantu pemerintah Belanda yang sedang berjuang melawan pendudukan Spanyol
- Menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia
- Melaksanakan monopoli perdaganang rempah-rempah
Dalam menjalankan tugasnya di Hindia
Timur, VOC di beri hak Octroi (Hak istimewa) yaitu hak untuk dapat bertindak
sebagai suatau negara dari
Pemerintahan Belanda. Hak - Hak
tersebut, antara lain :
- Menjadi wakil sah pemerintah Belanda di Asia
- Memonopoli perdagangan
- Mencetak dan mengedarkan mata uang sendiri
- Memungut pajak
- Mengadakan perjanjian dengan negara/penguasa lokal
- Mengadakan perang
- Memiliki tentara angkatan perang sendiri
- Menjalankan kekuasaan kehakiman
- Menyelenggarakan pemerintahan sendiri.
a.
Pieter Both
Pieter Both ditunjuk sebagai Gubernur
Jenderal VOC pada November 1609 dengan tugas utama untuk menciptakan monopoli
perdagangan antara pulau pulau di Hindia Belanda hanya dengan Kerajaan Belanda,
dan tidak dengan negara lain, terutama Inggris. Dan Pieter Both memulainya
dengan mendirikan pos perdagangan di Banten dan Jakarta (1610). Pieter Both
memegang jabatan sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari 19-December-1610
hingga 6-November-1614. Dan dia berhasil mengadakan perjanjian perdagangan
dengan Pulau Maluku, menaklukan Pulau Timor dan mengusir Spanyol dari Pulau
Tidore.
b.
Jan
Pieterszoon Coen
Jan
Pieterszoon Coen adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda
yang keempat dan keenam. Pada masa jabatan pertama ia memerintah pada tahun 1619
– 1623 dan untuk masa jabatan yang kedua berlangsung pada tahun 1627 – 1629.
pada tanggal 18 April 1618, ia diangkat menjadi Gubernur-Jenderal. Akan tetapi
baru pada 21 Mei 1619 ia resmi memangku jabatan tersebut dari Gubernur Jenderal
sebelumnya, Laurens Reael. Setelah menjadi Gubernur-Jenderal, ia tidak tahan
terhadap orang Banten dan orang Inggris di sana, maka iapun memindahkan kantor Kompeni
ke Jakarta, di mana ia membangun pertahanan. Pada tanggal 30 Mei 1619 dia
menaklukkan Jayakarta dan namanya diubah menjadi Batavia (Batavieren). Pada
tahun 1623, ia menyerahkan kekuasaan kepada Pieter de Carpentier dan ia sendiri
pulang ke Belanda. Oleh pimpinan Kompeni (VOC) ia disuruh kembali ke Hindia dan
menjadi Gubernur-Jenderal kembali. Maka iapun datang pada tahun 1627. Pada masa
jabatannya kedua ia terutama berperang melawan Kesultanan Banten dan Mataram.
Mataram menyerang Batavia dua kali, yaitu pada tahun 1628 dan 1629.
Kedua-duanya gagal, tetapi Coen tewas secara mendadak pada tanggal 21 September
1629.
2. Kebijakan-Kebijakan
VOC
Kebijakan-kebijakan VOC selama
berkuasa di Indonesia sejak tahun 1602 – 1799 antara lain dapat dirangkum
sebagai berikut :
a)
Memberlakukan
dua jenis pajak kepada rakyat, yaitu Contingenten dan Verplichte Leverentie
Contingenten adalah pajak wajib berupa hasil bumi yang langsung dibayarkan
kepada VOC. Verplichte Leverentie adalah penyerahan wajib hasil bumi dengan
harga yang telah ditentukan VOC.
b)
Menyingkirkan
pedagang-pedagang lain baik dari negara lain maupun pedagang Jawa, Melayu,
Arab, dan China dari aktivitas perdagangan rempah-rempah di Indonesia.
c)
Menguasai
pelabuhan-pelabuhan dan mendirikan benteng untuk melaksanakan monopoli
perdagangan.
d)
Melakukan
kebijakan ekstirpasi, yaitu kebijakan untuk membinasakan tanaman
rempah-rempah yang melebihi ketentuan sehingga harga dapat dipertahankan. Serta pelayaran Hongi yaitu pelayaran keliling menggunakan perahu
jenis kora-kora yang dipersenjatai untuk mengatasi perdagangan gelap atau
penyelundupan rempah-rempah.
e)
Melaksanakan
politik devide
et impera ( memecah dan menguasai )
dalam rangka untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia.
f) Kebijakan Prianger Stelsel ( system Priangan ,
penyerahan wajib) dimulai tahun 1723. Masyarakat di Priangan dikenai aturan
wajib kerja menanam kopi dan menyerahkan hasilnya kepada kompeni. Wajib kerja
ini sama dengan kerja paksa / rodi, rakyat tanpa diberi upah, menderita dan miskin
3. Berakhirnya Kekuasaan VOC
a.
Faktor internal
Faktor-faktor
yang mendorong kebangkrutan VOC Di Indonesia
1).
Pegawai VOC yang tidak cakap
2).
Terjadinya korupsi yang merajalela di sektor pemerintahan VOC
3).
Anggaran biaya untuk para pegawai sangat besar karena meluasnya kekuasaan VOC
4).
Pembukuan curang dari para pegawai VOC yang menyebabkan VOC menanggung hutang
sebesar 134,7 juta gulden
5).
Biaya perang yang tinggi akibat pemberontakan di daerah
6).
Adanya persaingan dagang dengan negara lain, seperti East Indische Company
(Inggris) dan Compagnie des Indes (Perancis).
b. Faktor Eksternal
pada tahun 1795
Perancis dibawah Napoleon Bonaparte menguasai Belanda dan mendirikan Republik
Bataaf (1795-1806). Pada tahun yang sama, atas dukungan Perancis, Raja Belanda
Willem V digulingkan oleh kaum republikan. Akhirnya Belanda pun menjadi
Republik. Sementara itu, raja Willem V menyingkir ke Inggris. Republik baru ini
menjadi semacam negara bawahan (Vassal) dari Perancis. Sebagai Republik,
Belanda menjadi sekutu Perancis dalam gerakan anti-monarki untuk melawan
Inggris.
Akibat faktor internal
dan eksternal tersebut menyebabkan pemerintah Belanda mencabut oktroi atau
ijinnya pada tahun 1795. VOC secara resmi dibubarkan pada 31 Desember 1799.
Indonesia Pasca VOC: Masuknya
Pengaruh Perancis dan Pendudukan Inggris
1. Herman Willem Daendels (1808-1811)
Tugas utama Daendels
adalah pembangunan pertahanan Nusantara terhadap Inggris. Disamping itu, ketika
menjalankan tugasnya, Daendels juga dihadapkan pada persoalan ekonomi yang
tidak mendukung kebijakan-kebijakannya, serta persoalan sosial-politik yang
dianggap dapat menghambat rencana-rencananya. Berikut adalah
kebijakan-kebijakan Daendels dalam menjalankan tugasnya sebagai Gubernur
Jenderal Hindia-Belanda:
a.
Membangun Jalan Raya Pos atau de Grote
Postweg dari Anyer –Panarukan
Untuk keperluan pembangunan raksasa itu dibutuhkan tenaga rakyat,
maka dari itu wajib kerja (verplicte diensten) dipertahankan. Di samping itu
wajib penyerahan juga masih berlaku yaitu pajak hasil bumi (contingenten). Ia
juga mengadakan pinjaman paksa dan monopoli beras, serta menjual sebagian tanah
gubernemen (pemerintah) kepada kaum pengusaha (partikelir atau swasta). Dengan
demikian pada masa pemerintahan Daendels sebenarnya sistem tradisional masih
berjalan terus.
b.
Mendirikan benteng-benteng pertahanan
c.
Membangun pangkalan angkatan laut
d.
Membangun angkatan perang yang terdiri
dari orang-orang pribumi
e.
Mendirikan pabrik senjata di Surabaya,
pabrik meriam di Semarang, dan sekolah militer di Batavia
f.
Membangun rumah sakit dan tangsi-tangsi
militer yang baru
Selain kebijakan dalam
bidang pertahanan dan kemiliteran tersebut di atas. Daendels juga menerapkan
sejumlah kebijakan lain, seperti:
a.
Membagi pulau Jawa menjadi 9 prefektur
(daerah), setara karisidenan
b.
Mengangkat para bupati di seluruh Jawa
menjadi pegawai pemerintah
c.
Menaikkan gaji pegawai agar tetap loyal
kepada pemerintah kolonial
d.
Mendirikan badan pengadilan yang
disesuaikan dengan adat istiadat yang berlaku
Dalam
menjalankan tugasnya itu, Daendels memberantas sistem feodal yang dibangun oleh
VOC sebelumnya. Untuk mencegah penyalah-gunaan kekuasaan, serta hak-hak bupati
mulai dibatasi, terutama yang menyangkut penggunaan tanah dan pemakaian tenaga
rakyat. Baik wajib tanam maupun wajib kerja hendak dihapuskannya. Hal ini tidak
hanya akan mengurangi pemerasan oleh para penguasa tetapi juga lebih selaras
dengan prinsip kekebasan berdagang.
Pada
tahun 1811 Daendels dipanggil kembali ke Belanda. Ia kemudian digantikan Jan Willem Janssens. Ternyata Janssens tidak secakap dan
sekuat Daendels dalam melaksanakan tugasnya. Ketika Inggris menyerang Pulau
Jawa, ia menyerah dan harus menandatangani perjanjian di Tuntang pada tanggal
17 September 1811. Perjanjian tersebut dikenal dengan nama Kapitulasi Tuntang,
yang berisi sebagai berikut:
a) Pemerintah
Belanda menyerahkan Indonesia kepada Inggris di Kalkuta (India)
b) Semua
tentara Belanda menjadi tawanan perang Inggris
c) Orang
Belanda dapat dipekerjakan dalam pemerintahan Inggris.
d) Hutang
Belanda tidak menjadi tanggungan Inggris.
2. Thomas Stamford Raffles (1811-1816)
Raffles diangkat sebagai Letnan Gubernur Jawa
pada tahun 1811,
ketika Kerajaan Inggris mengambil alih
jajahan-jajahan Kerajaan Belanda dan ia tidak lama
kemudian dipromosikan sebagai Gubernur Sumatera, ketika Kerajaan Belanda diduduki oleh Napoleon Bonaparte
dari Perancis.
a. Kebijakan-kebijakan
Raffles
1) Bidang
birokrasi dan pemerintahan
a) Membagi
Pulau Jawa menjadi 16 keresidenan (sistem keresidenan ini berlangsung sampai
tahun 1964
b) Mengubah
sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem
pemerintahan kolonial yang bercorak Barat
c) Bupati-bupati
atau penguasa-penguasa pribumi dilepaskan kedudukannya yang mereka peroleh
secara turun-temurun
d) Sistem juri
ditetapkan dalam pengadilan
2) Bidang
ekonomi dan keuangan
Petani
diberikan kebebasan untuk menanam tanaman ekspor, sedang pemerintah hanya
berkewajiban membuat pasar untuk merangsang petani menanam tanaman ekspor yang
paling menguntungkan. Penghapusan pajak hasil bumi (contingenten) dan sistem
penyerahan wajib (verplichte leverantie) yang sudah diterapkan sejak zaman VOC.
Menetapkan sistem sewa tanah (landrent) yang berdasarkan anggapan pemerintah
kolonial. Pemungutan pajak secara perorangan.
kolonial. Pemungutan pajak secara perorangan.
3) Bidang hukum
Sistem peradilan
Yang
diterapkan Raffles lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh Daendels. Karena
Daendels berorientasi pada warna kulit (ras), Raffles lebih berorientasi pada
besar kecilnya kesalahan. Badan-badan penegak hukum pada masa Raffles sebagai
berikut:
• Court of Justice, terdapat pada setiap residen
• Court of Justice, terdapat pada setiap residen
• Court of
Request, terdapat pada setiap divisi
• Police of
Magistrate
4) Bidang
sosial
Penghapusan
kerja rodi (kerja paksa) Penghapusan perbudakan, tetapi dalam praktiknya ia
melanggar undang-undangnya sendiri dengan melakukan kegiatan sejenis
perbudakan. Peniadaan pynbank (disakiti), yaitu hukuman yang sangat kejam
dengan melawan harimau.
5) Bidang Ilmu
Pengetahuan
a)
Ditulisnya buku berjudul History of Java di London
pada tahun 1817 dan dibagi dua jilid
b)
Ditulisnya buku berjudul History of the East Indian
Archipelago di Eidenburg pada tahun 1820 dan dibagi tiga jilid
c)
Raffles juga aktif mendukung Bataviaach Genootschap,
sebuah perkumpulan kebudayaan dan ilmu pengetahuan
d)
Ditemukannya bunga Rafflesia Arnoldi
e)
Dirintisnya Kebun Raya Bogor
f)
Memindahkan Prasasti Airlangga ke Calcutta, India
sehingga diberi nama Prasasti Calcutta
Masa kekuasaan Raffles relatif singkat
(1811-1816). Hal itu terkait dengan kekalahan Napoleon (Perancis) dalam
pertempuran Leipzig melawan pasukan koalisi yang terdiri dari Russia, Prusia,
Austria dan Swedia. Kekalahan perancis berarti kemerdekaan bagi Belanda. Hal
itu terwujud melalui Konvensi London pada tahun 1814 yang menyebutkan bahwa
Belanda mendapatkan kembali bekas wilayah kekuasaannya di Nusantara. Secara
resmi penyerahan-penyerahan kekuasaan dilaksanakan pada tahun 1816.
Masa Kekuasaan Belanda Kedua (1816-1942)
1. Kebijakan Tanam Paksa
(Cultuurstelsel): Jahannes van den Bosch (1830-1870)
Istilah cultuur
stelsel sebenarnya berarti sistem tanaman. Pengertian dari
cultuur stelsel sebenarnya adalah kewajiban rakyat (Jawa) untuk menanam
tanaman ekspor yang laku dijual di Eropa. Rakyat pribumi menerjemahkan cultuur
stelsel dengan sebutan tanam paksa (TP). Hal itu disebabkan pelaksanaan proyek penanaman dilakukan
dengan cara-cara paksa. Pelanggarnya dapat dikenakan hukuman fisik yang amat
berat. Jenis-jenis tanaman yang wajib ditanam, yaitu tebu, nila, teh, tembakau,
kayu manis, kapas, merica (lada), dan kopi.
Menurut van den
Bosch, cultuur stelsel didasarkan atas hukum adat yang
menyatakan bahwa barang siapa berkuasa di suatu daerah, ia memiliki tanah dan
penduduknya. Karena raja-raja di Indonesia sudah takluk kepada Belanda,
pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti raja-raja tersebut.
Oleh karena itu, penduduk harus menyerahkan sebagian hasil tanahnya kepada
pemerintah Belanda.
A.
Latar Belakang Sistem Tanam Paksa
- Di Eropa, Belanda terlibat dalam peperangan-peperangan pada masa kejayaan Napoleon Bonaparte sehingga menghabiskan biaya yang amat besar.
- Terjadinya Perang Kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia dari Belanda pada tahun 1830.
- Terjadi Perang Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perlawanan rakyat jajahan termahal bagi Belanda. Perang Diponegoro menghabiskan biaya sekitar 20.000.000 gulden.
- Kas Negara Belanda kosong dan hutang yang ditanggung Belanda cukup berat.
- Pemasukkan uang dari penanaman kopi tidak banyak.
- Gagal mempraktikkan gagasan liberal (1816-1830) berarti gagal juga mengeksploitasi tanah jajahan untuk memberikan keuntungan yang besar pada Belanda.
B.
Aturan-Aturan Tanam Paksa
Ketentuan-ketentuan
pokok sistem tanam paksa terdapat dalamStaatsblad (lembaran Negara)
tahun 1834 No.22, beberapa tahun setelah tanam paksa dijalankan di Pulau Jawa.
Bunyi dari ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:
- Persetujuan-persetujuan agar penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor yang dapat dijual di Eropa.
- Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan tersebut tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki.
- Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman tidak boleh melebihi pekerjaan untuk menanam padi.
- Tanah yang disediakan penduduk tersebut bebas dari pajak tanah.
- Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Jika harganya ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, kelebihan itu diberikan kepada penduduk.
- Kegagalan panen yang bukan karena kesalahan petani akan menjadi tanggungan pemerintah.
- Bagi yang tidak memiliki tanhan akan dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari setiap tahun.
- Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pemimpin-pemimpin pribumi. Pegawai-pegawai Eropaa bertindak sebagai pengawas secara umum.
Ketentuan
tersebut banyak terjadi penyimpangan. Penyimpangan tersebut yang merugikan
rakyat antara lain:
- Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara-cara yang sangat memaksa.
- Luas tanah yang disediakan penduduk lebih dari seperlima tanah mereka. Sering kali juga semua tanah rakyat digunakan untuk tanam paksa.
- Pengerjaan tanaman-tanaman ekspor sering kali jauh melebihi pengerjaan padi.
- Kelebihan hasil panen sering kali tidak dikembalikan kepada petani.
- Pajak tanah masih dikenakan pada tanah yang digunakan untuk proyek tanam paksa.
- Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
- Buruh yang seharusnya dibayar oleh pemerintah malah dijadikan tenaga paksaan.
C.
Dampak Tanam Paksa bagi Rakyat Indonesia
Pelaksanaan
system tanam paksa memberikan dampak bagi rakyat Indonesia, baik positif maupun
negatif.
a) Dampak Positif
·
Rakyat Indonesia mengenal teknik menanam
jenis-jenis tanaman baru.
·
Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman
dagang yang berorientasi impor.
b) Dampak Negatif
·
Kemiskinan serta penderitaan fisik dan
mental yang berkepanjangan.
·
Beban pajak yang berat.
·
Pertanian, khususnya padi, banyak
mengalami kegagalan panen.
·
Kelaparan dan kematian terjadi di banyak
tempat, seperti di Cirebon (1843) sebagai akibat dari pemungutan pajak tambahan
dalam bentuk beras, serta di Demak (1848) dan di Grobogan (1849-1850) sebagai
akibat kegagalan panen.
·
Jumlah penduduk Indonesia menurun dengan
sangat drastis.
2. Kebijakan Pintu Terbuka (1870-1900)
a)
Perubahan Politik di Belanda
Pelaksanaan Tanam Paksa
memang telah berhasil rnemperbaik perekonomian Belanda. Kemakmuran juga semakin
meningkat. Bahkan keuntungan dan Tanarn Paksa telah mendorong Belanda
berkembang sebagai negara industri. Sejalan dengan hal ini telah mendorong pula
tampilnya kaum liberal yang didukung oleh para pengusaha. Oleh karena ¡tu,
mulai muncul perdebatan tentang pelaksanaan Tanam Paksa. Masyarakat Belanda
mulai mempertimbangkan baik buruk dan untung ruginya Tanam Paksa. Timbullah pro
dan kontra mengenai pelaksanaan Tanam Paksa. Pihak yang pro dan setuju Tanam
Paksa tetap dilaksanakan adalah kelompok konservatif dan para pegawai
pernerintah. Mereka setuju karena Tanam Paksa telah mendatangkan banyak
keuntungan. Begitu juga para pemegang saham perusahaan NHM (Nederlansche Handel
Matschappij), yang mendukung pelaksanaan Tanam Paksa karena mendapat hak
monopoli untuk mengangkut hasil-hasil Tanam Paksa dan Hindia Belanda ke Eropa.
Sementara, pihak yang menentang pelaksanaan Tanam Paksa adalah kelompok
masyarakat yang merasa kasihan terhadap penderitaan rakyat pribumi. Mereka
umumnya kelompok-kelompok yang dipengaruhi oleh ajaran agama dan penganut asas
liberalisme. Kaum liberal menghendaki tidak adanya campur tangan pemerintah
dalam urusan ekonomi. Kegiatan ekonomi sebaiknya diserahkan kepada pihak
swasta. Pandangan dan ajaran kaum liberal itu semakin berkembang dan
pengaruhnya semakin kuat. Oleh karena itu, tahun 1850 Pemerintah mulai bimbang.
Apalagi setelah kaum liberal mendapatkan kemenangan politik di Parlemen (Staten
Generaal). Parlemen memiliki peranan lebih besar dalam urusan tanah jajahan.
Sesuai dengan asas liberalisme, maka kaum liberal menuntut adanya perubahan dan
pembaruan. Peranan pemerintah dalam kegiatan ekonomi harus dikurangi,
sebaliknya perlu diberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk mengelola
kegiatan ekonomi. Pemerintah berperan sebagai pelindung warga, mengatur
tegaknya hukum, dan membangun sarana prasarana agar semua aktivitas masyarakat
berjalan lancar.
b)
Sistem Ekonomi Liberal
Pada periode ini kaum pengusaha dan
modal swasta diberikan peluang sepenuhnya untuk menanamkan modalnya dalam
berbagai usaha kegiatan di Indonesia terutama dalam industri – industri
perkebunan besar baik jawa maupun daerah – daerah luar jawa. Selam masa
liberalisme ini modal swasta dari Belanda dan negara – negara Eropa lainnya
telah berhasil mendirikan berbagai perkebunan kopi, teh, gula dan kina yang
besar di Deli, Sumatera Timur.
Penetapan pelaksanan
sistem politik ekonomi liberal memberikan peluang pihak swasta untuk ikut
mengembangkan perekonomian di tanah jajahan. Seiring dengan upaya pembaruan
dalam menangani perekonomian di negeri jajahan, Belanda telah mengeluarkan
berbagai ketentuan dan peraturan peru ndang-undangan.
1) Tahun 1864 dikeluarkan Undang-undang Perbendaharaan
Negara (Comptabiliet Wet). Berdasarkan Undang-undang ini setiap anggaran
belanja Hindia Belanda harus diketahui dan disahkan oleh Parlemen.
2) Undang-undang Gula (Suiker Wet). Undang-undang
ini antara lain mengatur tentang monopoli tanaman tebu oleh pemerintah yang
kemudian secara bertahap akan diserahkan kepada pihak swasta.
3) Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) pada
tahun 1870. Undang Undang ini mengatur tentang prinsip-pnnsip politik tanah di
negeri jajahan. Di dalam undang-undang itu ditegaskan, antara lain : Tanah di
negeri jajahan di Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian. Pertama, tanah
milik penduduk pribumi berupa persawahan, kebun, ladang dan sebagainya. Kedua,
tanah tanah hutan, pegunungan dan lainnya yang tidak termasuk tanah penduduk pribumi
dinyatakan sebagai tanah pemerintah.
4) Pemerintah mengeluarkan surat bukti kepemilikan
tanah
5) Pihak swasta dapat menyewa tanah, baik tanah
pemerintah maupun tanah penduduk. Tanah-tanah pemerintah dapat disewa pengusaha
swasta sampai 75 tahun. Tanah penduduk dapat disewa selama lima tahun, ada juga
yang disewa sampai 30 tahun. Sewa-menyewa tanah ini harus didaftarkan kepada
pemerintah.
Sejak dikeluarkan UU
Agraria itu, pihak swasta semakin banyak memasuki tanah jajahan di Hindia
Belanda. Mereka memainkan peranan penting dalam mengeksplottasi tanah jajahan.
Oleh karena tu, mulailah era imperialisme modern. Berkembanglah kapitalisme di
Hindia Belanda. Tanah jajahan berfungsi sebagai:
1) tempat untuk mendapatkan bahan mentah untuk
kepentingan industri di Eropa, dan tempat penanaman modal asing,
2) tempat pemasaran barang-barang hasil industri
dan Eropa,
3) penyedia tenaga kerja yang murah.
Zaman liberal mengakibatkan ekonomi
uang masuk dalam kehidupan masyarakat Indonesia terutama Jawa. Penduduk pribumi
mulai menyewakan tanah – tanahnya kepada perusahaan – perusahaan swasta Belanda
untuk dijadikan perkebunan – perkebunan besar.
Setelah tahun 1885 perkembangan
tanaman perdagangan mulai berjalan lamban dan terhambat, karena jatuhnya harga
– harga gula dan kopi di pasaran dunia. Dalam tahun 1891 harga tembakau turun
drastis, sehingga membahayakan perkebunan – perkebunan tembakau di Deli,
Sumatera Timur. Krisis tahun 1885 mengakibatkan terjadinya reorganisasi dalam
kehidupan ekonomi Hindia – Belanda. Perkebunan – perkebunan besar tidak lagi
sebagai usaha milik perseorangan, tetapi direorganisasi sebagai perseroan –
perseroan terbatas.
Krisis perdagangan tahun 1885 juga
mempersempit penghasilan penduduk jawa, baik uang berupa upah bagi pekerjaan di
perkebunan – perkebunan maupun yang berupa sewa tanah. Politik kolonial baru
yaitu kolonial – liberal, semakin membuat rakyat menjadi miskin. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor :
1. Kemakmuran
rakyat ditentukan oleh perbandingan antara jumlah penduduk dan faktor – faktor
produksi lainnya seperti tanah dan modal.
2. Tingkat
kemajuan rakyat belum begitu tinggi, akibatnya mereka menjadi umpan kaum
kapitalis. Mereka belum mengenal sarekat kerja dan koperasi untuk memperkuat
kedudukan mereka.
3. Penghasilan
rakyat masih diperkecil oleh system voorschot (uang muka)
4. Kepada
rakyat Jawa dipikulkan the burden of empire (pajak /beban kerajaan).
Sebagai akibat politik tidak campur tangan Belanda terhadap daerah luar jawa,
pulau Jawa harus membiayai ongkos – ongkos pemerintahan gubernmen diseluruh
Indonesia.
5. Keuntungan
mengalir di negeri Belanda, pemerintah juga tidak menarik pajak dari keuntungan
– keuntungan yang didapat para pengusaha kapaitalis. Pemerintah menganut system
pajak regresif, yang sangat memberatkan golongan berpendapatan rendah.
6. Meskipun
system tanam paksa telah dihapuskan tetapi politik batig – slot belum
ditinggalkan.
7. Krisis tahun
1885 mengakibatkan terjadinya pinciutan dalam kegiatan pengusaha – pengusaha
perkebunan gula, yang berarti menurunnya upah kerja sewa tanah bagi penduduk.
Krisis ini diperberat dengan timbulnya penyakit sereh pada tanaman tebu,
sehingga akhirnya pulau Jawa dalam waktu lama dijauhi oleh kaum kapitalis
Belanda.
3.
Politik Etis (1901)
Munculnya kaum Etis yang di pelopori
oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer
(politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan
nasib para pribumi yang terbelakang. Dilatar belakangi Pelaksanaan sistem tanam
paksa yang mendatangkan keuntungan berlimpah bagi Belanda, namun menimbulkan
penderitaan rakyat Indonesia. Eksploitasi terhadap tanah dan penduduk Indonesia
dengan sistem ekonomi liberal tidak mengubah nasib buruk rakyat pribumi. Upaya Belanda
untuk memperkokoh pertahanan negeri jajahan dilakukan dengan cara penekanan dan
penindasan terhadap rakyat. Adanya kritik dari kaum intelektual Belanda sendiri
(Kaum Etisi) seperti Van Kol (melancarkan kritik drainage atau penghisapan), Van Deventer (mengusulkan Trilogi
Van Deventer: Irigasi, Emigrasi, Edukasi
dalam majalah De Gids dengan
judul Een Ereschuld dengan arti
berhutang budi), Brooschooft, De Waal (membantu Indonesia mendapatkan
528 G sejak tahun 1884), Baron van Hoevell (meminta perbaikan nasib rakyat
Indonesia di siding parlemen), Van den Berg, Van De Dem dan
lain-lain. Tokoh tersebut memperjuangkan agar pemerintah Belanda meningkatkan
kesejahteraan moral dan materiil kaum pribumi, menerapkan desentralisasi dan
efisiensi. Perjuangan mereka kemudian dikenal sebagai Politik Etis.
A) Pelaksanaan Politik Etis
Pada 17 September 1901, Ratu
Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen
Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi
(een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina
menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum
dalam program Trias Van deventer yang meliputi:
a. Irigasi
Membangun dan memperbaiki pengairan dan bendungan untuk
keperluan pengairan.
b. Emigrasi
(Transmigrasi)
Mengajak rakyat untuk bertransmigrasi sehingga terjadi
keseimbangan jumlah penduduk.
c. Edukasi
Menyelenggarakan
pendidikan dengan memperluas bidang pengajaran dan pendidikan.
B) Penyimpangan Politik Etis
Pada dasarnya kebijakan-kebijakan
yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya
terjadi penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan oleh para pegawai Belanda.
Berikut ini
penyimpangan-penyimpangan tersebut.
1)
Irigasi
Pengairan (irigasi) hanya ditujukan
kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda sedangkan, milik
rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
2)
Edukasi
Pemerintah Belanda membangun
sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang
cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk
seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan
orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di
sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta,
dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.
3)
Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya
ditujukan ke daerah-daerah yang
dikembangkan perkebunan-perkebunan milik
Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja
di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatra Utara, khususnya di
Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke
Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena
migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka
tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak
melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang
melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada
mandor/pengawasnya.
Ernest Douwes Dekker termasuk yang
menentang ekses pelaksanaan politik ini karena meneruskan pandangan pemerintah
kolonial yang memandang hanya orang pribumilah yang harus ditolong, padahal
seharusnya politik etis ditujukan untuk semua penduduk asli Hindia Belanda
(Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang Eropa yang menetap (blijvers).
C)
Kegagalan Politik Etis Dan Politik Asosiasi
Kegagalan pelaksanaan politik Etis
tersebut nampak dalam :
1) Sejak pelaksanaan sistem ekonomi
liberal Belanda mendapatkan keuntungan yang besar, sedangkan tingkat
kesejahteraan rakyat pribumi tetap rendah.
2) Hanya sebagian kecil kaum pribumi
yang memperoleh keuntungan dan kedudukan yang baik dalam masyarakat kolonial,
yaitu golongan pegawai negeri.
3) Pegawai negeri dari golongan pribumi
hanya digunakan sebagai alat saja, sehingga dominasi bangsa Belanda tetap
sangat besar.
Perlawanan Terhadap Kolonialisme
A. Perlawanan
Sebelum Tahun 1800
1. Perlawanan Rakyat Mataram
Pada awalnya
Mataram dengan Belanda menjalin hubungan baik. Belanda diizinkan mendirikan
benteng(loji) untuk kantor dagang di Jepara. Belanda juga memberikan dua meriam
terbaik untuk Kerajaan Mataram. Dalam perkembangannya, terjadi perselisihan
antara Mataram dengan Belanda. Pada tanggal 8 November 1618, Gubernur Jendral
VOC Jan Piterzoon Coen memerintahkan Van Der Marct menyerang Jepara. Peristiwa
tersebut memperuncing perselisihan antara Mataram dengan Belanda. Sultan Agung
mempersiapkan serangan terhadap kedudukan Belanda di Batavia. Serangan pertama
dilakukan tahun 1628. Pasukan Mataram yang dipimpin Tumenggung Baurekso tiba di
Batavia tanggal 22 Agustus 1628. Pasukan ini kemudian disusul pasukan
Tumenggung Sura Agul-Agul, yang dibantu dua bersaudara, yakni Kiai Dipati
Mandurojo dan Kiai Upa Santa. Upaya serangan pertama gagal untuk menghalang
mundur pasukan Belanda. Tidak kurang 1.000 prajurit Mataram gugur dalam
perlawanan tersebut. Mataram mempersiapkan serangan kedua 1629 pun gagal.
Selain kelemahan pasukan pertama, lumbung padi persediaan makanan banyak
dihancurkan Belanda. Di samping Sultan Agung, perlawanan terhadap kekuasaan VOC
juga dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi dan Mas Said.
2. Perlawanan Rakyat Banten
Konflik
dalam urusan kerajaan serta persaingan dalam tahta kerajaan juga menyebabkan
perlawanan terhadap kekuasaan barat mengalami kegagalan. Misalnya konflik
internal kesultanan Banten yang menyebabkan Banten jatuh ke tangan VOC Belanda.
Setelah sultan Ageng Tirtayasa mengangkat anaknya yang bergelar Sultan Haji
sebagai Sultan Banten, Belanda segera ikut campur dalam urusan Banten dengan
cara mendekati Sultan Haji. Sultan Ageng yang anti terhadap VOC segera menarik
kembali tahta untuk anaknya. Tentu saja tindakan itu tidak disukai oleh sang
putra mahkota, sehingga dia meminta bantuan ke VOC untuk mengambil kembali
tahtanya. Akhirnya, melalui kerjasama dengan VOC, Sultan Haji memperoleh
kembali tahtanya dengan imbalan menyerahkan sebagian wilayah banten kepada VOC.
3. Perlawanan Rakyat Makasar
Di Pulau
Sulawesi, perlawanan untuk mengusir kekuatan VOC juga tidak berhasil.
Penyebabnya hampir sama dengan daerah lainnya di Nusantara, yaitu karena adanya
konflik dan persaingan diantara kerajaan-kerajaan Nusantara. Misalnya konflik
antara Sultan Hasanudin dari Makasar dengan Aru Pallaka dari Kesultanan Bone
yang memberi jalan Belanda untuk menguasai Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi tersebut.
Untuk
memperkuat kedudukannya di Sulawesi, Sultan Hasanudin menduduki Sumbawa
sehingga jalur perdagangan di Nusantara bagian timur dapat dikuasainya. Oleh
karena itu, penguasaan ini dianggap oleh Belanda sebagai penghalang dalam
melakukan aktifitan perdagangan. Pertempuran antara Sultan Hasanudin dan
Belanda selalu terjadi. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis Spelman
selalu dapat dihalau pasukan Sultan Hasanudin. Untuk menghadapi Sultan
Hasanudin, Belanda meminta bantuan kepada Aru Pallaka yang bersengketa dengan
Sultan Hasanudin. Dengan kerjasama tersebut akhirnya Makasar jatuh ke tangan
Belanda dan Sultan Hasanudin harus menandatangani Perjanjian Bonghaya pada
tahun 1667 yang berisikan hal berikut :
a)
Sultan Hasanudin harus memberikan kebebasan kepada VOC
untuk berdagang dikawasan Makasar dan Maluku
b)
VOC memegang monopoli perdagangan di wilayah Indonesia
bagian timur dengan pusatnya Makasar
c)
Wilayah kerajaan Bone yang diserang dan diduduki pada
zaman Sultan Hasanudin dikembalikan kepada Aru Pallaka dan dia diangkat menjadi
Raja Bone.
4. Pemberontakan Untung Surapati.
Untung ialah
seorang budak dari Bali. Ia dibeli oleh pedagang dari Belanda dan dijadikan
pegawai VOC. Kesalahan yang dibuatnya, yaitu menjalin hubungan dengan seorang
gadis yang merupakan putri dari tuannya, sehingga dia dipenjara. Di dalam
penjara ia memimpin teman-temannya untuk membongkar pintu penjara dan kemudian
ia merampok orang orang Belanda. Untung kemudian menjadi buronan, Belanda
selalu menemui kegagalan dalam menangkapnya.
Di sisi
lain, VOC sedang berusaha melakukan penangkapan terhadap Pangeran Purbaya,
putra Sultan Ageng Tirtayasa yang meloloskan diri. Dalam usahanya VOC menarik
kelompok Untung untuk membantunya menangkap Pangeran Purbaya. Kelompok Untung
berhasil menangkap Pangeran Purbaya. Namun, setelah hampir mendekati Batavia,
Untung berubah pikiran karena mendapat penghinaan dari pimpinan pasukan VOC dan
ia memutuskan untuk kembali melawan VOC.
Ketika
bergerilya melawan VOC di wilayah Priangan dan melanjutkan perjalanan ke
Cirebon, ia terlibat perkelahian dengan seorang pangeran Cirebon yang bernama
Surapati. Untung dituduh telah melakukan pembangkangan terhadap Sultan Cirebon.
Namun, ia selamat dari tuduhan tersebut dan Surapati yang kemudian
dipersalahkan, dan akhirnya dihukum mati. Setelah kejadian itu, Untung dijuluki
nama baru, yaitu dengan sebutan Untung Surapati.
Ketika
mataram dipimpin oleh Sunan Amangkurat II, Untung Surapati melanjutkan
perjuangan di wilayah Mataram. Dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda,
Sunan Amangkurat II merangkul Untung. Namun ia menyadari akan kelicikan sunan
ketika menjerumuskan Trunojaya. Maka, setelah membunuh Kapitan Tack dan anak
buahnya Untung pun menyingkir ke Jawa Timur. Kaptain Tack adalah utusan Belanda
yang bertugas untuk menangkap Untung Surapati. Perjuangan Untung Surapati
semakin kuat dengan dibangunnya pusat perjuangan untuk melawan VOC di Pasuruan Jawa Timur yang
bernama Wiranegara. Wiranegara dipimpin dan diperintah oleh Untung Surapati.
Konflik lain
terjadi antara Pangeran Pugar yang merupakan adik dari Amangkurat II dan
Amangkurat III atau Sunan Mas. Konflik ini terjadi karena perbedaan prinsip.
Pangeran Pugar memihak Belanda, sedangkan Sunan Mas anti Belanda. Dalam konflik
ini, tentu VOC memilih Pangeran Pugar. Kemudian Pangeran Pugar dan VOC membuat
perjanjian dan menandatanganinya di Semarang. Isi dari perjanjian tersebut,
antara lain sebagai berikut.
a)
Seluruh daerah Priangan, Cirebon dan Madura bagian
timur diserahkan kepada VOC.
b)
Pangeran Pugar dibebaskan dari segala utangnya
terdahulu, tetapi selama 25 tahun Sunan wajib menyerahkan 8000 koyan beras
kepada VOC.
c)
Di daerah Kartasura VOC bersedia menempatkan
pasukannya untuk melindungi sunan.
Karena telah
berhasil memperoleh kemenangan, Pangeran Pugar dinobatkan menjadi susuhunan
oleh VOC dengan nama Pakubuwono I.
Sunan Mas
yang meninggalkan Kartasura setelah kalah oleh Pangeran Pugar bergabung dengan
Untung Surapati yang bertahan di Kediri, Banggil, Pasuruan dan Belambangan pada
1706. Untung Surapati gugur dalam pertempuran besar di Banggil. Lalu, Sunan Mas
menghentikan perlawanan dan menyerahkan diri ke VOC sehingga dia diasingkan
kedaerah Sailan.
B. Perlawanan Sesudah
Tahun 1800
1.
Perlawanan Sultan Nuku (Tidore)
Kesultanan
Tidore di bawah pimpinan Sultan Nuku melakukan perlawanan terhadap pemerintah
kolonial Belanda. Untuk menghadapi kekuatan Belanda, Sultan Nuku melakukan
persiapan perang dengan cara meningkatkan kekuatan perangnya hingga 200 kapal
perang dan 6000 orang pasukan. Setelah itu, perjuangan Sultan Nuku untuk
mengusir kekuatan Belanda tersebut dilakukan pula jalur diplomasi.
Upaya
diplomasi yang ditempuh Sultan Nuku tersebut ialah mengadakan hubungan dengan
inggris. Upaya diplomasi tersebut dilakukan dalam rangka meminta bantuan dan
dukungan dari Inggris, terutama dalam memperkuat senjata untuk menghadapi
persenjataan Belanda yang lebih maju dibandingkan dengan persenjataan yang
dimiliki kesultanan Tidore. Siasat untuk mengadu domba antara inggris dan
belanda berhasil dilakukan, sehingga pada 20 Juni 1801 Sultan Nuku berhasil
membebaskan Kota Soa-Siu dari kekuasaan Belanda. Maluku Utara akhirnya dapat
dipersatukan dibawah kekuasaan Sultan Nuku.
2.
Perlawanan Patimura
Pada tahun
1817, terjadi perubahan penguasaan di Indonesia. Belanda kembali berkuasa di
Indonesia menggantikan Inggris. Perkembangan itu telah menggelisahkan
masyarakat Maluku. Belanda menerapkan kebijakan yang sangat berbeda dengan
Inggris. Rakyat pun kecewa, rakyat dipaksa menyerahkan berbagai macam hasil
bumi, seperti kopi dan rempah-rempah. Rakyat mendapat bayaran yang sangat
kecil, bahkan kadang kadang tidak dibayar. Pada bulan Mei 1817, rakyat Maluku
di Saparua melancarkan perlawanan yang dipimpin oleh Thomas Matulessy atau
patimura. Thomas Matulessy dilahirkan di
Haria, Pulau Saparua Maluku. Pada tahun 1783. Pada masa pemerintahan Inggris,
Patimura masuk dinas militer berpangkat sersan.
Pada malam hari tanggal 15 Mei 1817 para
pemuda Saparua dibawah pimpinan Patimura, mulai melakukan perlawanan terhadap
Belanda. Mereka membakar perahu-perahu pos di pelabuan. Setelah itu, mereka
mengepung Benteng Duursted. Pada tanggal 16 Mei 1817, Benteng tersebut berhasil
diduduki oleh barisan Patimura dan kawan-kawan. Setelah itu, Benteng Deverdijk
dapat dikuasai dan Residen Van Der Berg berhasil ditembak mati.
Perlawanan
terhadap Belanda juga terjadi di daerah Maluku lainnya, seperti di Haruku,
Pulau Seram, Larike, Asilulu, Wakasihu. Perlawanan rakyat Maluku tersebut
sempat menghancurkan pertahanan Belanda. Pada bulan Juli 1817, pihak Belanda
mendatangkan bantuan dengan kekuatan yang lebih besar dari Batavia. Pasukan ini
dipimpin oleh Laksamana Muda Buykes. Kemudian belanda melancarkan serangan
besar-besaran, sehingga pasukan Patimura terdesak oleh Belanda. Pada Bulan
Agustus 1817, Patimura terpaksa menyingkir ke hutan dan melakukan perang
gerilya. Dengan tipuan muslihat, Belanda berhasil menguasai kembali Benteng
Deverdijk pada tanggal 18 November 1817. Belanda juga berhasil menangkap dan
menghukum mati kapitan Paulus Tiahahu. Setelah itu, perlawanan lainnya
dilakukan oleh pehlawan wanita, yaitu Cristian Martha Tiahahu yang berusia 17
tahun yang pergi ke hutan untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Sekitar
bulan November 1817, Patimura terdesak dan akhirnya dapat ditangkap oleh
Belanda. Pada tanggal 16 Desember 1817, Patimura dihukum gantung di alun alun
Ambon di depan Benteng Victoria.
3. Perang Diponegoro
Sejak Daendels berkuasa, maka
wilayah kekuasaan raja-raja Jawa, terutama Yogyakarta dan Surakarta, makin
dipersempit. Hal ini disebabkan karena banyak daerah yang diberikan kepada
Belanda sebagai imbalan atas bantuannya. Adapun daerah yang diinginkan Belanda
adalah daerah Pantai Utara Jawa. Karena itu daerah-daerah tersebut
berangsur-angsur diambil-alih oleh Belanda. Daerah Kerawang dan Semarang
dikuasai oleh Belanda pada tahun 1677, dan pada tahun 1743 Daerah Cirebon,
Rembang, Jepara, Surabaya, Pasuruan dan Madura. Dengan hilangnya daerah-daerah
pesisir, Kerajaan Mataram makin melepaskan kegiatan pelayaran dan perdagangannya,
dan memusatkan kegiatannya pada bidang pertanian.
Di samping makin sempitnya wilayah
kerajaan yang bias memperkecil kekuasaan raja, juga dapat menyebabkan kecilnya
penghasilan kerajaan. Raja makin lama makin tergantung kepada Belanda. Untuk
membiayai pemerintahan kerajaan saja ia semakin tergantung pada uang pengganti
dari Belanda di samping dari hasil pajak penghasilan dari daerah yang masih
dikuasainya.
Pada tahun 1823 Gubernur Jenderal
Van Der Capellen memerintahkan agar tanah-tanah yang disewa dari kaum bangsawan
dikembalikan lagi kepada yang punya, dengan perjanjian, bahwa uang sewa dan
biaya lainnya harus dibayar kembali kepada si penyewa. Dengan demikian beban
para bangsawan juga sangat berat karena uang sewa itu sudah dibelanjakan.
Perpecahan di kalangan keluarga kerajaan di Mataram tidak saja melemahkan
kerajaan, tetapi juga menyebabkan pengaruh Belanda makin menjadi kuat. Setiap
pertentangan antar keluarga bangsawan di keraton akan mengundang campur tangan
pihak Belanda, yang pada akhirnya merugikan kerajaan itu sendiri sebagai
keseluruhan. Pada masa Daendels terdapat usaha mencampuri urusan tata cara di
istana. Misalnya, Daendels menghendaki persamaan derajat dengan Sultan pada
waktu upacara kunjungan resmi diadakan di kraton. Dalam upacara tersebut
pembesar Belanda supaya diijinkan duduk sejajar dengan raja, dan sajian sirih
supaya dihapuskan. Raffles juga meneruskan usaha yang sama terhadap kehidupan
keraton.
Pada saat segenting itu muncullah
seorang pemimpin besar, yang dapat membimbing rakyat, yaitu Pangeran
Diponegoro. Ia adalah putra sulung Sultan Hamengku Buwono (HB) III dari Garwa
Ampeyan. Dilahirkan pada tanggal 11 November 1785 dengan nama kecil Raden Mas
Ontowiryo. Sejak kecil beliau dididik oleh neneknya, Kanjeng Ratu Ageng di Tegalrejo,
terkenal sebagai orang yang amat saleh. Buah usahanya ternyata sekali pada diri
Diponegoro. Beliau selalu berusaha memperdalam soal agama. Sewaktu Inggris
masih berkuasa, Sultan Hamengku Buwono III dan Raffles pernah menjanjikan
kepada Pangeran Diponegoro akan naik tahta sebagai pengganti ayahnya. Namun
setelah Sultan Hamengku Buwono III wafat tahun 1814, yang menggantikan bukan
Diponegoro tetapi adiknya yakni Mas Jarot dengan gelar Sultan Hamengku Buwono
IV (HB IV), sedang Pangeran Diponegoro diangkat sebagai penasehatnya.
Pengaruh Pangeran Diponegoro
terhadap Sultan HB IV besar sekali. Atas desakan Pangeran Diponegoro, Sultan HB
IV pernah mencabut keputusannya yang telah disampaikannya kepada residen
Belanda. Karena kehidupan HB IV yang kebarat-baratan, maka wafatnya yang
tiba-tiba tahun 1822, dianggap oleh Diponegoro sebagai kutukan.
Sepeninggal HB IV, yang diangkat
sebagai Sultan bukan Pangeran Diponegoro tetapi Raden Mas Menol dengan gelar
Sultan HB V. Karena raja tersebut baru berusia tiga tahun, maka pemerintah
Belanda mengangkat beberapa orang wali yaitu Pangeran Diponegoro, Pangeran
Mangkubumi, Ibu dan Nenek Sultan. Dengan kedudukannya itu, pengaruh Pangeran
Diponegoro semakin bertambah besar. Melihat pengaruh Diponegoro yang sebesar
itu, baik di kalangan istana maupun di segala lapisan masyarakat, sebetulnya
pemerintah Belanda menyesal memilih beliau sebagai wali Sultan. Dari sebab itu
diaturnya supaya wali-wali tersebut jangan sampai ikut campur dalam
pemerintahan.
Melihat kondisi Kesultanan dinilai
mengancam kekuasaan Belanda, maka Belanda menetapkan bahwa pemerintahan
diserahkan kepada Patih Danurejo dan di bawah pengawasan residen. Pangeran
Diponegoro yang menyadari maksud dan tujuan siasat Belanda itu menganggap bahwa
kedudukannya sebagai wali Sultan bertentangan dengan aturan-aturan agama
sehingga ia menolak pengangkatan tersebut. Lebih-lebih karena Pangeran
Diponegoro melihat sendiri tindakan-tindakan pegawai pemerintah Belanda yang
benar-benar menyakitkan hati, misalnya:
a)
Residen Nahuys memasukkan adat-istiadat dan pakaian
Eropa di kraton.
b)
Makin banyak tanah disewakan kepada orang-orang Eropa,
bahkan Nahuys sendiri membuka kebun yang luas.
c)
Tindakan-tindakan pegawai pemerintah Belanda yang
bersikap mengejek terhadap Pangeran Diponegoro.
Kebijaksanaan lain yang dianggap
melecehkan Diponegoro adalah perbuatan residen dan patih yang selalu mengambil
keputusan-keputusan dengan tidak dirundingkan terlebih dahulu dengan Diponegoro
dan Pangeran Mangkubumi. Misalnya, mengangkat seorang penghulu itu adalah hak
Sultan. Tetapi waktu penghulu Rachmanudin berhenti lantaran berbeda pendapat
dengan patih, maka residen dan patih mengangkat penggantinya tidak dengan
persetujuan para wali. Pangeran Diponegoro menganggap pengangkatan itu tidak
sah. Sekali peristiwa Pangeran Diponegoro diperlakukan tidak pantas oleh dua
orang pegawai Belanda, dalam pesta di rumah patih. Beliau terus meninggalkan
perayaan tersebut, lalu mengasingkan diri di Tegalrejo.
Pada waktu residen dan patih
menyuruh menyambung jalan dari kota ke Tegalrejo (Jalan Notoyudan) yang akan
melalui tempat yang dianggap keramat oleh Diponegoro, maka Diponegoro
menentangnya. Di samping akan melalui tempat yang keramat dan tidak
dirundingkan lebih dahulu, Pangeran Diponegoro menilai bahwa jalan tersebut
akan digunakan untuk memperlancar serangan Belanda ke Tegalrejo. Peristiwa
tersebut menyebabkan Pangeran Diponegoro tidak dapat menahan kesabarannya lagi.
Beliau meminta agar patih dipecat, tetapi ditolak oleh residen. Karena itu
Pangeran Diponegoro menyuruh mengganti tonggak-tonggak pemancang jalan yang
akan dibuat dicabut diganti dengan bambu runcing.
Pemerintah Belanda mengutus Pangeran
Mangkubumi ke Tegalrejo untuk memanggil Diponegoro mempertanyakan
tindakan-tindakan Diponegoro itu. Beliau tahu bahwa beliau akan ditangkap jika
beliau mengabulkan panggilan itu. Pangeran Mangkubumi sendiri akhirnya tidak
mau pulang ke kota. Akibatnya pasukan Belanda menyerbu ke Tegalrejo sehingga
akhirnya pada tanggal 25 Juli 1825 berkobarlah perlawanan Diponegoro. Dalam
pertempuran tersebut, Pangeran Diponegoro bersama keluarganya berhasil
melepaskan diri dari serbuan Belanda itu.
Setelah pertempuran di Tegalrejo
ini, Diponegoro dengan pasukannya menyingkir ke Gua Selarong, sekitar 15 km
sebelah barat daya kota Yogyakarta, guna mengatur siasat perang selanjutnya.
Keluarga Pangeran Diponegoro diungsikan ke Dekso (Kulon Progo) . Kabar mengenai
meletusnya perlawanan Diponegoro terhadap Belanda meluas ke berbagai daerah.
Rakyat petani yang telah lama menderita dalam kehidupannya, banyak yang segera
datang untuk ikut serta dalam perlawanan. Demikian pula para ulama dan
bangsawan yang kecewa terhadap Belanda bergabung dengan Diponegoro.
Daerah-daerah lain juga menyambut perlawanan Diponegoro dengan melakukan
perlawanan terhadap Belanda.
Kyai Mojo, seorang ulama dari daerah
Surakarta, datang untuk bergabung dengan Diponegoro. Bersama dengan Kyai ini
dibentuklah kelompok pasukan. Semboyan Perang Sabil dikumandangkan ke segenap
pengikutnya, baik yang ada di daerah Selarong maupun yang ada di daerah lain.
Malahan seorang Kyai yang bernama Hasan Besari diutus Diponegoro untuk
menyebarkan Perang Sabil di daerah Kedu. Di samping para tokoh ulama,
Diponegoro juga mendapat dukungan para Bupati Monconegoro. Di antaranya yang terkenal
adalah Alibasya Sentot Prawirodirjo dari Madiun yang kemudian menjadi Panglima
Perang Diponegoro. Itulah sebabnya pada tahun-tahun pertama pertempuran dengan
cepat meluas sampai ke daerah Pacitan, Purwodadi, Banyumas, Pekalongan,
Semarang, Rembang, Kertosono dan Madiun.
Sementara itu tokoh-tokoh yang
memihak Belanda untuk menentang perlawanan Diponegoro antara lain Patih
Danurejo, Sunan Surakarta, raja-raja dari Madura. Dalam pertempuran di
Kertosono, rakyat dipimpin langsung oleh Bupati Kertosono, pertempuran di
Banyumas, rakyat dipimpin oleh Pangeran Suriatmojo, perlawanan di Madiun
dipimpin oleh Bupati Kertodirjo dan Pangeran Serang, sedang perlawanan di
Plered dipimpin oleh Kertopengalasan. Dalam pertempuran di daerah Lengkong
(1826), Belanda dipukul mundur, seorang letnan Belanda tewas dan dua orang
bangsawan gugur.
Dalam pertempuran-pertempuran dari
tahun 1825 sampai 1826 kemenangan ada di pihak Diponegoro. Hal ini disebabkan :
(1) Semangat perang pasukan Diponegoro masih tinggi,
(2) Siasat gerilya yang dilakukan Diponegoro belum
tertandingi,
(3) Sebagian pasukan Belanda masih berada di Sumatera
Barat dalam rangka Perang Padri.
Karena itu tawaran Belanda untuk
melakukan perdamaian selalu ditolak oleh Diponegoro.Melihat semakin kuatnya
Diponegoro dan semakin meluasnya medan pertempuran, maka Belanda menilai bahwa
perlawanan Diponegoro sangat membahayakan kedudukan Belanda di Indonesia.
Itulah sebabnya Belanda lalu menggelar berbagai siasat untuk menumpas atau
menghentikan perlawanan Diponegoro itu. Dalam rangka untuk menghadapi
perlawanan Diponegoro itu, Belanda melakukan siasat-siasat sebagai berkut:
(1) Sultan HB II (Sultan Sepuh) yang dibuang Raffles
ke Pulau Penang, dikembalikan ke Yogyakarta dengan tujuan mendatangkan
perdamaian sehingga para bangsawan yang memihak Diponegoro diharapkan kembali
ke kraton. Usaha tersebut gagal karena Sultan Sepuh kurang berwibawa lagi
bahkan tidak lama kemudian terus wafat sehingga para bangsawan tetap melakukan
perlawanan.
(2) Jenderal de Kock berusaha memecah belah pengikut
Diponegoro. Para bangsawan dibujuknya supaya pulang ke ibu kota. Mereka tidak
akan dituntut. Juga kedudukan, uang dan sebagainya kerap kali dipergunakan
sebagai pemikat hati. Usaha de Kock ini rupanya berhasil juga, sebab Kyai Mojo,
Pangeran Kusumonegoro, Sentot dan lain-lain meninggalkan Diponegoro, sehingga
akhirnya beliau tinggal seorang diri. Kyai Mojo diasingkan ke Minahasa, sedang
Sentot dikirim ke Sumatera untuk memerangi kaum Padri, namun akhirnya ditangkap
lagi dan dibuang ke Bangkahulu.
(3) Untuk mempersempit ruang-gerak Diponegoro,
Jenderal de Kock menggunakan taktik Benteng Stelsel (perbentengan), yaitu
mendirikan benteng-genteng di tiap daerah yang direbut dan kemudian dijaga oleh
pasukan prajurit, dan benteng itu saling berhubungan. Penduduk daerah itu tetap
tenang dan tidak ikut bertempur. Benteng-benteng tersebut dibangun di Gombong,
Purworejo, Magelang, Ambarawa dan Salatiga.
(4) Sesudah Diponegoro semakin terjepit, Belanda
melakukan pendekatan agar Diponegoro mau diajak untuk melakukan perundingan
perdamaian. Perundingan semacam itu pernah di Klaten tahun 1827, tetapi gagal.
Karena bala bantuan Belanda terus
berdatangan, maka posisi tentara Pangeran Diponegoro semakin terjepit sehingga
sering terjadi pertempuran terbuka. Akibatnya pengikut-pengikut setianya
semakin kecil sebab Pangeran Suryomataram dan Prangwadono tertangkap, sedangkan
Pangeran Serang dan Pangeran Notoprojo menyerah.
Pangeran Ario Papak dan Sosrodilogo
(Rembang) juga menyerah. Pada tahun 1829 Pangeran Mangkubumi dan Alibasya
Sentot Prawirodirjo mengambil keputusan menyerahkan diri sebelum dikalahkan.
Sampai tahun 1829 tersebut kira-kira 200 ribu pasukan Diponegoro telah gugur.
Oleh karena kondisinya yang semakin terdesak dan melihat kedudukannya yang sudah
tidak ada harapan lagi, maka Diponegoro bersedia untuk melakukan perundingan.
Melalui Kolonel Kleerens, pada
tanggal 16 Pebruari 1830 Diponegoro mau melakukan pertemuan di desa Romo Kamal.
Dalam pertemuan itu dibuat syarat-syarat perundingan sebagai berikut:
a.
Bila mana dasar perundingan tidak dapat disetujui oleh
Diponegoro, beliau boleh kembali secara
bebas.
b.
Dalam perundingan itu Diponegoro harus jauh dari
tentaranya,sedang tentaranya tidak boleh membawa senjata. Rencana perundingan
perdamaian itu dilakukan di kota Magelang.
De Kock takut kalau-kalau Diponegoro
akan menyerang lantaran pengikutnya kian hari kian banyak yang masuk kota
Magelang. Sementara pemerintah Negeri Belanda mendesak de Kock agar segera
menghentikan perlawanan dengan cara apapun agar melapangkan jalan bagi
pelaksanaan Culturstelsel. Di samping itu, de Kock juga terancam dipecat jika
Diponegoro sampai lepas kembali.
Dengan berbagai alasan tersebut,
Pangeran Diponegoro ditangkap di tempat perundingan tersebut. Diponegoro
kemudian dibawa ke Menado dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Makasar dan di
sana beliau wafat pada tanggal 8 Januari 1855. Makam beliau hingga kini menjadi
tempat ziarah bangsa Indonesia.
Perlawanan Pangeran Diponegoro
membawa akibat yang cukup berat. Korban di pihak Belanda sebanyak 15.000
tentara, terdiri dari 8000 ribu orang Eropa, dan 7000 orang serdadu pribumi.
Biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai perang itu tidak kurang dari 20
juta
gulden. Di samping itu, tidak sedikit
perkebunan-perkebunan swasta asing yang rusak. Kemakmuran rakyat lenyap sama
sekali.
Akibat perlawanan Diponegoro, maka batas-batas
Surakarta dan Yogyakarta diubah, daerahnya diperkecil. Berhubungan dengan
tindakan ini, maka Sunan Paku Buwono VI merasa kecewa sekali, lalu meninggalkan
ibu kota. Pemerintah Belanda menaruh curiga, lalu Sunan
ditangkap dan dibuang ke Ambon (1849) . Dengan
demikian maka berakhirlah perlawanan penghabisan dari raja-raja Jawa.
4.
Perang Paderi
Perang
Padri terjadi di tanah Minangkabau, Sumatera Barat pada tahun 1821 — 1837.
Perang ini digerakkan oleh para pembaru Islam yang sedang konflik dengan kaum
Adat. Mengapa dan bagaimana Perang Padri itu terjadi? Perang Padri sebenarnya
merupakan perlawanan kaum Padri terhadap dominasi pemerintahan Hindia Belanda
di Sumatera Barat. Perang ini bermula adanya pertentangan antara kaum Padri
dengan kaum Adat. Adanya pertentangan antara kaum Padri dengan kaum Adat telah
menjadi pintu masuk bagi campur tangan Belanda. Perlu dipahami sekalipun
masyarakat Sumatera Barat sudah memeluk agama Islam, tetapi sebagian masyarakat
masih memegang teguh adat dan kebiasaan yang kadang-kadang tidak sesuai dengan
ajaran Islam.
Dalam
melaksanakan pemurnian praktik ajaran Islam, kaum Padri menentang praktik
berbagai adat dan kebiasaan kaum Adat yang memang dilarang dalam ajaran Islam
seperti berjudi, menyabung ayam, minum-minuman keras. Kaum Adat yang mendapat
dukungan dan beberapa pejabat penting kerajaan menolak gerakan kaum Padri.
Terjadilah pertentangan antara kedua belah pihak. Timbullah bentrokan antara
keduanya. Tahun 1821 pemerintah Hindia Belanda mengangkat James Du Puy sebagai
residen di Minangkabau. Pada tanggal 10 Februari 1821, Du Puy mengadakan
perjanjian persahabatan dengan tokoh Adat, Tuanku Suruaso dan 14 Penghulu
Minangkabau. Berdasarkan perjanjian ini maka beberapa daerah kemudian diduduki
oleh Belanda. Pada tanggal 18 Februari 1821, Belanda yang telah diberi
kemudahan oleh kaum Adat berhasil menduduki Sima’ang. Di daerah mi telah
ditempatkan dua meriam dan 100 orang serdadu Belanda. Tindakan Belanda ini
ditentang keras oleh kaurn Padri, maka tahun 1821 itu meletuslah Perang Padri.
Pada tahun 1821 datanglah
tentara Belanda dibawah pimpinan Kolonel Raaff, yang dapat memukul mundur kaum
Padri, lalu mendirikan benteng Fort van der Capellen di Batusangkar tahun 1822.
Kemudian Jenderal de Kock mendirikan benteng Fort de Kock di Bukittinggi.
Walaupun kota-kota besar dikuasai Belanda, tetapi dengan menjalankan siasat
perang gerilya kaum Padri tetap berkuasa. Dalam konflik itu kaum adat cenderung
kepada pihak Belanda, dan memang kaum adat meminta pihak Belanda untuk melawan
kaum Padri.
Pada tahun 1825 di Jawa
mulai berkobar perang Diponegoro. Belanda menilai bahwa perang Diponegoro lebih
berbahaya dari pada Perang Padri. Karena itu, pasukan Belanda yang bertugas di
Sumatera Barat harus dikurangi untuk dikerahkan ke Jawa. Karena kondisi
tersebut Belanda menggunakan taktik berdamai dengan pihak Padri. Perdamaian itu
diadakan pada tahun 1825. Pada saat terjadi gencatan senjata tersebut, ternyata
Belanda melakukan tekanan-tekanan kepada penduduk setempat, sehingga akhirnya
meletuslah perlawanan kembali dari pihak kaum Padri diikuti oleh rakyat
setempat. Perlawanan segera menjalar kembali ke berbagai tempat. Tuanku Imam
Bonjol mendapat dukungan Tuanku nan Gapuk, Tuanku nan Cerdik, dan Tuanku Hitam,
sehingga mulai tahun 1826 volume pertempuran semakin meningkat. Setelah Perang
Diponegoro selesai (1830), pasukan Belanda yang berada di Jawa dikerahkan
kembali ke Sumatera Barat untuk menghadapi kaum Padri. Salah satu markas kaum
Padri yang berada di Tanjung Alam diserang oleh pasukan Belanda (1833). Akibat
pertempuran tersebut, pasukan Padri melemah karena beberapa pemimpin Padri
menyerah, misalnya Tuanku nan Cerdik. Sejak itu perlawanan-perlawan terhadap
Belanda dipimpin sendiri oleh Tuanku Imam Bonjol.
Sejak tahun 1830 kaum
Padri mendapat bantuan dari kaum adat. Mereka mau bersatu dengan kaum Padri
karena ingin mempertahankan kemerdekaan mereka dari penjajah Belanda. Mereka
sadar, bahwa pemerintahan Belanda bagi mereka adalah rodi, menyediakan
keperluan Belanda, pemerasan dan ekspedisi-ekspedisi yang kejam. Walaupun telah
mendapat bantuan dari kaum adat, tetapi kekuatan kaum Padri semakin merosot.
Sebaliknya, kekuatan Belanda semakin bertambah kuat. Pasukan Diponegoro yang
menyerah kepada Belanda dikerahkan untuk menumpas kaum Padri, termasuk Basah
Sentot Prawiradirja (walaupun akhirnya ia dicurigai mengadakan hubungan dengan
kaum Padri sehingga ditangkap lagi) .
Untuk mempercepat
penyelesaian Perang Padri, Gubernur Jenderal van den Bosch datang ke Sumatera
Barat untuk menyaksikan sendiri keadaan di medan pertempuran. Ia mengeluarkan
pernyataan gubernemen yang terkenal dengan nama Pelakat Panjang. Pernyataan itu
memberi hak-hak istimewa kepada mereka yang memihak Belanda. Dalam kondisi
terjepit, pihak Belanda mengajak Imam Bonjol untuk berunding. Tetapi
perundingan perdamaian itu oleh Belanda hanyalah dipakai untuk mengetahui
kekuatan yang terakhir di pihak Padri, yang ada di Benteng Bonjol, sementara mengharapkan
Imam Bonjol mau menyerahkan diri.
Perundingan gagal karena
pihak Belanda memang telah melakukan persiapan untuk mengepung benteng
tersebut. Jenderal Michiels memimpin sendiri pengepungan kota Bonjol. Dengan
susah payah Kaum Padri menghadapi kekuatan musuh yang jauh lebih kuat. Pada
akhirnya benteng Kaum Padri jatuh ke tangan Belanda. Tuanku Imam Bonjol beserta
sisa-sisa pasukannya tertawan pada tanggal 25 Oktober 1837. Imam Bonjol lalu
dibuang ke Cianjur, lalu dipindah ke Ambon dan akhirnya dibuang ke Minahasa.
Tertangkapnya Imam Bonjol
memang tidak berarti berhentinya perlawanan-perlawanan, tetapi penyerahan itu
cukup melumpuhkan kegiatan kaum Padri. Secara kecil-kecilan pertempuran masih
dilakukan oleh pimpinan kaum Padri yang lain, yaitu Tuanku Tambose. Namun
setelah itu akhirnya patahlah perlawanan kaum Padri. Semenjak itu Minangkabau
diperintah langsung oleh Belanda.
5. Perang Aceh
Setelah
Perang Padri berakhir, pada tahun 1873 di Sumatera berkobar lagi perlawanan
terhadap Belanda yakni Perang Aceh. Penyebab terjadinya Perang Aceh terutama
karena nafsu Belanda untuk menguasai daerah ini. Sebelumnya, mereka tidak
berani menduduki Aceh karena terikat Traktat London 1824. Traktar London II itu
mewajibakan Belanda menghormati kedaulatan Aceh. Namun setelah terjadi Traktat
Sumatera tahun 1871 sebagai perbaikan Traktat London II, Belanda bebas
meluaskan wilayahnya ke seluruh Sumatera, termasuk Aceh
Dengan
terjadinya traktat tersebut, Belanda khawatir kalau Aceh jatuh ke tangan bangsa
asing lain seperti Turki, Italia, Perancis atau Amerika. Sesudah tersiar kabar
bahwa Aceh mengadakan hubungan dengan Amerika, maka pemerintah Belanda
mengirimkan Nieuwenhuisen (komisaris Belanda) ke Aceh, untuk menuntut, supaya
Aceh mengakui kekuasaan Belanda. Perundingan-perundingan yang diadakan tak
berhasil. Dari sebab itu Belanda menyatakan perang kepada Aceh.
Pada tahun
1873 Belanda mengirimkan ekspedisi pertama dengan 3193 prajurit dipimpin oleh
Jenderal Kohler. Setelah beberapa lama terjadi tembak menembak di daerah
pantai, pasukan Aceh mengundurkan diri dan berkubu di sekitar Mesjid Raya.
Belanda langsung menyerbu Mesjid Raya dengan tembakan-tembakan meriam, sehingga
mesjid itu terbakar. Pasukan Aceh mundur dan Mesjid Raya diduduki Belanda.
Namun pasukan Aceh berhasil menembak Jenderal Kohler sehingga tewas, sehingga
pimpinan tentara Belanda diambil alih oleh Kolonel van Dalen dan menarik diri
dari Mesjid Raya.
Pasukan Aceh
melakukan konsolidasi di sekitar istana Sultan Mahmudsyah. Pasukan-pasukan itu
terus digerakkan untuk melakukan serangan-serangan terhadap pos-pos Belanda.
Dengan demikian usaha Belanda untuk menundukkan Aceh dengan serangan terbuka
mengalami kegagalan, sehingga Belanda memilih memblokade Aceh. Ketika itu
muncullah tokoh-tokoh pemimpin seperti Panglima Polem, Teuku Imam Lueng Bata,
Cut Banta, Teungku Cik di Tiro, Teuku Umar, dan istrinya Cut Nya’ Din, dan
masih banyak pemimpin Aceh lainnya yang memimpin perlawanan di daerahnya
masing-masing. Dalam ekspedisi kedua (1874), digerakkanlah 8000 prajurit
Belanda dengan pimpinan Jenderal J. van Swieten menyerbu Aceh. Sasaran utama
adalah istana Sultan Mahmudsyah. Istana itu berhasil direbut Belanda, lalu
dijadikan pusat pemerintahan Belanda di daerah yang disebut Kotaraja. Belanda
lalu memproklamasikan bahwa Aceh sudah berada di bawah kekuasaan Belanda.
Sementara
itu Sultan Mahmudsyah meninggal, dan baru 10 tahun kemudian diganti oleh
anaknya, Sultan Muhammad Daudsyah. Ia memerintah dibantu oleh dewan Mangkubumi,
dan pusat pemerintahannya berada di daerah pengungsian, serta berpindah-pindah
untuk menghindari penyergapan Belanda. Walaupun perlawanan panglima-panglima
dan hulubalang-hulubalang lebih kuat dari sangkaan Belanda, tetapi tentara
Belanda yang dipersenjatai lebih lengkap, di bawah pimpinan Jenderal van der
Heyden (Jenderal Buta), akhirnya dapat menguasai Aceh Besar (1879) . Pemerintah
Belanda menyangka bahwa dengan peristiwa ini perang Aceh benar-benar berakhir.
Dari sebab itu pemerintahan militer diganti dengan pemerintahan sipil. Perhitungan
itu salah. Sebab tak lama kemudian perlawanan menghebat kembali, sehingga
terpaksa pemerintah sipil diganti dengan pemerintah militer.
Untuk
memadamkan perlawanan rakyat Aceh, pemerintah Belanda memisahkan daerah Aceh
sebelah utara dari Aceh sebelah selatan, sedangkan pantai laut dijaga oleh
angkatan laut Belanda. Siasat ini disebut konsentrasistelsel, yaitu daerah yang
dikuasai Belanda dimakmurkan agar orang-orang Aceh yang melakukan perlawanan
meletakkan senjata dan kembali ke daerah yang aman dan makmur itu. Dalam
perkembangannya, siasat tersebut gagal, sebab pagar kawat berduri sebagai
daerah pembatas tersebut sering dirusak kaum gerilya dan penjaganya mati
terbunuh. Sementara itu Teuku Umar yang sudah menyerah kepada Belanda (1893)
pada tahun 1896 kembali melawan Belanda setelah berhasil membawa banyak senjata
Belanda. Dalam kondisi sulit ini muncullah seorang ahli bahasa-bahasa Timur dan
hukum Islam Dr. Snouk Hurgronye sebagai penasehat dalam urusan pemerintahan
sipil. Ia mempelajari bahasa, adad istiadat, kepercayaan dan waktu orang-orang
Aceh. Dari hasil penelitiannya akhirnya dapat diketahui bahwa sebenarnya Sultan
Aceh itu tidak mempunyai kekuatan apa-apa tanpa persetujuan dari kepala-kepala
yang ada di bawahnya. Selain itu juga dijelaskan bahwa pengaruh kaum ulama pada
rakyat adalah sangat besar. Karena itu dirasa sulit untuk menundukkan rakyat
yang berkeyakinan agama yang kuat sepeti rakyat Aceh itu.
Berdasarkan
hasil penelitian itu, lalu dilakukan langkah-langkah yang jitu, yaitu dengan
menggunakan taktik memecah belah kekuatan yang ada di kalangan rakyat Aceh.
Kaum ulama yang memimpin pertempuran harus dihadapi dengan kekuatan senjata,
sedangkan para bangsawan dibuka kesempatan untuk masuk ke dalam kelompok
pamongpraja di lingkungan pemerintah Belanda. Untuk menghadapi kaum ulama,
Belanda melakukan serangan habis-habisan. Jenderal van Heutz membentuk pasukan
marsose (istimewa) untuk mengejar tentara Aceh sampai tertangkap atau terbunuh.
Sewaktu menyerbu kedudukan Belanda di Meulaboh (1899), Teuku Umar gugur.
Panglima
Polem terus melakukan perlawanan di daerah bagian timur. Pihak Belanda terus
berusaha untuk menangkapnya tetapi sulit. Oleh karena itu pihak Belanda
menggunakan taktik baru, yakni dengan mengadakan penculikan isteri Sultan. Dengan
mengadakan tekanan-tekanan yang keras akhirnya Sultan Muhhamad Dawud menyerah
kepada Belanda tahun 1903. Dengan hilangnya pemimpin-pemimpin yang tangguh itu,
maka perlawanan rakyat Aceh makin kendor, dan di lain pihak Belanda dapat
memperkuat kekuasaannya di daerah itu. Sekalipun demikian perlawanan rakyat
Aceh boleh dikatakan merupakan perlawanan yang paling lama dan yang paling
besar selama abad ke-19. Dalam rangka untuk memastikan kemerosotan perlawanan
Aceh, pada tahun 1904 Jenderal van Daalen melakukan ekspedisi lintas pedalaman,
khususnya antara Gayo dan Alas. Dalam ekspedisi tersebut pasukannya memang
tidak mendapatkan perlawanan suatu apa sehingga pada tahun 1904 itu pula
perlawanan Aceh dinyatakan berakhir. Namun perlawanan masih berlangsung terus,
secara perseorangan maupun dalam kelompok; hanya semakin lama semakin terpencil
sifatnya.
Setelah
perlawanan Aceh berakhir, maka daerah Aceh dibagi-bagi dalam swapraja-swapraja.
Mereka diikat oleh pemerintah Belanda dengan jalan menandatangi pelakat pendek,
suatu perjanjian yang menerangkan dengan singkat:
a. Tiap-tiap
swapraja harus mengakui kekuasaan pemerintah Belanda.
b. Suatu
swapraja tidak boleh mengadakan hubungan dengan pemerintah asing lainnya.
c. Perintah
pemerintah Belanda harus dijalankan.
Walaupun perlawanan rakyat Aceh
sudah berakhir, di Sumatera masih ada perlawanan-perlawanan yang lain yaitu
perlawanan rakyat Batak yang dipimpin Si Singamangaraja XII (1878-1907),
perlawanan di Sumatera Selatan dipimpin oleh Raden Intan serta daerah-daerah lainnya
yang dipimpin oleh pemimpin setempat.
6. Perang Bali
Nama Bali dikenal dalam sejarah
Indonesia mulai zaman Erlangga maupun Majapahit (Gajah Mada). Hubungan antara
Bali dan Jawa erat sekali. Pada zaman Majapahit banyak penduduk kerajaan ini
yang pindah ke Bali. Dengan bangga mereka menamakan dirinya wong Majapahit
untuk membedakan diri dari penduduk Bali asli yang masih terdapat di pegunungan
dan dikenal sebagai Bali-aga (orang Bali asli) .
Pemerintahan di Bali, akhirnya
mengangkat dirinya menjadi raja dengan gelar Dewa Agung Ketut dan bersemayam di
Gelgel. Pada abad ke-17 ibukota pindah ke Klungkung, tetapi kemudian pecah
menjadi Sembilan kerajaan di antaranya yang terkenal adalah Klungkung, Gianyar,
Badung, Karangasem, dan Buleleng. Salah satu hak yang dimiliki oleh
kerajaan-kerajaan di Bali di daerah pantai ialah hak untuk menjalankan hukum
tawan karang. Menurut hukum itu, raja Bali berhak untuk merampas muatan kapal
yang terdampar di pantai wilayah kerajaannya. Sewaktu Belanda berada di Indonesia,
Bali masih merupakan kerajaan-kerajaan merdeka. Belanda juga melakukan
perdagangan (terutama perdagangan budak) dengan kerajaan-kerajaan Bali.
Dalam perdagangannya itu, telah
berulang kali kapal Belanda terdampar di salah satu pantai dari kerajaan Bali dan
muatannya dirampas oleh raja. Belanda telah mengajukan protes dan mengadakan
perjanjian-perjanjian yang menyangkut pembebasan kapal-kapal Belanda. Tetapi
raja-raja Bali sering tidak pernah mengindahkannya.
Di antara raja-raja Bali yang pernah
diajak untuk mengadakan perjanjian pada tahun 1841 itu ialah raja-raja
Klungkung, Buleleng, Badung dan Karangasem. Dalam perjanjian itu sesungguhnya
raja Bali telah dipaksa untuk mengakui kedaulatan pemerintah Belanda, dan mengijinkan
pengibaran bendera Belanda di kerajaannya. Tetapi kesemuanya itu tidak
dilaksanakan oleh raja-raja Bali karena mereka dipaksa. Karena merasa
diingkari, maka Belanda memutuskan untuk menggunakan kekerasan dalam usaha
untuk menundukkan raja-raja Bali tersebut. Pada tahun 1846 Belanda mengirimkan
ekspedisi militernya ke daerah Buleleng. Karena itu Gusti Ketut Jelantik menyiapkan
pasukan untuk menghadapi kedatangan Belanda. Sebelum melakukan serangan,
Belanda mengeluarkan ultimatum yang isinya agar Buleleng :
a.
mengakui kekuasaan Belanda,
b.
hak tawan karang harus dihapus,
c.
memberi perlindungan kepada perdagangan Belanda.
Karena ultimatum Belanda tak
diindahkan, akhirnya Belanda menyerbu Buleleng. Sementara itu Karangasem
memihak Buleleng, sehingga berkobar perang Belanda-Bali.
Dalam mnghadapi perlawanan rakyat
Bali, Belanda terpaksa mengerahkan ekspedisi secara besar-besaran sebanyak tiga
kali. Ekspedisi pertama dilakukan tahun 1836 dengan kekuatan 1700 tentara.
Serangan pertama ini Belanda gagal menundukkan rakyat Bali. Belanda mengajak
berunding, tetapi ternyata hanya taktik untuk melakukan penyerbuan kembali.
Sementara itu pasukan Bali di bawah
Gusti Jelantik membangun benteng di Jagaraga dan mulai menyerang Belanda.
Karena serangan tersebut, Belanda lalu melakukan ekspedisi kedua tahun 1848.
Pertempuran berkobar hebat di benteng tersebut. Dalam pertempuran itu Belanda
kehilangan 5 perwiranya dan 75 prajuritnya. Namun benteng Jagaraga gagal
dikuasai. Setelah bala bantuan datang dari Jakarta, Belanda kembali menyerang.
Namun serangan ke benteng Jagaraga dapat ditangkis. Pada tahun 1849 Belanda
melakukan ekspedisi yang ketiga dengan kekuatan lebih dari empat ribu prajurit
dengan tiga ribu pasukan tenaga pengangkut. Pasukan besar-besaran tersebut
disambut dengan tiga ribu prajurit Bali dengan senjata tradisional. Sedangkan
pasukan tambahan ada 10-20 ribu orang dari Buleleng dan Karangasem. Pertempuran
meletus di sekitar benteng Jagaraga. Benteng tersebut dijaga sekitar 15
prajurit.
Pertempuran berlangsung beberapa
hari sehingga kedua belah pihak mengalami kelelahan. Karena kalah dalam
persenjataan, pasukan Bali mengundurkan diri dari benteng Jagaraga. Dengan
demikian benteng tersebut jatuh ke tangan Belanda. Sejak itu perlawanan pindah
ke daerah Karangasem dan Klungkung dengan pimpinan Gusti Jelantik. Perlawanan
baru mengendor akhir abad ke-19, setelah sebagian besar kerajaan Bali
ditaklukkan Belanda. Akibatnya raja-raja Bali melakukan puputan yaitu melawan
habishabisan dengan diikuti sanak-saudaranya, para bangsawan lainnya dan kaum
putri, bersenjata tombak dan keris keramat. Mereka memilih gugur di medan
perang dari pada menyerah kepada Belanda. Pada tahun 1908 kerajaan Klungkung
diserang Belanda. Raja Klungkung dibantu oleh seluruh kaum bangsawan, wanita
dan anak-anak mengadakan puputan sewaktu diserang Belanda itu, lantaran tidak
mau tunduk kepada peraturan-peraturan yang diadakan oleh pemerintah Belanda.
Sesudah Klungkung diduduki maka berarti seluruh Bali dikuasai oleh pemerintah
Belanda.
7. Perang Banjarmasin
Selain di
Pulau Jawa dan Sumatra, pemerintahan colonial Belanda juga berupaya menguasai
Pulau Kalimantan. Pada tahun 1817 Belanda mulai masuk ke wilayah Banjar,
Kalimantan Selatan. Bahkan, pada tahun 1826 Belanda mengadakan perjanjian
dengan Sultan Adam, raja Kerajaan Banjar. Isi perjanjian ini menyatakan bahwa
seluruh wilayah Kalimantan Selatan adalah kekuasaan Belanda, kecuali Banjarmasin,
Martapura, dan Hulu Sungai. Ketika daerah ini berada di wilayah kekuasaan
Sultan Adam dari kesultanan Banjar. Selain itu, Belanda berhak menentukan siapa
yang akan menjadi sultan muda, putra mahkota, dan mangkubumi.
Ketika
sultan Adam wafat pada tahun 1857 terjadilah perebutan kekuasaan di keratin.
Belanda berdiri di belakang kekacauan ini mengangkat Pangeran Tamjid Illah
sebagai sultan kerajaan Banjarmasin, sedangkan rakyat menghendaki Pangeran
Hidayat. Akhirnya, Pangeran Tamjid Illah III menjadi sultan, sedangkan Pangeran
Hidayat menjadi mangkubuminya. Kedua tokoh ini tidak bias bekerja sama.
Akibatnya, timbul keresahan di kalangan rakyat dan kaum bangsawan Banjar.
Menyadari adanya keresahan ini, Belanda mengambil alih kekuasaan dari Pangeran
Tamjid Illah . tindakan belanda ini menimbulkan kemarahan pada rakyat.
Selanjutnya, pada tahun 1859 rakyat banjar di bawah pimpinan Pangeran Antasari
menyerang pertahanan Belanda di Martapura dan Pengaron. Perlawanan lainnya
dipimpin oleh kyai Demang Lehmanm Haji Nasrun, Haji Buyasin, kyai Langlang dan
tumenggung Surapati, serta pangeran Hidayat. Mereka berhasil merebut benteng
Belanda, seperti Benteng Tabanio, bahkan menenggelamkan kapal Onrust di sungai Barito.
Untuk
mengatur strategi baru, Belanda menawarkan untuk berunding dengan Pangeran
Hidayat, tetapi ditolak. Karena putus asa, sehingga Belanda menghapuskan
kerajaan Banjar pada bulan Juni 1860. Sejak itu, daerah tersebut daerah
tersebut diperintah langsung oleh Belanda. Tekanan Belanda yang sangat kuat
menyebabkan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Hidayat ini dapat dikalahkan
karena kurang persenjataan. Pada tahun 1862 Pangeran Hidayat ditangkap dan
diasaingkan ke kota Cianjur, Jawa Barat. Namun demikian, perlawanan rakyat
Banjar semakin gencar saja, apalagi setelah pangeran Antasari(1862), saudara
sepupu pangeran Hidayat diangkat sebagai pemimpin tertinggi agama islam di
Banjar dengan gelar Panembahan Amirudin Khalifatul Mukminin.
Beberapa
saat kemudian, setelah ia diangkat menjadi sultan, perang meletus lagi. Dalam
perang ini Pangeran Antasari menderita luka-luka dan akhirnya wafat pada tahun
1862. Perlawanan rakyat Banjar dilanjutkan oleh putra-putranya dan pejuang
lainnya. Namun, sejak tahun 1864 ketika para pemimpin perlawanan Banjar
berhasil ditangkap satu persatu, perlawanan rakyat Banjar mulai melemah.
Akhirnya, Banjar sepenuhnyadapat dikuasai oleh Belanda.
Organisasi Pergerakan Nasional
Organisasi
Budi Utomo (BU) didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 oleh para mahasiswa STOVIA
di Batavia dengan Sutomo sebagai ketuanya. Terbentuknya organisasi tersebut
atas ide dr. Wahidin Sudirohusodo yang sebelumnya telah berkeliling Jawa untuk
menawarkan idenya membentuk Studiefounds. Gagasan Studiesfounds bertujuan untuk
menghimpun dana guna memberikan beasiswa bagi pelajar yang berprestasi, namun
tidak mampu melanjutnya studinya. Gagasan itu tidak terwujud, tetapi gagasan
itu melahirkan Budi Utomo. Tujuan Budi Utomo adalah memajukan
pengajaran dan kebudayaan.
Tujuan
tersebut ingin dicapai dengan usaha-usaha sebagai berikut:
a. memajukan
pengajaran;
b. memajukan
pertanian, peternakan dan perdagangan;
c. memajukan
teknik dan industri
d. menghidupkan
kembali kebudayaan.
Dilihat dari
tujuannya, Budi Utomo bukan merupakan organisasi politik melainkan
merupakan organisasi pelajar dengan pelajar STOVIA sebagai intinya. Sampai
menjelang kongresnya yang pertama di Yogyakarta telah berdiri tujuh
cabang Budi Utomo, yakni di Batavia, Bogor, Bandung, Magelang,
Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo. Untuk mengonsolidasi diri (dengan dihadiri 7
cabangnya), Budi Utomo mengadakan kongres yang pertama di
Yogyakarta pada tanggal 3-5 Oktober 1908. Kongres memutuskan hal-hal sebagai
berikut.
a. Budi
Utomo tidak ikut dalam mengadakan kegiatan politik.
b. Kegiatan Budi
Utomo terutama ditujukan pada bidang pendidikan dan kebudayaan.
c. Ruang
gerak Budi Utomo terbatas pada daerah Jawa dan Madura.
d. Memilih R.T.
Tirtokusumo, Bupati Karanganyar sebagai ketua.
e. Yogyakarta
ditetapkan sebagai pusat organisasi.
Sampai
dengan akhir tahun 1909, telah berdiri 40 cabang Budi Utomo dengan jumlah
anggota mencapai 10.000 orang. Akan tetapi, dengan adanya kongres tersebut
tampaknya terjadi pergeseran pimpinan dari generasi muda ke generasi tua.
Banyak anggota muda yang menyingkir dari barisan depan, dan anggota Budi
Utomo kebanyakan dari golongan priayi dan pegawai negeri. Dengan
demikian, sifat protonasionalisme dari para pemimpin yang tampak pada awal
berdirinya Budi Utomo terdesak ke belakang. Strategi perjuangan BU
pada dasarnya bersifat kooperatif.
Mulai tahun
1912 dengan tampilnya Notodirjo sebagai ketua menggantikan R.T.
Notokusumo, Budi Utomo ingin mengejar ketinggalannya. Akan tetapi,
hasilnya tidak begitu besar karena pada saat itu telah muncul
organisasi-organisasi nasional lainnya, seperti Sarekat Islam (SI) dan Indiche
Partij (IP). Namun demikian, Budi Utomo tetap mempunyai andil
dan jasa yang besar dalam sejarah pergerakan nasional, yakni telah membuka
jalan dan memelopori gerakan kebangsaan Indonesia. Itulah sebabnya tanggal 20
Mei ditetapkan sebagai hari Kebangkitan Nasional yang kita peringati
setiap tahun hingga sekarang.
Tiga tahun
setelah berdirinya Budi Utomo, yakni tahun 1911 berdirilah Sarekat Dagang Islam
(SDI ) di Solo oleh H. Samanhudi, seorang pedagang batik dari Laweyan Solo.
Organisasi Sarekat Dagang Islam berdasar pada dua hal berikut ini. a.
Agama Islam, b. Ekonomi, yakni untuk memperkuat diri dari pedagang Cina yang
berperan sebagai leveransir (seperti kain putih, malam, dan sebagainya). Atas
prakarsa H.O.S. Cokroaminoto, nama Sarekat Dagang Islam kemudian
diubah menjadi Sarekat Islam ( SI ), dengan tujuan untuk memperluas
anggota sehingga tidak hanya terbatas pada pedagang saja. Berdasarkan Akte
Notaris pada tanggal 10 September 1912, ditetapkan tujuan Sarekat
Islam sebagai berikut:
a. memajukan
perdagangan;
b. membantu
para anggotanya yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha (permodalan);
c. memajukan
kepentingan rohani dan jasmani penduduk asli;
d. memajukan
kehidupan agama Islam.
Melihat
tujuannya tidak tampak adanya kegiatan politik. Akan tetapi, Sarekat
Islam dengan gigih selalu memperjuangkan keadilan dan kebenaran
terhadap penindasan dan pemerasan oleh pemerintah kolonial. Dengan demikian, di
samping tujuan ekonomi juga ditekankan adanya saling membantu di antara
anggota. Itulah sebabnya dalam waktu singkat, Sarekat
Islam berkembang menjadi anggota massa yang pertama di
Indonesia. Sarekat Islam merupakan gerakan nasionalis,
demokratis dan ekonomis, serta berasaskan Islam dengan haluan kooperatif.
Mengingat
perkembangan Sarekat Islam yang begitu pesat maka timbullah
kekhawatiran dari pihak Gubernur Jenderal Indenberg sehingga
permohonan Sarekat Islam sebagai organisasi nasional yang
berbadan hukum ditolak dan hanya diperbolehkan berdiri secara lokal. Pada tahun
1914 telah berdiri 56 Sarekat Islam lokal yang diakui sebagai badan
hukum. Pada tahun 1915 berdirilah Central Sarekat Islam (CSI) yang berkedudukan
di Surabaya. Tugasnya ialah membantu menuju kemajuan dan kerjasama
antar Sarekat Islam lokal. Pada tanggal 17–24 Juni 1916 diadakan
Kongres SI Nasional Pertama di Bandung yang dihadiri oleh 80 Sarekat
Islam lokal dengan anggota 360.000 orang anggota. Dalam kongres tersebut
telah disepakati istilah "nasional", dimaksudkan
bahwa Sarekat Islam menghendaki persatuan dari seluruh lapisan
masyarakat Indonesia menjadi satu bangsa. Sifat Sarekat Islam yang
demokratis dan berani serta berjuang terhadap kapitalisme untuk kepentingan rakyat
kecil sangat menarik perhatian kaum sosialis kiri yang tergabung dalam Indische
Social Democratische Vereeniging (ISDV) pimpinan Sneevliet (Belanda), Semaun,
Darsono, Tan Malaka, dan Alimin (Indonesia). Itulah sebabnya dalam
perkembangannya Sarekat Islam pecah menjadi dua kelompok berikut ini.
a. Kelompok
nasionalis religius ( nasionalis keagamaan) yang dikenal dengan Sarekat
Islam Putih dengan asas perjuangan Islam di bawah pimpinan H.O.S.
Cokroaminoto.
b. Kelompok
ekonomi dogmatis yang dikenal dengan nama Sarekat Islam Merah dengan
haluan sosialis kiri di bawah pimpinan Semaun dan Darsono.
Muhammadiyah
didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 18 November
1912. Asas perjuangannya ialah Islam dan kebangsaan Indonesia, sifatnya
nonpolitik. Muhammadiyah bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, dan sosial
menuju kepada tercapainya kebahagiaan lahir batin. Tujuan Muhammadiyah ialah
sebagai berikut.
a. memajukan
pendidikan dan pengajaran berdasarkan agama Islam;
b. mengembangkan
pengetahuan ilmu agama dan cara-cara hidup menurut agama Islam.
Untuk mencapai tujuan tersebut,
usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
a. mendirikan
sekolah-sekolah yang berdasarkan agama Islam ( dari TK sampai dengan perguruan
tinggi);
b. mendirikan
poliklinik-poliklinik, rumah sakit, rumah yatim, dan masjid;
c. menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan keagamaan.
Muhammadiyah
berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis.
Itulah sebabnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran agama Islam secara
modern dan memperteguh keyakinan tentang agama Islam sehingga terwujud
masyarakat Islam yang sebenarnya. Kegiatan Muhammadiyah juga telah
memperhatikan pendidikan wanita yang dinamakan Aisyiah, sedangkan untuk
kepanduan disebut Hizbut Wathon ( HW ).
Sejak
berdiri di Yogyakarta (1912) Muhammadiyah terus mengalami perkembangan yang
pesat. Sampai tahun 1913, Muhammadiyah telah memiliki 267 cabang yang tersebar
di Pulau Jawa. Pada tahun 1935, Muhammadiyah sudah mempunyai 710 cabang yang
tersebar di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi.
Indische
Partij (IP) didirikan di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912 oleh Tiga
Serangkai, yakni Douwes Dekker (Setyabudi Danudirjo), dr. Cipto Mangunkusumo,
dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Organisasi ini mempunyai
cita-cita untuk menyatukan semua golongan yang ada di Indonesia, baik golongan
Indonesia asli maupun golongan Indo, Cina, Arab, dan sebagainya. Mereka akan
dipadukan dalam kesatuan bangsa dengan membutuhkan semangat nasionalisme
Indonesia. Cita-cita Indische Partij banyak disebar-luaskan melalui
surat kabar De Expres. Di samping itu juga disusun program kerja
sebagai berikut:
a. meresapkan
cita-cita nasional Hindia (Indonesia).
b. memberantas
kesombongan sosial dalam pergaulan, baik di bidang pemerintahan, maupun
kemasyarakatan.
c. memberantas
usaha-usaha yang membangkitkan kebencian antara agama yang satu dengan yang
lain.
d. memperbesar
pengaruh pro-Hindia di lapangan pemerintahan.
e. berusaha
untuk mendapatkan persamaan hak bagi semua orang Hindia.
f. dalam hal
pengajaran, kegunaannya harus ditujukan untuk kepentingan ekonomi Hindia dan
memperkuat mereka yang ekonominya lemah.
Melihat
tujuan dan cara-cara mencapai tujuan seperti tersebut di atas maka dapat
diketahui bahwa Indische Partij berdiri di atas nasionalisme yang
luas menuju Indonesia merdeka. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa Indische Partij merupakan partai politik pertama di
Indonesia dengan haluan kooperasi. Dalam waktu yang singkat telah
mempunyai 30 cabang dengan anggota lebih kurang 7.000 orang yang kebanyakan
orang Indo. Oleh karena sifatnya yang progresif menyatakan diri sebagai partai
politik dengan tujuan yang tegas, yakni Indonesia merdeka sehingga pemerintah
menolak untuk memberikan badan hukum dengan alasan Indische
Partij bersifat politik dan hendak mengancam ketertiban
umum. Walaupun demikian, para pemimpin Indische Partij masih
terus mengadakan propaganda untuk menyebarkan gagasan-gagasannya.
Satu hal
yang sangat menusuk perasaan pemerintah Hindia Belanda adalah tulisan Suwardi
Suryaningrat (Douwes Dekker) yang berjudul Als ik een Nederlander was
(seandainya saya seorang Belanda) yang isinya berupa sindiran terhadap
ketidakadilan di daerah jajahan. Oleh karena kegiatannya sangat mencemaskan
pemerintah Belanda maka pada bulan Agustus 1913 ketiga pemimpin Indische
Partij dijatuhi hukuman pengasingan dan mereka memilih Negeri Belanda
sebagai tempat pengasingannya.
Dengan
diasingkannya ketiga pemimpin Indische Partij maka
kegiatan Indische Partij makin menurun. Selanjutnya, Indische
Partij berganti nama menjadi Partai Insulinde dan pada tahun
1919 berubah lagi menjadi National Indische Partij (NIP). National
Indische Partij tidak pernah mempunyai pengaruh yang besar di
kalangan rakyat dan akhirnya hanya merupakan perkumpulan orang-orang
terpelajar.
Gerakan
pemuda Indonesia, sebenarnya telah dimulai sejak berdirinya Budi Utomo, namun
sejak kongresnya yang pertama perannya telah diambil oleh golongan tua (kaum
priayi dan pegawai negeri) sehingga para pemuda kecewa dan keluar dari
organisasi tersebut. Baru beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 7
Maret 1915 di Batavia berdiri Trikoro Dharmo oleh R. Satiman Wiryosanjoyo,
Kadarman, dan Sunardi. Trikoro Dharmo yang diketui oleh R. Satiman Wiryosanjoyo
merupakan organisasi pemuda yang pertama yang anggotanya terdiri atas para
siswa sekolah menengah berasal dari Jawa dan Madura. Trikoro Dharmo, artinya
tiga tujuan mulia, yakni sakti, budi, dan bakti. Tujuan perkumpulan ini adalah
sebagai berikut:
a. mempererat
tali persaudaraan antar siswa-siswi bumi putra pada sekolah menengah dan perguruan
kejuruan;
b. menambah
pengetahuan umum bagi para anggotanya;
c. membangkitkan
dan mempertajam peranan untuk segala bahasa dan budaya.
Tujuan
tersebut sebenarnya baru merupakan tujuan perantara. Adapun tujuan yang
sebenarnya adalah seperti apa yang termuat dalam majalah Trikoro Dharmo yakni
mencapai Jawa raya dengan jalan memperkokoh rasa persatuan antara pemuda-pemuda
Jawa, Sunda, Madura, Bali, dan Lombok. Oleh karena sifatnya yang masih Jawa
sentris maka para pemuda di luar Jawa (tidak berbudaya Jawa) kurang senang.
Untuk
menghindari perpecahan, pada kongresnya di Solo pada tanggal 12 Juni 1918
namanya diubah menjadi Jong Java (Pemuda Jawa). Sesuai dengan anggaran
dasarnya, Jong Java ini bertujuan untuk mendidik para anggotanya supaya kelak
dapat menyumbangkan tenaganya untuk membangun Jawa raya dengan jalan mempererat
persatuan, menambah pengetahuan, dan rasa cinta pada budaya sendiri.
Sejalan
dengan munculnya Jong Java, pemuda-pemuda di daerah lain juga membentuk
organisasi-organisasi, seperti Jong Sumatra Bond, Pasundan, Jong Minahasa, Jong
Ambon, Jong Selebes, Jong Batak, Pemuda Kaum Betawi, Sekar Rukun, Timorees
Verbond, dan lain-lain. Pada dasarnya semua organisasi itu masih bersifat
kedaerahan, tetapi semuanya mempunyai cita-cita ke arah kemajuan Indonesia,
khususnya memajukan budaya dan daerah masing-masing.
Munculnya
gerakan wanita di Indonesia, khusunya di Jawa dirintis oleh R.A. Kartini yang
kemudian dikenal sebagai pelopor pergerakan wanita Indonesia. R.A. Kartini
bercita-cita untuk mengangkat derajat kaum wanita Indonesia melalui pendidikan.
Cita-citanya tersebut tertulis dalam surat-suratnya yang kemudian berhasil
dihimpun dalam sebuah buku yang diterjemahkan dalam judul Habis Gelap Terbitlah
Terang. Cita-cita R.A. Kartini ini mempunyai persamaan dengan Raden Dewi
Sartika yang berjuang di Bandung. Semasa
Pergerakan Nasional maka muncul gerakan wanita yang bergerak di bidang
pendidikan dan sosial budaya. Organisasi-organisasi yang ada, antara lain
sebagai berikut.
a. Putri Mardika
di Batavia (1912) dengan tujuan membantu keuangan bagi wanita-wanita yang akan
melanjutkan sekolahnya. Tokohnya, antara lain R.A. Saburudin, R.K. Rukmini, dan
R.A. Sutinah Joyopranata.
b. Kartinifounds,
yang didirikan oleh suami istri T.Ch. van Deventer (1912) dengan membentuk
sekolah-sekolah Kartinibagi kaum wanita, seperti di Semarang, Batavia,
Malang, dan Madiun.
c. Kerajinan
Amal Setia, di Koto Gadang Sumatra Barat oleh Rohana Kudus (1914).
Tujuannya meningkatkan derajat kaum wanita dengan cara memberi pelajaran
membaca, menulis, berhitung, mengatur rumah tangga, membuat kerajinan, dan cara
pemasarannya.
d. Aisyiah,
merupakan organisasi wanita Muhammadiyah yang didirikan oleh Ny. Hj. Siti
Walidah Ahmad Dahlan (1917). Tujuannya untuk memajukan pendidikan dan keagamaan
kaum wanita.
e. Organisasi
Kewanitaan lain yang berdiri cukup banyak, misalnya Pawiyatan Wanito di
Magelang (1915), Wanito Susilo di Pemalang (1918), Wanito Rukun Santoso di
Malang, Budi Wanito di Solo, Putri Budi Sejati di Surabaya (1919), Wanito Mulyo
di Yogyakarta (1920), Wanito Utomo dan Wanito Katolik di Yogyakarta (1921), dan
Wanito Taman Siswa (1922).
Organisasi
wanita juga muncul di Sulawesi Selatan dengan nama Gorontalosche Mohammadaanche
Vrouwenvereeniging. Di Ambon dikenal dengan nama Ina Tani yang lebih condong ke
politik. Sejalan dengan berdirinya organisasi wanita, muncul juga surat kabar
wanita yang bertujuan untuk menyebarluaskan gagasan dan pengetahuan kewanitaan.
Surat kabar milik organisasi wanita, antara lain Putri Hindia di Bandung,
Wanito Sworo di Brebes, Sunting Melayu di Bukittinggi, Esteri Utomo di
Semarang, Suara Perempuan di Padang, Perempunan Bergolak di Medan, dan Putri
Mardika di Batavia.
Puncak
gerakan wanita, yaitu dengan diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia I
pada tanggal 22–25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres menghasilkan bentuk
perhimpunan wanita berskala nasional dan berwawasan kebangsaan, yakni Perikatan
Perempuan Indonesia (PPI). Dalam Kongres Wanita II di Batavia pada tanggal
28–31 Desember 1929 PPI diubah menjadi Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia
(PPII). Kongres Wanita I merupakan awal dari bangkitnya kesadaran nasional di
kalangan wanita Indonesia sehingga tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai hari
Ibu.
7. Perhimpunan Indonesia
Perhimpunan
Indonesia (PI) berdiri pada tahun 1908 oleh orang-orang Indonesia yang berada
di negeri Belanda, diantaranya R.P Sosrokartono, R. Hoesein Djajadinigrat. R.N
Notosuroto, Notodiningrat, Sutan Kasayangan Saripada, Sumitro Kolopaking, dan
Apituley. Pada mulanya perhimpunan Indonesia bernama Indische Vereenigng. Kegiatannya
pada mulanya hanya terbatas pada penyelenggaraan pertemuan sosial dengan
para anggota ditambah dengan sesekali mengadakan pertemuan dengan orang-orang
belanda yang banyak memerhatikan masalah Indonesia, antara lain Mr.
Abenendanon, Mr. Van Deventer, dan Dr. Snouck Hurgronye. Organisasi ini
bertujuan untuk memajukan kepentingan-kepentingan bersama dari orang-orang yang
berasal dari Indonesia, maksudnya orang-orang pribumi dan non-pribumi bukan Eropa,
di negeri Belanda dan hubungan dengan orang Indonesia.
Pada tahun
1922, De Indische Vreeniging
diterjemahkan menjadi Perhimpunan Indonesia (PI), dan dari awal 1973 mempunyai
pengurus baru dengan ketuanya R.Iwa Koesoema Soemantri, Sekretarisnya J.sitanala,
bendaharanya Muhammad Hatta, komisarisnya Sastro Moeljono, dan archivarisnya
Moenkoesoemo. Organisasi ini semakin tegas bergerak memasuki bidang politik
perubahan ini juga didorong oleh bangkitnya seluruh bangsa-bangsa terjajah Asia
dan Afrika untuk menuntut kemerdekaan.
Semenjak
tahun 1923 PI aktif berjuang bahkan memolopori dari jauh perjuangan kemerdekaan
untuk seluruh rakyat Indonesia dengan berjiwa persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia yang murni dan kompak. Berdasarkan perubahan ini, PI keluar dari Indonesich Verbond Van Studeerenden
(suatu perkumpulan yang bertujuan menggabungkan organisasi-organisasi mahasiswa
Indonesia, Belanda,dan peranakan Cina yang berorientasi ke Indonesia dalam
suatu kerja sama pada tahun 1923 karna dianggap tidak perlu lagi.
Didalam tiga
abad penjajahan akhirnya menimbulkan sikap yang mestinya ditunjukkan kepada
penajajah yang menunjukkan sikap perlawanan, tidak mau berkompromi meliputi
karangan dalam majalah Indonesia. Mereka terbitan dalam tahun-tahun berikut dan
dalam pernyataan dasar-dasar PI.
Masalah-masalah yang diinventasikan
saat itu antara lain :
1.
Hanyalah Indonesia yang bersatu serta mengenyampingkan
perbedaan-perbedaan yang mampu mematahakan kekuatan penguasa yang menjajah.
Tujuan bersama, ialah pembebasan Indonesia berdasarkan pada kesadaran dan
bertumpu pada kekuatan aksi masa nasionalistis,
2.
Dalam setiap masalah tata negara kolonial yang
mendominasai ialah perlawanan kepentingan antara penjajah
3.
Keikutsertaan semua lapisan masyarakat dalam
memeperjuangkan pembebasan yang mendominasi dalam perjuangan itu ialah
berlawannya kepentingan yang menjajah dan yang dijajah.
Kecendrungan
dalam perjuangan ialah bagaimana menyembunyikan dan menutupi siasat kaum
penjajah. Poitik Kolonnial itu merusak dan mendemoralisasi kehidupan psiki dan
fisis, maka perlu di usahakan normalisasi relasi-relasi dalam kehidupan
masyarakat kolonial itu.
Berdasarkan pernayatan itu muncul
pernyatan dasar-dasar PI yang tertera dalam Hindia Poetra edisi Maret 1923 berbunyi
sebagai berikut :
1.
Masa depan
bangsa Indonesia hanya semata-mata yang dalam pembentukan struktur pemerintah
sendiri dapat di pertanggungjawabkan oleh bangsa Indonesia
2.
Untuk
mencapai itu setiap orang menurut kemampuan serta menurut kekuatan serta
kecakapannya di usahakan tanpa bantuan pihak manapun
3.
untuk
mencapai tujuan bersama itu semua unsur atau lapisan rakya perlu kerja sama
serat-ertanay.
Perlu dicatat disini bahwa dalam
Dekalrasi itu sangat ditentukan pokok-pokok antara lain: ide kesatuan atau
ideologi kesatuan dan prinsip demokrasi sebagai tindak lanjut proklamasi
dasar-dasar PI disusun rencana kerja sebagai berikut :
1.
Melancarkan propaganda secara intensi dasar-dasar
tersebut, terutama Indonesia
2.
Menarik perhaian dunia internasional terhadap
permasalahan Indonesia, dan
3.
Meningktakan perhatian para anggota terhadap persoalan
Internasional.
Dalam pada itu para anggota PI yang
menyatakan diri mereka selaku penggerak revulisioner nasionalistis telah
merinci garis-garis arahan dan demikian mendapat simpati dari kawan-kawan
setanah air serta membangkitkan semangat revulisioner-nasionalistis di
Indoneisa.
Meningkatnya
aktivitas kearah politik terutama sejak datangnya dua orang Mahasiswa ke negeri
Belanda, yaitu A. Subardjo tahun 1919 dan Mohammad Hatta tahun 1921, dan
keduanaya kemudian pernah mengetahuai PI. Dengan bertambah banyaknya mahasiswa
Indonesia yang belajar di negri Belanda berubah pula kekuatan PI. Pada
permulaan trahun 1925, dibuatlah suatu anggarn dasar baru yang merupakan
penegasan yang lebih luas lagi dari perjuangan PI. Di dalamnya disebutkan bahwa
kemerdekaan penuh bagi Indonesia hanya
akan di peroleh dengan aksi bersma yang dilakukan serentak oleh seluruh kaum
nasionalis dan berdasarkan atas kekuatan sendiri. Untuk itu, sangat diperlukan
kekompakan rakyat seluruhnya. Di dalam segala penjajahan kolonial, kepentingan
antara pihak yang menjajah dengan pihak yang dijajah yang memang sangat
bertentangan menjadi masalah penting. Penjajahan itu memang membawa pengaruh
yang merusak jasmani dan rohani orang Indonesia dan merusak kehidupan lahir dan
batin.
Sementara
itu, kegiatannya meningkat menjadi nasional-demokratis, non-kooperasi, dan
meninggalkan sikap kerjasama dengan kaum penjajah bahkan menjadi internasioanal
dan anti kolonial. Di bidang Internasional ini PI bertemu dan bekerjasama
dengan perkumpulan-perkumpulan dan tokoh-tokoh pemuda serta mahasiswa yang
berasal dari negeri-negeri jajahan di Asia dan Afrika yang mempunyai cita-cita
yang sama dengan Inonesia.PI memang berusaha supaya masalah Indonesia
mendapatkan perhatian dalam dunia Internasional. Hubungan dengan beberapa
organisasi Internasional diadakan seperti liga penentang imperialisme dan
penindasan kolonial dan komintern dalam kongres ke 6 liga demogratie
Internasional untuk pendamaian pada bulan agustus 1926 di Paris (Prancis) Moh.
Hatta dengan tegas menyatakan tuntutan untuk kemerdekaan Indonesia.
Kejadian ini
menyebabkan pemerintah belanda bertambah curiga pada PI. Kecurigaan ini
bertambah lagi saat Moh.Hatta atas nama PI menandatangani suatu perjanjian
(rahasia) dengan (Semaun) (PKI) pada tanggal 5 desember 1926 yang isinya
menyatakan bahwa PKI mengakui kepemimpinan PI dan akan dikembangkan menjadi
partai rakyat kebangsaan Indonesia selama PI secara konsekuen tetap menjalankan
politik untuk kemerdekaan Indonesia. Perjanjian ini dinilai oleh Komintern
sebagai suatu kesalahan besar dan dibatalkan kembali oleh Semeun.
Dalam
kongres 1 liga pada bulan februari tahun 1927 di Berlin yang dihadiri antara
lain oleh wakil-wakil pergerakan di negeri jajahan ,PI yang bertindak atas nama
PPPKI di Indonesia juga mengirimkan wakil-wakilnya, Moh.Hatta, Nazir
Pamoentjak, Gatot dan A.Subardjo.Kongres mengambil keputusan antara lain :
1.
Menyatakan simpati yang sebesar-besarnya kepada
pergerakan kemerdekaan Indonesia dan akan menyokong usaha tersebut dengan
segala daya.
2.
Menuntut dengan keras kepada pemerintah Belanda
kebebasan bekerja untuk pergerakan rakyat Indonesia.
Dalam kongres ke dua di Brussel
tahun 1927,PI juga ikut ,tetapi suatu liga didominasi oleh kaum kominis ,PI
keluar dari liga. Kegiatan PI dikalangan internasional ini menimbulkan reaksi
yang keras dari pemerintah Belanda atas tuduhan "dengan tulisan mengasut
dimuka umum untuk memberontak terhadap pemerintah", maka pada tanggal 10
juni1927,4 anggota PI yaitu Moh.Hatta , Nazir Pamoentjak, Abdulmadjid
Djojoadiningrat ,dan Ali Sastroamidjojo ditangkap dan ditahan sampai tanggal 8
Maret 1928. Namun, dalam pemeriksaan di sidang pengadilan di Den Haag pada
tanggal 22 maret 1928, karna tidak terbukti bersalah, mereka dibebaskan.
Perhimpunan
Indonesia pun berangsur-angsur berhasil mempengaruhi pergerakan Indonesia
sendiri,seperti dengan seperti lahirnya partai nasional Indonesia (PNI) tahun
1927,jong Indonesie (pemuda Indonesia) tahun 1927,dan perhimpunan
Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) tahun 1926.
Aksi para
anggota PI semakin radikal. Pengawasan terhadap gerakan mahasiswa Indonesia
semakin diperkuat oleh aparat kepolisisan Belanda. Namun para anggota PI tetap
melakukan kegiatan politiknya, bahkan mulai menjalani hubungan dengan berbagai
negara di Eropa dan Asia. Konsepsi-konsepsi PI dan berita-berita tentang
berbagai kejadian di Eropa dikirim ke Indonesia melalui majalah mereka,
Indonesia Merdeka. Konsepsi-konsepsi PI kelak sangat berpengaruh terhadap kaum
pergerakan di Indonesia. Bahhkan di bawah kepemimpinan Muhammad Hatta, PI resmi
diakui sebagai front terdepan pergerakan kebangsaan oleh PPKI yang diketahui
Ir. Soekarno.
Benih-benih
paham Marxis dibawa masuk ke Indonesia oleh seorang Belanda yang bernama
H.J.F.M. Sneevliet. Atas dasar Marxisme inilah kemudian pada tanggal 9 Mei 1914
di Semarang, Sneevliet bersama-sama dengan J.A. Brandsteder, H.W. Dekker, dan
P. Bersgma berhasil mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging
(ISDV). Ternyata ISDV tidak dapat berkembang sehingga Sneevliet melakukan
infiltrasi (penyusupan) kader-kadernya ke dalam tubuh SI dengan menjadikan
anggota-anggota ISDV sebagai anggota SI, dan sebaliknya anggota-anggota SI
menjadi anggota ISDV.
Dengan cara
itu Sneevliet dan kawan-kawannya telah mempunyai pengaruh yang kuat di kalangan
SI, lebih-lebih setelah berhasil mengambil alih beberapa pemimpin SI, seperti
Semaun dan Darsono. Mereka inilah yang dididik secara khusus untuk menjadi
tokoh-tokoh Marxisme tulen. Akibatnya SI Cabang Semarang yang sudah berada di
bawah pengaruh ISDV semakin jelas warna Marxisnya dan selanjutnya terjadilah
perpecahan dalam tubuh SI.
Pada tanggal
23 Mei 1923 ISDV diubah menjadi Partai Komunis Hindia dan selanjutnya pada
bulan Desember 1920 menjadi Partai Komunis Indonesia. (PKI). Susunan pengurus
PKI , antara lain Semaun (ketua), Darsono (wakil ketua), Bersgma (sekretaris),
dan Dekker (bendahara). PKI semakin aktif dalam percaturan politik dan untuk
menarik massa maka dalam propagandanya PKI menghalalkan secara cara.
Sampai-sampai tidak segan-segan untuk mempergunakan kepercayaan rakyat kepada
ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadis bahkan juga Ramalan Jayabaya dan Ratu Adil.
Kemajuan
yang diperolehnya ternyata membuat PKI lupa diri sehingga merencanakan suatu
petualangan politik. Pada tanggal 13 November 1926 PKI melancarkan
pemberontakan di Batavia dan disusul di daerah-daerah lain, seperti Jawa Barat,
Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di Sumatra Barat pemberontakan PKI dilancarkan
pada tanggal 1 Januari 1927. Dalam waktu yang singkat semua pemberontakan PKI
tersebut berhasil ditumpas. Akhirnya, ribuan rakyat ditangkap, dipenjara, dan
dibuang ke Tanah Merah dan Digul Atas (Papua).
Algemene Studie Club di Bandung yang didirikan oleh Ir.
Soekarno pada tahun 1925 telah mendorong para pemimpin lainnya untuk mendirikan
partai politik, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI). PNI didirikan di Bandung
pada tanggal 4 Juli 1927 oleh 8 pemimpin, yakni dr. Cipto Mangunkusumo, Ir.
Anwari, Mr. Sartono, Mr. Iskak, Mr. Sunaryo, Mr. Budiarto, Dr. Samsi, dan Ir.
Soekarno sebagai ketuanya. Kebanyakan dari mereka adalah mantan anggota
Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda yang baru kembali ke tanah air.
Radikal PNI
telah kelihatan sejak awal berdirinya. Hal ini terlihat dari anggaran dasarnya
bahwa tujuan PNI adalah Indonesia merdeka dengan strategi perjuangannya
nonkooperasi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka PNI berasaskan pada self
help, yakni prinsip menolong diri sendiri, artinya memperbaiki keadaan politik,
ekonomi, dan sosial budaya yang telah rusak oleh penjajah dengan kekuatan
sendiri; nonkooperatif, yakni tidak mengadakan kerja sama dengan pemerintah
Belanda; Marhaenisme, yakni mengentaskan massa dari kemiskinan dan
kesengsaraan. Untuk mencapai tujuan tersebut, PNI telah menetapkan program
kerja sebagaimana dijelaskan dalam kongresnya yang pertama di Surabaya pada
tahun 1928, seperti berikut.
a. Usaha
politik, yakni memperkuat rasa kebangsaan (nasionalisme) dan kesadaran atas
persatuan bangsa Indonesia, memajukan pengetahuan sejarah kebangsaan,
mempererat kerja sama dengan bangsa-bangsa Asia, dan menumpas segala rintangan
bagi kemerdekaan diri dan kehidupan politik.
b. Usaha
ekonomi, yakni memajukan perdagangan pribumi, kerajinan, serta mendirikan
bank-bank dan koperasi.
c. Usaha
sosial, yaitu memajukan pengajaran yang bersifat nasional, meningkatkan derajat
kaum wanita, memerangi pengangguran, memajukan transmigrasi, memajukan
kesehatan rakyat, antara lain dengan mendirikan poliklinik.
Untuk
menyebarluaskan gagasannya, PNI melakukan propaganda-propaganda, baik lewat surat
kabar, seperti Banteng Priangan di Bandung dan Persatuan Indonesia di Batavia,
maupun lewat para pemimpin khususnya Ir. Soekarno sendiri. Dalam waktu singkat,
PNI telah berkembang pesat sehingga menimbulkan kekhaw-tiran di pihak
pemerintah Belanda. Pemerintah kemudian memberikan peringatan kepada pemimpin
PNI agar menahan diri dalam ucapan, propaganda, dan tindakannya.
Dengan
munculnya isu bahwa PNI pada awal tahun 1930 akan mengadakan pemberontakan maka
pada tanggal 29 Desember 1929, pemerintah Hindia Belanda mengadakan
penggeledahan secara besar-besaran dan menangkap empat pemimpinnya, yaitu Ir.
Soerkarno, Maskun, Gatot Mangunprojo dan Supriadinata. Mereka kemudian diajukan
ke pengadilan di Bandung.
Dalam sidang
pengadilan, Ir. Soerkarno mengadakan pembelaan dalam judul Indonesia Menggugat.
Atas dasar tindakan melanggar Pasal "karet" 153 bis dan Pasal 169
KUHP, para pemimpin PNI dianggap mengganggu ketertiban umum dan menentang
kekuasaan Belanda sehingga dijatuhi hukuman penjara di Penjara Sukamiskin Bandung.
Sementara itu, pimpinan PNI untuk sementara dipegang oleh Mr. Sartono dan
dengan pertimbangan demi keselamatan maka pada tahun 1931 oleh pengurus
besarnya PNI dibubarkan. Hal ini menimbulkan pro dan kontra.
Mereka yang
pro pembubaran, mendirikan partai baru dengan nama Partai Indonesia (Partindo)
di bawah pimpinan Mr. Sartono. Kelompok yang kontra, ingin tetap melestarikan
nama PNI dengan mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) di bawah
pimpinan Drs. Moh. Hatta dan Sutan Syahrir.
10. Partai Indonesia (Partindo)
(cari
informasi dari buku, internet, dan/ referensi lain yang berkaitan dengan Partai Indonesia (Partindo))
Sekembalinya
dari tanah pengasingannya di Negeri Belanda (1919), Suwardi Suryaningrat
menfokuskan perjuangannya dalam bidang pendidikan. Pada tanggal 3 Juli 1922
Suwardi Suryaningrat (lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara) berhasil
mendirikan perguruan Taman Siswa di Yogyakarta. Dengan berdirinya Taman Siswa,
Suwardi Suryaningrat memulai gerakan baru bukan lagi dalam bidang politik
melainkan bidang pendidikan, yakni mendidik angkatan muda dengan jiwa
kebangsaan Indonesia berdasarkan akar budaya bangsa.
Sekolah
Taman Siswa dijadikan sarana untuk menyampaikan ideologi nasionalisme
kebudayaan, perkembangan politik, dan juga digunakan untuk mendidik calon-calon
pemimpin bangsa yang akan datang. Dalam hal ini, sekolah merupakan wahana untuk
meningkatkan derajat bangsa melalui pengajaran itu sendiri. Selain pengajaran
bahasa (baik bahasa asing maupun bahasa Indonesia), pendidikan Taman Siswa juga
memberikan pelajaran sejarah, seni, sastra (terutama sastra Jawa dan wayang),
agama, pendidikan jasmani, dan keterampilan (pekerjaan tangan) merupakan
kegiatan utama perguruan Taman Siswa.
Pendidikan
Taman Siswa dilakukan dengan sistem "among" dengan pola belajar
"asah, asih dan asuh". Dalam hal ini diwajibkan bagi para guru untuk
bersikap dan berlaku "sebagai pemimpin" yakni di depan memberi
contoh, di tengah dapat memberikan motivasi, dan di belakang dapat memberikan
pengawasan yang berpengaruh. Prinsip pengajaran inilah yang kemudian dikenal
dengan pola kepemimpinan "Ing ngarsa sung tulodho, ing madya mangun karsa,
tut wuri handayani ". Pola kepemimpinan ini sampai sekarang masih menjadi
ciri kepemimpinan nasional.
Berkat jasa
dan perjuangannya yakni mencerdaskan kehidupan menuju Indonesia merdeka maka
tanggal 2 Mei (hari kelahiran Ki Hajar Dewantara) ditetapkant sebagai hari
Pendidikan Nasional. Di samping itu, "Tut Wuri Handayani" sebagai
semboyan terpatri dalam lambang Departemen Pendidikan Nasional.
12. Partai Indonesia Raya (Parindra)
(cari
informasi dari buku, internet, dan/ referensi lain yang berkaitan dengan Partai
Indonesia Raya (Parindra))
13. Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
Perkembangan dari Gerakan Nasional
setelah gagalnya Petisi Sutarjo adalah dibentuknya GAPI yang merupakan
organisasi hasil kerjasama dari partai-partai politik dan organisasi-organisasi
yang ada di Indonesia. Sebenarnya Central Comite Petisi Sutarjo, setelah
terjadi penolakan terhadap Petisi Sutarjo oleh Kerajaan Belanda pada 16
November 1938, ingin membuat suatu konferensi yang ditujukan kepada Pengurus
Besar partai politik dan organisasi di Indonesia yang isinya menyesali
cara-cara penolakan atas Petisi Sutarjo dan mengajak seluruh partai-partai
untuk menentukan sikap atas penolakan dari Petisi Sutarjo. Sejatinya konferensi
itu akan diadakan di Jakarta pada 27-29 Mei 1939, tapi akhirnya gagal karena
beberapa partai politik sudah berencana melakukan hal serupa, yaitu sebuah
Nationale Concrentratie yang kemudian dikenal dengan nama Gabungan Politik
Indonesia atau GAPI. GAPI sendiri berdiri pada 21 Mei 1939 dalam suatu rapat
pendirian konsentrasi nasional yang diadakan di Jakarta. Ada beberapa alasan
mengapa dibentuknya GAPI, yaitu kegagalan dari Petisi Sutarjo, adanya masalah
internasinal dengan munculnya Fasisme khususnya di Jerman, dan sikap dari
pemerintah kolonial yang kurang memperhatikan rakyat Indonesia. Pembentukan federasi pada
mulanya diusulkan oleh PSII pada bulan April 1938 dengan pembentukan Badan
Perantara Partai Politik Indonesia (Bapepi). Oleh karena pembentukannya kurang
lancar, Parindra mengambil inisiatif untuk membentuk kembali Konsentrasi Nasional.
Parindra berpendapat bahwa perjuangan konsentrasi nasional haruslah memenuhi
dua hal. Pertama bersifat ke dalam, yaitu dapat menyadarkan dan menggerakkan
rakyat untuk memperoleh suatu pemerintah sendiri. Kedua bersifat ke luar, yaitu
dapat menggugah pemerintah Belanda untuk menyadarkan cita-cita bangsa Indonesia
dan kemudian memberikan perubahan-perubahan dalam pemerintahan di Indonesia.
Kemudian diadakanlah pendekatan dan perundingan dengan PSII, Gerindo, PII,
Pasundan, Persatuan Minagkabau, Partai Katolik. Hasil dari pendekatan dan
perundingan itu adalah terbentuknya GAPI.
Dalam rapat itu juga ditegaskan
anggaran dasar dalam GAPI sehingga nantinya tidak timbul kekacauan. Anggaran
dasar yang penting adalah ditegaskan bahwa masing-masing partai yang tergabung
dalam GAPI tetap punya kemerdekaan penuh terhadap program kerjanya, dan
bilamana timbul perselisihan antara partai-partai maka GAPI akan jadi
penengahnya. Dalam anggaran dasarnya juga dijelaskan dasar-dasar dari GAPI,
yaitu hak untuk menentukan diri sendiri; persatuan dari seluruh bangsa
Indonesia yang berdasarkan pada kerakyatan dalam paham politik, ekonomi, dan
sosial; dan persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia. Sementara itu, GAPI
dipimpin oleh Muhammad Husni Thamrin, Mr. Amir Syariffudin, dan Abikusno
Tjokrosuyoso.
GAPI pertama kali mengadakan
konferensi pada 4 Juli 1939, dimana isinya membicarakan aksi GAPI yang
bersemboyan “Indonesia Berparlemen.” Aksi pertama GAPI ini bertujuan membentuk
suatu parlemen yang berdasarkan pada sendi-sendi demokrasi. Untuk mencapai
tujuan dari aksi tersebut dan seiring dengan gentingnya situasi Eropa pada saat
itu, maka pada 20 September 1939 GAPI mengeluarkan pernyataan yang dikenal
sebagai Manifest GAPI. Isi dari pernyataan itu adalah mengajak rakyat Indonesia
dan Belanda untuk bekerjasama menghadapi bahaya Fasisme, dimana kerjasama itu
akan lebih berhasil bila rakyat Indonesia diberikan hak-hak baru dalam urusan
pemerintahan. Cara dari kerjasama itu adalah membentuk suatu pemerintahan
dengan parlemen yang dipilih dari dan oleh rakyat, dimana pemerintahan tersebut
bertanggung jawab kepada parlemen.
Untuk mendukung aksinya dan
mendapat dukungan, GAPI mengadakan beberapa kegiatan. GAPI mengadakan
rapat-rapat umum yang puncaknya terjadi pada 12 Desember 1939, yaitu dimana
tidak kurang 100 tempat di Indonesia mengadakan rapat mempropagandakan tujuan
GAPI. Aksi dari GAPI ini mendapat reaksi positif dari pers, dimana mereka
memberitakan secara panjang lebar tentang GAPI dan sikap beberapa negara Asia
dalam menghadapi bahaya Fasisme.
GAPI juga membentuk Kongres
Rakyat Indonesia atau KRI dan selanjutnya Comite Parlemen Inonesia. KRI
diresmikan pada 25 Desember 1939 di Jakarta dalam Kongres Rakyat Indonesia
pertama. Tujuan dari KRI adalah Indonesia Raya yang bertemakan untuk
kesejahteraan rakyat Indonesia dan kesempurnaan cita-citanya, dengan sasaran
pertamanya adalah Indonesia berparlemen penuh. KRI juga menghasilkan beberapa
keputusan penting, yaitu penetapan Bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya
sebagai bendera dan lagu persatuan Indonesia, serta peningkatan pemakaian
bahasa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat. Comite Parlemen Indonesia
sendiri dibentuk dengan maksud untuk lebih meningkatkan aksi-aksi GAPI, dimana
panitia-panitia di daerah dianjrkan mengadakan kursus-kursus dan rapat-rapat
tertutup untuk meyakinkan rakyat akan kewajibannya bersama-sama mewujudkan
cita-cita bangsa.
Tuntutan dari GAPI sendiri
mendapat respon dari pemerintah Belanda. Tuntutan GAPI sendiri sempat
dibicarakan dalam Tweede Kamer, yaitu pembahasan anggaran belanja Hindia, pada
26 Februari sampai 6 Maret 1940 dan hanya mendapat dukungan dari Social
Demokratische Arbeiders Partij (SDAP) serta penolakan dari partai-partai lain.
Pers di Belanda juga umumnya menolak dengan alsan belum waktunya. Hal yang baik
adalah partai-partai dan pers di Belanda berpendapat bahwa perlu diadakan
perubahan-perubahan di dalam pemerintahan di Indonesia mengngat keadaan
Internasional yang memburuk.
Pada bulan Agustus 1940, ketika
negeri Belanda telah dikuasai oleh Jerman dan Indonesia dinyatakan dalam
keadaan darurat perang. GAPI kembali mengeluarkan resolusi yang menuntut
diadakannya perubahan ketatanegaraan di Indonesia dengan menggunakan hokum
tatanegara dalam masa genting (nood staatsrecht). Isi resolusi yaitu
mengganti Volksraad dengan parlemen sejati yang anggota-anggotanya dipilih oleh
rakyat, merubah fungsi kepala-kepala departemen (departemenshoofden)
menjadi menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen tersebut. Resolusi ini
dikirimkan kepada Gubernur Jenderal, Volksraad, Ratu Wilhelmina dan kabinet Belanda di London.
Menghadapi tuntutan itu, atas
persetujuan pemerintah dibentuklah Commisie
tot bestudeering van staatsrechtelijke hervorminogen atau komisi untuk
menyelidiki dan mempelajari perubahan-perubahan ketatanegaraan. Komisi yang
dikenal sebagai Komisi Visman ini dibentuk pada 14 September 1940. Komisi ini
sendiri bertugas untuk mengumpulkan bahan-bahan apa yang menjadi keinginan dari
Indonesia.
Pembentukan Komisi Visman ini
sendiri tidak begitu disetujui oleh kaum pergerakan. Mereka melihat pengalaman
pada tahun 1918, dimana pernah dibentuk komisi serupa yang tidak menghasilkan
apa-apa bagi rakyat Indonesia. GAPI sendiri mengumumkan bahwa anggota-anggota
GAPI untuk tidak dibenarkan memberikan pendapat sendiri-sendiri kepada Komisi
Visman. Hal ini bertujuan untuk menghindari ketidaksatuan pendapat dalam
menghadapi Komisi Visman. Belakangan, sikap GAPI melunak setelah mendapat
undangan resmi dari Komisi Visman. Sementara, beberapa anggota Volksraad
mengajukan mosi yang lebih ringan, yaitu mengadakan kerjasama antara pemimpin
Indonesia dan Belanda.
GAPI berusaha agar tuntutannya
didengar. Wakil-wakil GAPI dan Komisi Visman sempat mengadakan pertemuan di
gedung Raad van Indie pada 14 Februari 1941. Tujuan awal dari pertemuan itu
awalnya adalah menyampaikan tuntutan GAPI, tapi ternyata pertemuan ini tiedak
menghasilkan sesuatupun, malah pertemuannya sendiri yang ramai dibicarakan
kalangan pergerakan sehingga muncul anggapan GAPI tidak lagi radikal. Keinginan
GAPI agar tuntutannya didengar sempat mendapat harapan saat menteri jajahan
Welter dan van Kleffens datang berkunjung ke Indonesia pada April 1941.
Kunjungan itu berubah menjadi sebuah kekecewaan karena Welter tidak memberikan
solusi ke arah perubahan ketatanegaraan.
Harapan bagi GAPI benar-benar
hilang saat Ratu Wilhelmina mengadakan pidato di London dan pidato dari
Gubernur Jenderal di Volksraad mengenai masa depan Indonesia. Situasi
internasional yang memburuk akibat Perang Dunia II juga membuat pemerintah
kolonial memperketat izin mengadakan rapat-rapat. Setelah itu rakyat Indonesia
diberikan peraturan wajib bela atau inheemse
militia.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
"Mempelajari Sejarah itu Penting. Membuat Sejarah itu Lebih Penting. Kami Hadir untuk Membuat Sejarah!"
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------